Culture Opini Screen Raves

‘Gala Bunga Matahari’ dan Cerita-cerita Lain di Album Baru Sal Priadi

Konon katanya mengenal Sal Priadi tak cukup cuma dengan mendengar lagu 'Gala Bunga Matahari' saja.

Avatar
  • August 20, 2024
  • 7 min read
  • 1234 Views
‘Gala Bunga Matahari’ dan Cerita-cerita Lain di Album Baru Sal Priadi

Bagaimana cara termudah mengenal Sal Priadi?

Kalau pertanyaan itu diajukan sekarang, saya kira banyak orang yang akan bilang, “Coba dengar lagu ‘Gala Bunga Matahari.'” Maka kamu akan menilai sosok musisi yang juga aktor itu, sebagai cowok romantis, deep, dan jago bikin nangis.

 

 

Saya sepakat enggak sepakat. Memang lagu yang belakangan viral di berbagai platform streaming tersebut, cukup sukses menyambung rasa kangen pendengar. Melodinya easy listening, liriknya pun mengobrak-abrik emosi. Kita diberi gambaran betapa susahnya LDR dengan orang yang sudah berpulang: Sedih, kangen, menangis, berharap dia datang, tapi di saat bersamaan harus merelakan karena ia bahagia dan tak lagi sakit-sakitan di sana. Video klipnya yang dibintangi Gempita Nora Martin dan Landung Simatupang itu melengkapkan kemuraman di “Gala Bunga Matahari”. Rasa-rasanya, lagu ini bukan cerita orang lain, tapi kita sendiri.

Meski begitu, saya selalu curiga, Sal punya sisi lain yang lebih kompleks dibanding kesan yang terbangun di lagu hits itu. Karena itulah, saya berupaya mendalami Sal lewat semua single dan albumnya. Mulai dari “Kultusan”, debut perdananya di Soundcloud pada 2015, yang dimasukkan dalam album “Berhati” (2020). Sampai album terbaru yang rilis di April 2024, MARKERS, AND SUCH PENS FLASHDISKS (2024). Beberapa lagunya ada yang sudah familier di kuping, sisanya betul-betul baru pertama saya dengar.

Di “Berhati” kita melihat betapa Sal adalah perwujudan sad boy yang sesungguhnya. Ia bisa sangat cemburu, dendam, dan bucin dengan pasangan. Dan semua dilukiskan secara puitis lewat aransemen campur aduk: Ada a capella, disco, funk, acid jazz, juga bossa nova. Sementara di MARKERS, AND SUCH PENS FLASHDISKS, ia menjelma sosok lebih berwarna dalam 15 lagu yang tak terbuang percuma. Sal cringe, kocak, sendu, romantis, tapi tetap sederhana.

Kesederhanaannya paling jelas tergambar lewat liriknya yang tak dipenuhi majas atau glorifikasi. Kalau sedih bilang sedih, kangen bilang kangen, senang pun bilang senang. Bukannya hidup sebenarnya sesederhana itu, yang hebat-hebat cuma tafsir kita saja, kata Om Pramoedya Ananta.

Baca Juga: Penggambaran Bunga dalam Lirik Lagu Indonesia

Di lagu “Kita Usahakan Rumah itu”, Sal bermimpi bisa bikin rumah. Mimpi yang sepertinya tak cuma milik mereka berdua, tapi kita semua pekerja yang makin sulit punya hunian di kota yang sumpek. Namun, tetap mau ada rumah untuk melepas lelah usai kerja seharian, di meja makan, saling sambat bareng dan menceritakan musuh-musuh kita dengan orang tercinta

“Kita usahakan rumah itu
Dari depan akan tampak sederhana
Tapi kebunnya luas, tanamannya mewah, megah
.”

Di lagu kedua, yang juga jadi favorit saya, “Mesra-mesranya kecil-kecilan dulu”, kita juga melihat sisi humble Sal sebagai seorang bapak untuk anaknya, Barat atau Ba. Kata dia: “Ba, sementara kita mesra-mesraannya kecil-kecilan dulu, ya. Tunggu sampai semua mereda.

Ini bukan lagu sedih tapi entah kenapa rasanya patah hati sekali mendengarnya. Sebagai anak, ayah saya dulu sering bilang, “Nanti dulu ya, Mbak. Tunggu Bapak ada uang, kita jalan-jalan,” setiap kali saya merajuk ke bapak, minta pergi ke kota dan belanja. Hal sama yang sering saya katakan pada anak lelaki, kalau dia minta sesuatu yang tak bisa saya penuhi karena sedang tak cukup rejeki. Di versi video klipnya, mereka toh akhirnya bisa tetap bermesra-mesraan, bersenang-senang cuma dengan hujan-hujanan sambil loncat di atas genangan.

Selain dua lagu tersebut, saya merasa Sal sangat relevan dalam lagu “Episode”. Bayangkan usiamu mulai masuk ke kepala tiga atau empat. Kamu merasakan satu per satu sahabat pergi menjauh. Kadang ada sebabnya, tapi lebih sering kamu enggak paham kenapa. Akhirnya yang tersisa cuma kamu dengan tubuhmu yang tak lagi seprima usia 20-an, di mana bisa asyik berpesta atau begadang sampai Subuh. Mendadak kamu lebih menyukai kesendirian, tidur, atau melamun tanpa diganggu orang.

Sekarang tubuhku sering minta waktu
Untuk sendirian
Kar’na banyak pertanyaan menemukan jawaban
Bukan di keramaian

Pergi yang jauh sendirian
Tidur, bangun, melamun berjam-jam
Lebih banyak dengarkan badan
Kuajak dia ‘tuk kenalan lagi.”

Waktu dengar lagu ini, saya langsung teriak, “Sal adalah kita, muda mudi jompo yang sedang meng-embrace fase hidup menjadi dewasa.”

Baca Juga: 5 Lagu Indonesia yang Biner dan Heteronormatif

Romantis adalah Nama Tengah Sal

Bukan Sal namanya jika gagal romantis di lagu-lagunya. Kita bakal menemukan betapa mencintai orang terasa menyenangkan, unik, dan membuat kita penuh. Misalnya di “Lewat Sudah Pukul Dua, Makin Banyak Bicara Kita” yang mengingatkan, ketika menemukan pasangan sefrekuensi, kita enggak sadar bisa ngobrol berjam-jam tanpa takut kekeringan kata.

Atau di “Semua Lagu Cinta” yang melampaui sensasi I get butterflies in my stomach. Yang sekarang, jatuh cinta itu ibarat melihat di seluruh sudut dunia, tapi yang muncul wajah cemceman melulu. Susah tidur terbayang wajah si kesayangan. Lagi nyetir motor sendirian sore-sore, teringat wajahnya. Kira-kira begitulah gambaran saat jatuh cinta. Ada film romantis yang berputar di kepala setiap waktu. Dunia serasa milik berdua, yang lain KPR.

“Di seluruh tempat di seluruh dunia
Di manapun lagu cinta ini terputar
Ada film di kepalaku yang terputar
Adegan romantis pemerannya kamu.”

Romantisme pemilik nama asli Salmantyo Ashrizky Priadi itu juga muncul di lagu I’d Like to Watch You Sleeping”. Pertama kali dengar lagu ini rasanya agak geli, kok bisa sih ada cowok yang cinta dan takut kehilangan tapi menganalogikannya dengan keinginan tinggal di gigi bolong pasangan. Macam pasangan clingy, bukan? Tapi setelah saya pikir, benar juga ya, dulu waktu saya jatuh cinta pada pasangan, sudah tinggal serumah pun bawaannya kangen melulu. Mungkin itulah yang dirasakan Sal.

“I’d like to watch you sleeping
Lebih sering menganga
‘Kan kulihat ada tempat longgar di sana
Aku ingin tinggal di belakang gigimu.

Ada juga lagunya yang mondar-mandir di TikTok, “Dari Planet Lain”. Dalam balutan musik yang riuh, berisik, Sal menyadari kalau dirinya aneh. Sehingga, cuma orang-orang tertentu saja yang mau dan mampu menemaninya. Barangkali orang dari tempat jauh yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Orang itu menggandeng tangan Sal, berjalan pelan menemani waktu bersama.

“Sepertinya kau memang dari planet yang lain
Dikirim ke Bumi untuk orang orang sepertiku
Sepertinya kau memang dari planet yang jauh
Dikirim ke bumi untuk datang menemani aku.”

Ada juga lagu “Hi, selamat pagiii” yang bikin pasangan nyenggol siku saya berkali-kali karena ia merasa relate. Bukan karena insecure kita menanyakan, apakah pasangan mencintai atau bahagia dengan kita. Hanya saja kita sedang memastikan agar kita tak buang-buang waktu mencintai dan dicintai jodoh orang. Cinta kadang-kadang memang harus keras kepala dan sekalkulatif itu.

“Bagaimana harimu? Bahagiakah kamu?
Ada di sini sama aku?
Apa ada yang lucu?

Karena cinta juga ada lapis sedihnya, Sal melengkapi emosi gelap, seperti patah hati atau susah move on lewat deretan lagunya yang lain. Uniknya, mendengar lagu-lagu tentang putus cinta itu tak bikin hati saya nggerus tapi justru senyum-senyum sendiri. Saya jadi ikut menyadari, ternyata manusiawi juga ya kalau kita ada di fase benci tapi rindu, berharap mantan baik-baik saja dengan dunianya yang baru. Lalu tetap mendoakan kebaikannya diam-diam karena biar bagaimana pun, kita pernah saling membahagiakan di massa lalu.

Lagu “Yasudah” tentang susahnya merapikan remah-remah hati yang patah. Sepintas melodinya mirip dengan lagu “Tonight You Belong to Me” (2011) Eddie Vadder, tapi ini bukan versi kasmaran melainkan broken heart. “Ada Titik-titik di Ujung Doa” tentang orang yang mendoakan mantan dan memaafkannya. Lagu “Biar Jadi Urusanku” tentang orang yang akhirnya mengetahui pasangannya menemukan cinta baru, dan ia berusaha mengatasi patah hatinya di kamar yang gelap dengan lagu-lagu sedih.

Atau lagu “Foto Kita Blur” tentang kenangan yang terkadang sering nyempil di kepala soal orang yang pernah mengisi hati kita. Hanya saja kenangan itu tak lagi jelas, samar-samar tertutup kenangan baru bersama orang yang mencintai kita hari ini.

Secara keseluruhan lagu-lagu Sal itu adalah sebuah pernyataan bahwa dirinya layak dikenal sebagai orang yang kompleks, berwarna-warni seperti pelangi. Ia tak sesuram, serius, dan sedih seperti dirinya di album “Berhati”. Ia juga bisa menyampaikan humor-humor ganjil dan membimbing kita menertawakan diri, atau merangkul kerapuhan sebagai lelaki, sebagai manusia.

Pophariini bahkan menyebut Sal sebagai musisi cair, mengalir, tak bisa ditebak. Sementara, Whiteboard Journal bilang, Sal adalah generalis yang juga puitis. Namun, buat saya Sal adalah kawan yang kepadanya kita titipikan kisah-kisah hidup untuk diceritakan. Barangkali memang benar kata Sal, bukan musisi yang menulis dan menciptakan lagu, tapi lagu itu yang mencari jalan keluar sendiri untuk bercerita kepada pendengarnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *