#VampirData: Mengapa Banyak Negara Tolak Infrastruktur AI?
Penolakan terhadap pembangunan infrastruktur AI mengungkap dua masalah utama: dampak terhadap lingkungan dan ambisi tak terbatas raksasa teknologi untuk mengejar keuntungan.
Artikel ini adalah bagian kedua dari seri terjemahan isi siniar teknologi sayap kiri, Tech Won’t Save Us, oleh jurnalis teknologi asal Kanada, Paris Marx. Seri khusus empat bagian ini berjudul “Vampir Data”.
Pusat data, rumah server yang memungkinkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) mungkin bertanggung jawab atas 2-3 persen emisi global, jumlah yang hampir sama dengan kontribusi pesawat terbang. Angka ini kelihatannya tidak terlalu besar, namun ia terus bertambah seiring dengan pesatnya pertumbuhan teknologi.
Bagi masyarakat yang tinggal di tempat pusat-pusat data ini dibangun, dampak dari konsumsi air dan listrik untuk infrastruktur ini sudah sangat terasa.
Baca juga: AI Semakin Populer di Pilpres 2024, Apa Dampaknya di Masa Depan?
Di kota kecil The Dalles, Amerika Serikat, warga mempertanyakan dampak penggunaan air pusat data Google di kota mereka. The Dalles ada di daerah yang sering mengalami kekeringan, sehingga tentu saja penduduk khawatir dengan air yang dialirkan ke Google.
Surat kabar The Oregonian pernah meminta Google mengumumkan angka penggunaan air perusahaan tersebut di kota itu. Pada awalnya Google menolak dan bahkan menyeret media tersebut ke pengadilan. Tekanan publik membuat Google akhirnya merilis angka penggunaan air.
Warga terkejut. Hanya dalam waktu lima tahun, konsumsi air Google di kota tersebut meningkat tiga kali lipat. Fasilitas pusat data Google menggunakan 355 juta galon air pada 2021, setara dengan 29 persen dari seluruh air yang digunakan di kota pada tahun itu, menurut Data Center Dynamics. Itu pun masih belum cukup.
“Google telah menjadi vampir air,” ujar warga.
Di Irlandia, menurut laporan The Guardian, 21 persen dari pasokan listrik negara itu disalurkan ke lebih dari 80 pusat data. Pusat data kini menyerap lebih banyak daya dibandingkan semua rumah perkotaan di Irlandia.
Hal ini mengancam akses masyarakat luas terhadap listrik, terutama pada musim dingin. Akibat konsumsi daya yang luar biasa, Irlandia terpaksa melanjutkan ketergantungannya pada energi bahan bakar fosil. Padahal, dunia harus segera mengurangi emisinya untuk memperlambat kerusakan lingkungan akibat krisis iklim.
Di Spanyol, tulis Bloomberg, pusat-pusat data menjamur tidak hanya di daerah urban, namun juga di daerah pinggiran, termasuk di wilayah yang mengalami krisis air seperti Castilla-La Mancha. Krisis air telah menjadi masalah besar bagi sekitar 500 kota di Spanyol, terutama saat musim panas saat mereka harus menghadapi gelombang panas.
Di perumahan Cerrillos, Chile—sebuah daerah yang rawan kekeringan—warga setempat mengorganisir penolakan terhadap rencana pusat pembangunan pusat data Google, setelah mereka menemukan bahwa fasilitas tersebut akan menguras 169 liter air per detik. Di Uruguay, pusat data Google juga mendapatkan perlawanan yang sama.
Orang-orang yang menghadapi gelombang panas, kekeringan, dan kekurangan air akan bersikap skeptis, atau bahkan marah, terhadap kehadiran pusat data besar-besaran di kota mereka. Terutama jika tidak ada jaminan bahwa mega proyek itu tidak akan memperburuk tantangan lingkungan hidup bagi komunitas lokal.
Raksasa teknologi ingin meyakinkan kita bahwa tanpa mendukung “pesta besar” pusat data mereka, internet—beserta semua hal yang kita sukai darinya—akan lenyap. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Baca juga: Dear Mahasiswa yang Hobi Pakai AI, Ada Risiko dan Privasi yang Jadi Taruhan
Pusat Data Tak Hanya Mengisap Sumber Daya
Pusat-pusat data ini tidak hanya menguras air dan listrik dalam jumlah besar, tetapi pada skala tertentu, mereka juga mulai mempersulit negara-negara untuk mencapai target emisi mereka.
Di Amerika Serikat, pembangkit listrik berbahan bakar fosil harus terus beroperasi di beberapa negara bagian untuk mendukung ekpansi pusat data. Bahkan, sebuah laporan di Bloomberg menunjukkan, mereka harus menambah pembangkit listrik demi memenuhi kebutuhan energi pusat data.
Ini mengundang pertanyaan: Berapa banyak sesungguhnya komputasi dan penyimpanan data yang manusia butuhkan?
Para raksasa teknologi ingin meyakinkan kita bahwa tanpa mendukung “pesta besar” pusat data mereka, internet—beserta semua hal yang kita sukai darinya—akan lenyap. Namun, kenyataannya tidak demikian.
Selama beberapa dekade terakhir, raksasa teknologi seperti Amazon, Meta, dan Google telah mengembangkan model yang sangat bergantung pada komputasi dan penyimpanan intensif. Model pengumpulan data massal ini dirancang khusus untuk menargetkan iklan serta memberikan rekomendasi konten, belanja, dan lainnya.
Namun, model semacam itu sebenarnya tidak mutlak diperlukan di internet. Ini adalah keputusan strategis yang diambil oleh perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengkomersialkan produk dan layanan mereka, sekaligus mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Itulah mengapa mereka membutuhkan fasilitas pusat data yang semakin kolosal, dengan puluhan ribu server dan hard drive. Bukan karena infrastruktur sebesar itu esensial bagi pengalaman online kita, tetapi demi mendulang keuntungan setinggi-tingginya.
Baca juga: Kerentanan Anak dari Ancaman Pelecehan Seksual Lewat Kecanggihan AI
AI Generatif Bisa Mengancam Iklim
Sebetulnya kita memiliki pilihan untuk mengambil arah yang berbeda. Namun, kemunculan AI generatif justru mempercepat pembangunan pusat data secara masif. Hal ini terjadi karena perkembangan AI generatif sepenuhnya ditopang oleh model pembuatan dan pengumpulan data massal, serta komputasi terpusat yang berperasi di bawah payung raksasa cloud.
Tanpa pengumpulan data massal, chatbot seperti ChatGPT atau Grok (milik X) tidak akan mungkin bisa tercipta. Dan, mungkin, memang seharusnya tidak usah diciptakan.
Sayangnya, para miliarder teknologi ingin memaksakan visi bahwa teknologi AI generatif harus ada di dunia. Visi segelintir miliarder inilah yang tengah diutamakan oleh para pemimpin kita, sehingga pembangunan pusat data masif akan selalu digenjot.
Potensi kerusakan lingkungan dari pembangunan macam begini akan semakin besar, dan pada akhirnya turut memperburuk krisis iklim.
Baca bagian pertama seri ini: Vampir Data: Bagaimana Teknologi AI Mengisap Sumber Daya
Antonia Timmerman adalah jurnalis teknologi dan bisnis di Jakarta.