Saat Aksi Disambut Represi: Rangkuman Kekerasan Aparat di MayDay Jakarta
Peserta aksi MayDay menari dan melakukan crowd surfing menikmati penampilan band The Jansen di depan gedung MPR/DPR, Jakarta Pusat, (1/5). Namun, di pertengahan lagu kedua, polisi menembakkan meriam air ke arah massa sekitar pukul 17.15. The Jansen pun langsung menyanyikan potongan lagunya yang berjudul ‘Racun Suara’.
“Represif bukanlah cara untuk kau berekspresif,” lantun The Jansen menghadap polisi yang perlahan maju untuk memukul mundur massa aksi, sembari terus menyemprotkan water canon.
Suasana seketika kacau. Dari mobil komando aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), koordinator meminta The Jansen tidak menyanyi lagi dan memerintahkan massa untuk mundur.
Baca juga: Janji Prabowo di Hari Buruh: Hapus ‘Outsourcing’ tapi Tetap Jaga Investor
Sementara, teriakan massa yang panik mengisi udara. “Jangan semprot, Pak, banyak anak kecil.” Di sana memang terlihat banyak buruh yang membawa anaknya. Polisi tidak mengindahkan permintaan tersebut.
Mereka tetap maju perlahan, memukul mundur massa aksi yang berteriak, mengacungkan jari tengah, dan sesekali menembak petasan atau melempar ranting kayu dan tongkat bambu ke arah polisi yang dapat dengan mudah menangkisnya dengan tameng.
Salah satu peserta aksi bernama Jason bingung mengapa polisi maju tanpa pemberitahuan. Padahal, biasanya, polisi terlebih dahulu meminta massa membubarkan diri secara verbal.

“Biasanya kalau memukul mundur massa aksi polisi itu memperingatkan beberapa kali. Misalnya, ini sudah jam lima massa aksi diharapkan bubar. Kali ini enggak. Enggak ada aba-aba langsung tembak water canon,” ujarnya.
Polisi kemudian berupaya menangkap beberapa massa aksi yang sudah mundur hingga pusat perbelanjaan Senayan Park (SPARK). Sejumlah polisi tak berseragam pun muncul dari bawah fly over jalan Gerbang Pemuda untuk menarik massa aksi.
Massa yang tertangkap langsung dijambak dan dipiting. Beberapa yang sudah jatuh diinjak dan dipukul dengan tongkat, bahkan ditekan di bagian leher menggunakan tangan. Sementara yang sempat berlari, harus kejar-kejaran dengan polisi di antara kemacetan kendaraan.
Baca juga: Dua Wajah Hari Buruh: Yang Perlu Kamu Tahu Soal MayDay di Jakarta
Jurnalis Dilarang Merekam
Di tengah kekacauan tersebut, jurnalis Kompas.com Rega Al Muhtada langsung merekam keadaan dengan ponselnya. Dia berhasil mendapatkan gambar massa yang disemprot water canon dan polisi yang terus maju hingga Senayan Park. Sambil terus merekam, dia mengikuti massa yang mundur.
Masalah muncul ketika polisi sedang berupaya menangkap sejumlah massa di samping fly over. Sembari terus berjalan, Rega melihat massa yang dijatuhkan, diinjak, dan dipukul. Secara spontan, dia mengarahkan lensa ponselnya ke polisi tak berseragam yang sedang melakukan represifitas.
Namun, secara spontan juga polisi itu langsung menunjuknya, mengisyaratkan Rega untuk berhenti merekam.
“Mereka langsung melototin, dua orang, kan gue panik ya. Apalagi gue sebagai jurnalis yang agak baru, gue setop ngerekam. Enggak gue doang, banyak juga yang disuruh buat enggak merekam,” tuturnya.

Riyan Setiawan, wartawan Deduktif.id, juga mengalami hal serupa. Dia melihat banyak massa aksi dan jurnalis yang diperintahkan untuk menghapus video dan foto oleh polisi. “Di fly over ada yang disamperin sama polisi, ditarik kameranya, terus disuruh hapus. Gue mulai was-was, polisi mulai sweeping, yang ngambil video dan foto enggak dibolehin,” ucapnya.
Tak lama kemudian, Riyan didatangi oleh beberapa polisi yang mengenakan kaos hitam, “kayak massa aksi gitu, bukan pakai seragam polisi, jadi nyaru.” Salah satu dari mereka memaksa Riyan menghapus video-video represifitas yang berhasil diabadikannya. Untungnya, dia menggunakan kartu pers dan bisa memitigasi intimidasi tersebut.
Baca juga: Aksi #IndonesiaGelap Berlanjut: Lagu Sukatani dan Jari Tengah untuk Danantara
“Sambil nunjukkin id pers gue bilang, saya jurnalis pak, saya ngeliput kok. Akhirnya, gue disuruh selalu ada di samping polisi. Ya, gue pura-pura kooperatif aja, bilang, ‘siap, Pak aman,’ tapi tetap nyari angle untuk ngerekam kekerasan. Gue juga ngeliat, entah itu massa aksi atau jurnalis, pada ditarik-tarikin HP-nya disuruh hapus,” kisah Riyan.
Terpisah di Semarang, kekerasan serupa juga menimpa jurnalis dari Tempo, Jamal Abdun Nasr yang dua kali jadi korban kekerasan aparat saat meliput MayDay. Pertama saat meliput aksi di depan gedung DPRD setempat, kedua ketika ia bersama massa yang dipukul mundur ke Kampus Pascasarjana Undip di Pleburan, Kota Semarang.
Kekerasan terhadap jurnalis termasuk menghalang-halangi dalam melakukan kerja peliputan, melanggar UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers disebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Artikel ini telah diubah di paragraf keenam setelah subjudul pada (3/5) karena narasumber meralat pernyataannya yang menyebutkan nama kelompok tertentu.
















