10 Pemahaman Keliru tentang Feminisme
Feminis membenci pria, Tuhan dan beha. Kamu percaya omong kosong itu? Baca artikel ini dan pahami kekeliruan mengenai gerakan feminisme.
Dari Virginia Woolf dengan keindahan tulisannya; martir penuntut hak perempuan untuk memilih, Emily Davison; para intelektual seperti Simone de Beauvoir, Germaine Greer ,dan Naomi Wolf; aktris Emma Watson; sampai para aktivis daring dari Everyday Sexism – feminisme adalah wajah dari banyak perempuan dan laki-laki, yang terwujud dalam pemikiran-pemikiran dan ekspresi berbeda, semuanya dengan tujuan sama untuk membangun kesetaraan untuk perempuan di semua wilayah kehidupan mereka.
Baca Juga: Kritik terhadap Feminisme atau Memang Anti-Feminis?
Sayangnya, masih banyak orang yang keliru memahaminya dan kekeliruan-kekeliruan itu terus disebarkan sampai sekarang.
Berikut adalah 10 kesalahpahaman terbesar mengenai feminisme:
1. Feminis membenci laki-laki
Ini adalah salah satu kekeliruan paling kuno dan paling melelahkan mengenai feminisme. Feminisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik. Feminisme tidak pernah merupakan ideologi kebencian.
Baca Juga: Feminisme Universalisme vs. Feminisme Baru: Riak Feminisme Perancis Masa Kini
2. Untuk mencapai kesetaraan, feminisme harus melemahkan laki-laki
Mencapai kesetaraan gender memang harus melalui dekonstruksi maskulinitas, namun hal ini tidak sama dengan mengebiri laki-laki. Dalam ratusan tahun sejarahnya (bahkan sebelum istilah “feminisme” dilontarkan), gerakan ini telah memupuk tradisi perenungan yang dalam dan pemikiran kembali konstruksi sosial atas gender maupun dinamika gender. Feminisme seharusnya memperbaiki relasi gender, bukan memperkuat salah satu jenis kelamin dengan mengorbankan yang lain.
3. Feminisme hanya membantu perempuan
Aliran feminisme tidak hanya membebaskan perempuan, gerakan ini juga membebaskan laki-laki dengan memutus standar-standar yang diberikan masyarakat pada perempuan dan laki-laki. Feminisme adalah tentang mengubah peran-peran gender, norma seksual dan praktik-praktik seksis yang membatasi diri.
Laki-laki memiliki kebebasan untuk menjelajah hidup di luar batas-batas kaku maskulinitas tradisional. Feminisme juga mempercayai akses yang sama untuk pendidikan, yang barangkali memungkinkan ibu-ibu Anda mendapatkan gelar universitas dan mendapatkan pekerjaan, sehingga Anda dan saudara-saudara Anda memiliki kesempatan yang lebih baik dalam hidup. Dengan pendidikan, perempuan cenderung memiliki pilihan-pilihan hidup yang lebih baik, menghasilkan keluarga dan masyarakat yang lebih sehat dan berfungsi secara optimal.
4. Hanya perempuan yang bisa jadi feminis
Feminis berkomitmen untuk mengatasi masalah-masalah sehari-hari seperti kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan dan kekerasan seksual, ketidaksetaraan penghasilan, obyektifikasi seksual, dan lain-lain. Cara terbaik untuk menanggulangi masalah-masalah ini adalah untuk melibatkan laki-laki, meningkatkan kesadaran para pegawai pria mengenai kepekaan gender, mengajarkan anak laki-laki untuk menghormati anak perempuan, membuat para ayah mau berbagi beban pekerjaan rumah tangga dan lebih terlibat dalam membesarkan anak-anak, dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Feminisme Muslim Indonesia: Gerakan Perempuan Lawan Konservatisme Agama
5. Feminis pasti ateis
Memang betul bahwa beberapa agama memiliki perspektif-perspektif patriarkal yang tinggi dan melanggengkan praktik-praktik diskriminatif kuno terhadap perempuan, namun bukan berarti tidak ada ruang untuk perbaikan. Ada banyak pihak yang telah memasukkan interpretasi ramah perempuan ke dalam ajaran-ajaran agama. Di Indonesia kita memiliki ulama feminis dan cendekiawan Muslim ini serta beberapa lainnya. Anda tidak perlu mendepak agama Anda untuk meyakini bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki.
6. Feminis tidak percaya pernikahan
Omong kosong. Banyak feminis yang memiliki pernikahan bahagia (salah satunya saya). Selama pernikahan memberikan nilai-nilai pribadi, hukum dan sosial kepada kedua orang di dalamnya, tidak ada alasan untuk menolak lembaga perkawinan. Yang ditolak para feminis ini adalah ketika masyarakat menilai pernikahan sebagai “tempat yang lebih baik” untuk perempuan, memberi hukuman sosial untuk mereka yang tidak menikah atau bercerai, dan ketika pernikahan digunakan sebagai cara mengontrol perempuan. Selain itu, para feminis percaya pernikahan legal harus berlaku bagi semua preferensi seksual dan ekspresi gender (ya, kami percaya pernikahan sesama jenis!).
Baca Juga: Feminis Radikal dan Gagasan-gagasan tentang Seksualitas Perempuan
7. Feminis sejati tidak menggunakan rias wajah dan beha
Bohong! Feminisme memberikan perempuan pilihan – bukan membatasi – ekspresi pribadi. Tidak bisa lepas dari sepatu hak tinggi? Pakailah. Senang memakai rok mini hitam? Mengapa tidak. Namun mengekspresikan diri dalam ekspresi feminitas tradisional adalah pilihan, bukan kewajiban, dan tidak seharusnya itu mendefinisikan diri Anda. Secara pribadi, saya suka terlihat cantik, tapi saya tidak suka membuang terlalu banyak waktu dan energi untuk melakukannya, jadi saya jarang memakai rias wajah, kecuali pensil alis dan lip-gloss.
8. Feminisme adalah konsep Barat
Sejujurnya, ini adalah salah satu kritik diri utama dalam gerakan feminis di masa lalu: bahwa feminisme, sebagai gerakan dan ideologi, terlalu Eropa-sentris dan didikte oleh perempuan kelas menengah berkulit putih. Gerakan ini juga dikritik karena kecenderungannya untuk mengabaikan kelas, kasta, agama, bias etnis dan diskriminasi ras yang memperumit ide mengenai gender. Namun feminisme telah ada sejak lama di bagian dunia non-Barat, dari Amerika Selatan, Asia sampai Afrika, meskipun dengan fokus-fokus yang sedikit disesuaikan dengan konteks lokal.
9. Feminisme belum berubah seiring waktu
Salah! Gelombang pertama feminisme pada abad 19 dan awal abad ke-20 difokuskan pada persamaan hak sipil dan politik, terutama hak perempuan untuk memilih dalam pemilu. Gelombang kedua, yang mulai pada 1960an sampai 1980an, memperluas tujuan-tujuan itu untuk menyertakan isu-isu seksualitas, keluarga, tempat kerja, hak-hak reproduksi dan ketidaksamaan legal lainnya. Feminis-feminis gelombang ketiga mengembangkan debat-debat itu untuk fokus pada ide-ide seperti teori homoseksualitas, penghapusan ekspektasi peran dan stereotip gender. Kesadaran dalam feminisme saat ini – terkadang disebut feminisme gelombang keempat, meski masih diperdebatkan – merengkuh ide “interseksionalitas”, penindasan-penindasan ganda yang saling berkaitan terhadap ras, seks, seksualitas dan kelas. Ini adalah gerakan dan kesadaran yang mengadvokasi orang-orang untuk memberi ruang pada mereka yang termarjinalkan secara politik, ekonomi dan sosial karena gender, preferensi seksual, ras, kelas dan hal-hal lainnya.
Baca Juga: Melirik Keberagaman Fokus Perjuangan Aliran-aliran Feminisme
10. Feminisme tidak diperlukan lagi karena perempuan sudah setara dengan laki-laki
Hal ini sangat keliru. Mari ingat-ingat lagi tuntutan gerakan pembebasan perempuan pada 1970an: Empat tuntutan pertama adalah kesetaraan gaji, kesempatan sama atas pendidikan dan pekerjaan, jaminan hak-hak reproduksi, dan penghapusan kekerasan atau pemaksaan seksual tanpa memandang status pernikahannya. Sekarang lihat fakta-fakta hari ini: Menurut laporan dari Organisasi Buruh Sedunia PBB, perempuan di seluruh dunia hanya menerima 77 persen dari besarnya gaji yang dibayarkan untuk laki-laki, angka yang hanya meningkat 3 persen dalam 20 tahun terakhir. Ditambah lagi, banyak lapangan pekerjaan masih tidak ramah untuk ibu, dan posisi-posisi kepemimpinan teratas dalam perusahaan-perusahaan dan pemerintahan masih sangat didominasi oleh laki-laki.
Kedua, di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah anak-anak perempuan yang putus sekolah masih lebih tinggi daripada anak laki-laki karena orangtua mereka melihat anak perempuan tidak menguntungkan dilihat dari investasi ekonomi. Ketiga, meski alat-alat kontrasepsi sekarang tersedia secara luas, banyak negara (termasuk Indonesia) yang masih memperbolehkan pernikahan di bawah umur, yang melanggengkan kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan. Keempat, budaya pemerkosaan tumbuh subur baik di negara maju maupun berkembang. Di negara-negara seperti Indonesia, hukum dan penegak hukum dalam kasus-kasus kekerasan seksual hampir tidak pernah berpihak pada perempuan.
Selain itu, tradisi mengerikan seperti mutilasi genital perempuan masih dipraktikkan di Afrika dan bahkan di Indonesia. Dan, jangan lupa, meski perempuan akan boleh memilih untuk pertama kalinya dalam pemilu di Arab Saudi tahun ini, mereka masih belum boleh menyetir atau meninggalkan rumah tanpa muhrim laki-laki.
Jadi masih berpikir pekerjaan kita sudah selesai? Pikirkan lagi.
*Tulisan ini diterjemahkan dari artikel “10 Things You’re Wrong About Feminism”.
**Baca wawancara Devi mengenai salah satu feminis pertama Indonesia, Kartini, dan ikuti @dasmaran di Twitter.