4 Film India Kontroversial yang Angkat Isu Agama dan Perempuan
Sejumlah film India yang mengangkat isu agama menghadapi boikot sampai ancaman mati.
Melakukan kritik sosial lewat film bisa lebih efektif untuk menyuarakan isu serta bisa menjangkau lebih banyak kalangan. Yang sulit adalah jika negara atau masyarakat tempat film itu dibuat masih otoriter atau konservatif. Pembuat film atau para aktornya bisa diancam, ditangkap, atau bahkan kehilangan nyawa.
Situasi ini terjadi juga di industri film India. Bollywood bukan cuma menghasilkan film percintaan atau joget-joget, tapi juga film-film yang berisi commentary atau kritik sosial politik. Seperti halnya di Indonesia, isu agama dan perempuan termasuk hal sensitif untuk direpresentasikan dalam film di India. Tidak jarang kelompok agama garis keras melakukan protes terhadap sejumlah film yang dianggap menyinggung keyakinan mereka, terutama oleh kelompok Hindu sebagai mayoritas di sana. Bentuk-bentuk protesnya pun beragam, mulai dari pemboikotan film di bioskop-bioskop, perusakan kendaraan dan blokade jalan, ancaman terhadap insan film yang terlibat, hingga ancaman menyakiti diri sendiri oleh si pemrotes bila film tetap ditayangkan.
Protes berbagai kelompok yang menghujani film berisu agama dan perempuan tak membuat para pembuat film Bollywood jera. Dari tahun ke tahun, ada saja film Bollywood yang mengajak kita—yang meskipun tinggal jauh dari India—untuk berefleksi tentang praktik hidup beragama dan nasib perempuan di masyarakat yang masih sangat patriarkal ini.
Baca juga: 5 Film Kontroversial Yang Cerita dan Aktornya Bermasalah
Berikut empat film Bollywood rekomendasi kami yang tidak sekadar kontroversial tapi memang digarap dengan baik.
-
Padmaavat (2018)
Film fiksi karya Sanjay Leela Bhansali ini dibuat berdasarkan puisi Malik Muhammad Jayasi tahun 1540 yang berjudul “Padmavat”. Kendati ditulis pada abad 16, Padmaavat mengambil latar abad 13-14, menggambarkan perang antara orang-orang Hindu Rajput di Benteng Chittor dan dinasti Khilji dari Kesultanan Delhi yang menganut Islam.
Perang antara dua kerajaan tersebut dipicu oleh ambisi Sultan Alauddin Khilji untuk memiliki Ratu Padmavati, istri Raja Ratan Singh, pemimpin Rajput. Oleh seorang pendeta, ia diramalkan akan menjadi penguasa yang setara dengan Iskandar Agung jika berhasil mendapatkan Ratu Padmavati yang konon kecantikannya tiada tara.
Baca juga: Mengkritik Agama Sendiri, Berani?
Dalam pertempuran satu lawan satu dengan Sultan Alauddin, Raja Ratan Singh tewas setelah pasukan Khilji tiba-tiba melancarkan serangan panah ke arahnya. Mendengar kematian suaminya, Ratu Padmavati pun memutuskan untuk melakukan jauhar—praktik membakar diri oleh perempuan untuk menghindari perbudakan atau pemerkosaan oleh pihak musuh—dan mengajak perempuan-perempuan di kerajaan untuk mengikuti jejaknya.
Dibintangi Deepika Padukone and Ranveer Singh, film ini menuai protes dari sebagian masyarakat karena dianggap mengglorifikasi sati—praktik dalam Hindu di mana seorang janda membakar diri setelah kematian suaminya demi kehormatan. Meskipun sati sudah dilarang sejak 1829 ketika Inggris menduduki India, praktiknya masih saja ditemukan. Dilansir India Today, pada 1943 sampai 1987 dilaporkan terjadi 30 praktik sati. Bahkan hingga memasuki abad 21, di beberapa daerah pinggiran di India, praktik ini masih dilakukan.
Selain itu, Padmaavat juga dianggap mendistorsi sejarah. Jika sosok Ratan Singh dan Alauddin Khilji benar-benar ada dalam sejarah, eksistensi Padmavati yang sesungguhnya dipertanyakan.
Mulanya, judul film ini adalah Padmavati. Menyusul protes sebagian orang karena judul tersebut dianggap melecehkan dewi Hindu bernama serupa, judul film pun diganti menjadi Padmaavat.
Ada rumor yang beredar bahwa film ini menggambarkan percintaan antara Alauddin, sang pemimpin Muslim dengan Ratu Hindu, Padmavati. Rumor tersebut telah ditampik oleh si pembuat film. Walau demikian, kelompok-kelompok agama ekstremis yang merasa tidak senang tetap memboikot film, memblokade jalan, serta merusak kendaraan sebagai ekspresi protesnya. Kelompok perempuan Ksatria dari Cittor pun sempat mengancam akan membakar diri bila film itu tetap ditayangkan. Tidak hanya itu, Padukone dan Bhansali juga sempat diancam akan dipenggal oleh kelompok pemrotes.
-
PK (2014)
Sesosok makhluk luar angkasa (Aamir Khan) dikirim ke bumi untuk mempelajari kehidupan manusia. Setelah mendarat di India, ia kehilangan remote control yang diperlukan untuk dapat kembali ke planetnya.
Baca juga: ‘Bandit Queen’ Kebangkitan Perempuan Penyintas Kekerasan
Beragam kejadian ia temui dalam rangka menemukan kembali remote control tersebut, sekaligus pembelajarannya “menjadi manusia”, termasuk yang berkenaan dengan praktik agama dan budaya dalam masyarakat India. Dalam perjalanannya, ia bertemu dan berteman dengan seorang gadis Hindu bernama Jaggu (Anushka Sharma), jurnalis yang kisah cintanya terhambat karena sang pacar, Sarfaraz, adalah muslim asal Pakistan.
Film karya sutradara Rajkumar Hirani ini dianggap kontroversial karena banyak melancarkan kritik soal agama lewat karakter PK. Seorang guru yoga, Baba Ramdev, sempat meminta masyarakat memboikot PK karena dianggap menodai agamanya.
Sebuah tulisan yang dimuat di Journal of Religion and Film (2016) menyatakan bahwa kehadiran film itu menjadi kian menonjol di tengah penangkapan guru-guru Hindu yang melakukan pembunuhan dan pemerkosaan. Berita ini muncul bersamaan dengan adanya kasus-kasus pemaksaan konversi agama oleh para kelompok ekstremis Hindu kepada pemeluk Islam dan Kristen.
Isu perbedaan agama sepasang kekasih dalam PK juga mendatangkan kontroversi di tengah relasi berduri antara India dan Pakistan.
-
Oh My God (2012)
Komedi satir yang disutradarai Umesh Shukla ini bercerita tentang perjalanan spiritual Kanji (Paresh Rawal), seorang laki-laki paruh baya ateis pemilik toko barang antik. Ketika berdagang, ia kerap kali mencurangi pelanggannya demi mendapat keuntungan lebih. Tidak jarang pula ia mencibir orang-orang religius yang mengultuskan pemimpin agama seperti Siddeshwar Maharaj serta mengkritik praktik komersial keagamaan di sana.
Suatu hari, gempa bumi mengguncang dan menghancurkan toko Kanji. Ketika hendak mencairkan asuransi tokonya, pihak asuransi menolak dengan alasan musibah yang menimpa Kanji adalah “aksi Tuhan”. Tidak terima dengan kondisi tersebut, Kanji pun “menggugat” Tuhan ke pengadilan setelah susah payah mencari pengacara yang mau membelanya, dan menuntut sejumlah pemimpin agama yang dianggap sebagai perwakilan Tuhan di dunia.
Sementara berjuang untuk memenangi perkara, Kanji mesti berhadapan dengan teror dari kelompok garis keras. Tidak hanya itu, istrinya pun meninggalkan dia yang tengah jatuh miskin dan dikejar pihak bank yang mau menyita rumahnya.
Film yang dibuat berdasarkan cerita drama panggung “Kanji Virrudh Kanji” ini menuai protes sejumlah kalangan karena dianggap merendahkan dewa-dewa yang tergambar di sana. Protes semacam ini membuat Oh My God diboikot di beberapa kota di India.
Baca juga: ‘She Speaks’: Perempuan India di Berbagai Belahan Dunia Bersuara Lewat Cerpen
-
Water (2005)
Berlatar tahun 1938, film ini mengangkat isu perkawinan anak dan kehidupan para janda yang mengalami diskriminasi di India. Dalam tradisi Hindu di India yang digambarkan film ini, janda mesti diasingkan ke tempat khusus dan digunduli. Tidak hanya itu, orang-orang pun menganggap janda sangat nista dan tidak boleh menikah lagi. Banyak janda yang telah diasingkan sejak diri mereka kecil, satu di antaranya adalah Chuyia (Sarala Kariyawasam) yang menjanda sejak kira-kira usia tujuh tahun.
Chuyia kecil tak suka dengan tradisi tersebut dan sudah mencoba memberontak sejak ditinggal di pengasingan. Dalam berbagai adegan, terlihat ia bertanya kritis pada janda-janda lebih tua di sekitarnya.
Walaupun janda dipandang mesti menjaga kesucian diri setelah kematian suaminya, seorang janda teman Chuyia bernama Kalyani (Lisa Ray) justru mengalami hal sebaliknya. Pertama, ia malah dijual sebagai pelacur oleh kepala rumah pengasingan janda dan dirinya dianggap “aset”. Kemudian saat bertemu dengan laki-laki terpelajar yang mendukung pembebasan, Narayan (John Abraham), Kalyani jatuh hati padanya.
Merupakan bagian dari trilogi elemen karya Deepa Mehta, nominasi Oscar 2007 untuk film berbahasa asing terbaik ini sempat diprotes karena dianggap “anti-Hindu” oleh kelompok sayap kanan Hindu, Shiv Sena. Dilansir ABCNews, kelompok tersebut bahkan sempat melakukan perusakan ketika pengambilan gambar Water dilakukan di sekitar Varanasi pada tahun 2000. Dua tahun sebelumnya, Shiv Sena juga sempat melakukan aksi vandalisme dan bersikeras menyetop pertunjukan film Mehta terdahulu yang menjadi bagian trilogi elemen, Fire, karena menggambarkan relasi lesbian.