December 6, 2025
Health Issues

Ongkos Mahal Kesehatan Mental di Negeri Konoha

Mustahil punya mental sehat di negara dengan kebijakan publik yang tak berpihak. Namun, saat biaya konseling kian mahal dan negara absen, ke mana lagi kita mencari pertolongan?

  • July 11, 2025
  • 5 min read
  • 2085 Views
Ongkos Mahal Kesehatan Mental di Negeri Konoha

Saya tertegun saat membuka situs layanan konseling daring minggu lalu. Satu sesi 30 menit konseling dengan psikolog bisa dihargai hingga Rp1,5 juta. Pilihan termurah pun menyentuh angka Rp300 ribu. Saya bertanya-tanya, mengapa harga layanan ini semakin mahal. Dompet ini enggak selalu sekuat beban mental yang saya rasakan. 

Saya akui, kehadiran psikolog pernah menjadi penyelamat dalam hidup. Mereka tak sekadar jadi pendengar, melainkan juga membantu saya membongkar pola pikir yang merusak, mengurai rasa takut, hingga menyusun ulang tujuan hidup. 

Dalam situasi sekarang ketika beban hidup semakin berat, saya merasa butuh mengakses psikolog kembali. Apalagi saat ini saya mulai dihantui kecemasan finansial, pekerjaan yang tak stabil, krisis iklim, dan frustrasi terhadap kebijakan publik yang tidak berpihak pada kelompok rentan. Semua ini menumpuk dan enggak mungkin diselesaikan sendirian. 

Alina, teman yang tinggal di pinggiran Jakarta, juga mengalami tekanan serupa. Ia harus menghadapi banjir musiman, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan gaji pas-pasan sebagai karyawan toko. 

Gue tuh pengin banget terapi (psikolog), tapi biaya segitu bisa buat makan seminggu,” katanya pada saya. 

Alina tidak punya banyak pilihan. Ia hanya bisa bertahan semampunya, sambil menunda perawatan yang sebenarnya dibutuhkan. 

Baca juga: Hadiah Vaksin HPV: ‘Love Language’ Baru di Tengah Absennya Negara Lindungi Kesehatan Perempuan 

Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kesehatan Mental Kita? 

Ketika biaya layanan psikolog meningkat dan negara belum menyediakan infrastruktur layak, pertanyaannya jadi lebih mendasar. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kesehatan mental masyarakat? 

Saya bertanya kepada Adela Nurroza Witami, Psikolog Klinis, tentang mahalnya tarif konseling saat ini. Ia menjelaskan, “Kalau dihitung dari efek jangka panjang yang bisa didapat klien, ya seharusnya memang sebanding. Konseling bisa membantu seseorang tetap hidup.” 

Menurutnya, permasalahan utama bukan hanya soal biaya tinggi. Yang lebih penting adalah ketiadaan sistem perlindungan sosial yang kuat. Negara belum mengintegrasikan layanan kesehatan mental dalam sistem kesehatan dasar secara menyeluruh. 

“Misal orang kena serangan jantung, lalu dirawat dan depresi berat, depresinya ini enggak ditanggung. Padahal dia butuh pendampingan psikolog supaya pemulihannya utuh,” katanya. 

Negara masih memperlakukan kesehatan mental sebagai urusan tambahan. Padahal dampaknya bisa sangat luas. Tanpa penanganan yang layak, kesehatan mental yang buruk dapat memicu putus sekolah, kehilangan pekerjaan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga bunuh diri. 

Baca juga: Ethan Hunt Tak Butuh Konseling: Kesehatan Mental yang Absen di ‘Mission: Impossible’ 

Kesehatan Mental Bukan Tanggung Jawab Individu Saja 

Narasi dominan di media sosial selama ini mendorong individu untuk menyelesaikan persoalan mentalnya secara mandiri. Saran-saran seperti self-love, healing, meditasi, journaling, atau olahraga terdengar berulang kali. Namun tidak semua orang memiliki waktu dan sumber daya untuk itu. 

Mereka yang bekerja 10 jam sehari demi menyambung hidup sulit menyediakan waktu untuk meditasi. Mereka yang gajinya habis untuk sewa dan kebutuhan pokok tidak punya sisa dana untuk terapi atau aromaterapi. 

Adela menjelaskan secara teori, tidak ada pendekatan psikologi yang memisahkan kondisi mental dari konteks sosialnya. Ia merujuk pada Teori Ekologi Perkembangan Bronfenbrenner (1979) yang menjelaskan, kondisi mental individu terbentuk dari interaksi dengan sistem sosial, ekonomi, budaya, dan kebijakan publik. 

“Faktor eksternal ini berlapis-lapis. Jadi enggak bisa cuma dibilang ‘kamu kurang bersyukur’. Sistemnya juga harus dibenahi,” ungkapnya. 

Pernyataan tersebut sejalan dengan pandangan David Matthews, Ketua Program Kesehatan dan Sosial di Universitas Bangor, Wales. Artikelnya berjudul Mental Health and Capitalism: The Hidden Cost of Inequality  (2020) yang terbit di Spectre Journal menjelaskan ini. Kata dia, kesehatan mental bukan hanya persoalan psikologis, tetapi juga refleksi dari ketimpangan sosial. Sistem ekonomi yang eksploitatif, kehidupan kota yang menekan, dan beban kerja yang tidak manusiawi semuanya turut memperburuk kondisi mental warga. 

Narasi dominan di media sosial selama ini mendorong individu untuk menyelesaikan persoalan mentalnya secara mandiri. Saran-saran seperti self-love, healing, meditasi, journaling, atau olahraga terdengar berulang kali. Namun tidak semua orang memiliki waktu dan sumber daya untuk itu. 

Baca juga: ‘Everything is Political’ termasuk Menstruasi Perempuan 

Apa yang Bisa Dilakukan Negara? 

Langkah pertama menurut Luh Ayu Candra, Psikolog Klinis di Jakarta, adalah melakukan asesmen kebutuhan di setiap wilayah. 

“Enggak bisa disamaratakan. Tiap daerah punya tekanan sosial yang beda. Pemerintah daerah perlu tahu dulu apa masalah kolektifnya,” jelasnya. 

Namun asesmen tidak cukup. Negara harus memberikan subsidi nyata terhadap layanan kesehatan mental. Saat ini, dukungan dari BPJS sangat terbatas dan belum merata. Meski beberapa rumah sakit besar memiliki layanan psikiatri dan psikologi, jumlahnya masih sedikit dan antreannya panjang. Akses layanan di luar kota-kota besar bahkan lebih sulit. 

“Kalau bisa, BPJS itu bisa nanggung juga layanan konseling dengan psikolog. Seenggaknya, satu kali sebulan,” ujar Ayu. 

Ia juga menambahkan pentingnya perbaikan di sektor lain yang beririsan dengan kesehatan mental, seperti transportasi, hunian layak, dan pekerjaan manusiawi. 

“Karena ketika tekanan dari luar sudah berkurang, kondisi mental juga bisa lebih stabil,” katanya. 

Pada akhirnya, kita tahu ada peranan negara yang memang harus lebih dominan berperan. Pemerintah tak bisa lagi menyuarakan pentingnya kesehatan mental, terutama dalam peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia secara seremonial. Namun juga menjamin infrastruktur psikologi di puskesmas, mendistribusi tenaga ahli secara merata, dan membuat anggaran yang lebih baik. 

Sebagai informasi, saat ini anggaran soal ini hanya menyentuh 0,16 persen dari total belanja kesehatan nasional, menurut klaim Kementerian Kesehatan pada 2023. Jika negara mampu mengalokasikan dana besar untuk subsidi kendaraan listrik, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), dan alutsista militer, seharusnya layanan psikologis dasar untuk warga bukan sesuatu yang terlalu mahal untuk diprioritaskan. Sebab kesehatan mental adalah hak dasar warga negara, bukan cuma hak sahabat kepala negara. #Eh 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).