
Hidup di dunia yang konon sudah merdeka dan mapan, selalu ada hal-hal kecil yang sengaja dikecilkan agar tak tampak sebagai luka besar. Salah satunya darah yang saban bulan keluar dari tubuh para menstruator—perempuan, transpria, maupun individu nonbiner. Darah yang menjadi penanda tubuh bekerja sebagaimana semestinya, tapi justru paling sering disembunyikan, dilupakan oleh negara, dipungut diam-diam oleh pasar, dan dibisukan oleh hukum.
Lalu kita mempertanyakan mengapa pembalut dikenai pajak? Ini bukan sekadar pertanyaan teknis, tapi gugatan sebagai manusia yang memiliki pengalaman menstruasi yang tidak nyaman.
Baca juga: Tabu Menstruasi di Jepang: Saat Darah Haid Dianggap Aib
Menstruasi dan Kesunyian yang Diwariskan
Menstruasi bukan hanya proses biologis tentang keluarnya darah dari vagina. Ia juga hadir bersama rasa nyeri, perubahan suasana hati, pembengkakan tubuh, kontraksi rahim yang menyakitkan, hingga kelelahan yang sulit dijelaskan. Menurut studi oleh American Academy of Family Physicians, sekitar 20 persen perempuan mengalami Dismenore atau nyeri haid yang cukup parah hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Namun, beban ini tidak hanya bersifat fisik. Menstruasi juga sarat beban psikologis dan sosial. Rasa malu karena noda di rok, ketakutan disalahpahami, atau ketidaknyamanan saat membuang pembalut di toilet umum merupakan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam budaya yang menjadikan darah menstruasi sebagai aib, perempuan diajarkan untuk bungkam, menutupi, dan menanggung sendirian.
Dalam sebagian tradisi keagamaan, menstruasi bahkan dikaitkan dengan kutukan. Dalam teks-teks Yahudi dan tafsir klasik dalam agama Abrahamik, menstruasi dianggap sebagai akibat dosa Hawa. Narasi ini turut melegitimasi marginalisasi menstruator dalam ruang sosial maupun spiritual.
Baca juga: Menstruasi Bukan Aib, Kenapa Laki-laki Malu Beli Pembalut?
Kebutuhan Dasar yang Diabaikan oleh Negara
Profesor Gender dan Seksualitas, University of Massachusetts-Boston Chris Bobel menjelaskan menstruasi dalam tulisannya “The Managed Body: Developing Girls and Menstrual Health in the Global South”. Di sana ia menegaskan menstruasi adalah masalah politik. Maksudnya, ketika separuh populasi dunia dipaksa mengelola darah mereka dalam rasa malu, sunyi, dan keterbatasan akses, itu bukan kegagalan individu, tapi kegagalan sistemik.
Negara mestinya menjamin agar menstruator bisa menjalani proses biologis ini dengan bermartabat. Bukannya menjadi sponsor yang membuat stigma soal menstruasi jadi lebih kental. Dalam hal ini Bobel menjelaskan, stigma menstruasi adalah bentuk kekerasan struktural yang diabadikan oleh norma budaya dan kebijakan publik yang bias gender.
Masalahnya di Indonesia, pembicaraan soal menstruasi masih kalah penting dari isu-isu lain seperti revisi UU TNI, barak militer “anak nakal”, atau Makan Bergizi Gratis Prabowo. Negara kita memiliki anggaran belanja Rp3.325 triliun, tapi tak satu persen pun digunakan untuk menyubsidi pembalut. Padahal, menurut Indonesia Menstrual Equity Collective, hanya dibutuhkan Rp5 triliun per tahun—sekitar 0,15 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)—untuk menyediakan pembalut gratis bagi perempuan miskin di seluruh Indonesia.
Ketidakadilan ini tak berhenti di pembalut. Pisau cukur perempuan lebih mahal dari versi pria meski spesifikasinya sama. Sabun cair berlabel “untuk perempuan” dijual lebih mahal karena aromanya berbeda. Ini adalah bentuk diskriminasi harga atau gender-based pricing, praktik yang dikritik dalam laporan Bank Dunia karena membuat perempuan harus membayar lebih untuk hidup yang setara. Ini bukan soal konsumsi, tapi soal keadilan.
Sementara di belahan bumi lainnya, seperti di Skotlandia, sejak 2022, pembalut dan tampon gratis tersedia di sekolah, perpustakaan, bahkan penjara. Kenya, negara pertama yang menghapus pajak pembalut, mencatat penurunan angka putus sekolah perempuan sebesar 22 persen dan kenaikan partisipasi kerja sebesar 17 persen setelah kebijakan itu diterapkan. Kolombia bukan hanya membebaskan pajak, tapi mewajibkan sekolah dan penjara menyediakan produk menstruasi gratis.
Sebaliknya di Indonesia, banyak menstruator harus memilih antara membeli nasi atau pembalut. Di pelosok, anak-anak perempuan masih menggunakan kain bekas karena tak mampu membeli produk higienis. Ini bukan sekadar kemiskinan, tapi hasil dari politik pengabaian.
Baca juga: Cawan Menstruasi: Antara Lingkungan Hidup dan Kemiskinan
Politik Pengabaian yang Menyulitkan Hidup Menstruator
Kegagalan negara dalam memandang menstruasi sebagai isu publik tidak hanya mengabadikan stigma, tapi juga melahirkan hambatan multidimensi yang menghambat kehidupan menstruator. Menstruasi telah lama direduksi menjadi “urusan domestik” yang terpinggirkan dari kebijakan publik, absennya kebijakan yang mengatur gender based pricing menunjukkan kegagalan negara dalam melindungi mentsruator dari eksploitasi pasar. Padahal, Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan publik masih mengabaikan fakta bahwa 1 dari 5 perempuan Indonesia mengalami Dismenore yang mengganggu aktivitas harian. Tanpa intervensi negara, beban ganda ekonomi dan kesehatan ini akan terus memperlebar jurang ketidaksetaraan.
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyebutkan,10 persen siswi di Indonesia membolos sekolah selama 1-3 hari setiap bulan karena ketiadaan akses ke toilet bersih dan pembalut. Dalam jangka panjang, hal ini berkontribusi pada tingginya angka putus sekolah oleh menstruator. Negara yang mengabaikan hak mestruator ini membentuk rantai ketidaksetaraan yang berkelindang dan sulit untuk diputus.
Kegagalan memandang menstruasi sebagai isu politik berujung pada kebijakan yang tak sensitif gender, anggaran tak adil, sistem kesehatan yang abai. Persoalan pengabaian ini juga tidak sekadar pembalut atau pajak, melainkan pengakuan bahwa tubuh menstruator bukan medan perang, melainkan subjek yang berhak atas kenyamanan, keamanan dan martabat. Sehingga, dalam melakukan aktivitas sehari-hari minimal tidak lagi pusing memilih antara kebutuhan perut atau kebutuhan kesehatan reproduksi.
Keadilan bagi Rakyat yang Mana?
Pada akhirnya kita harus jujur mengakui negara bukan kekurangan uang. Mereka hanya menerapkan politik pengabaian. Praktik itu terus dipelihara melalui mitos bahwa menstruasi adalah “urusan domestik”, ada sistem yang dibangun dari keuntungan di atas penderitaan menstruator. Ketika pembalut dikenai pajak 11 persen, hal ini merupakan pengkhianatan konstitusi yang menjamin hak kesehatan warga negaranya.
Kita boleh terpesona pada kemajuan Skotlandia, Kenya, atau Kolombia. Namun di balik praktik baik, ada perjalanan panjang atas perjuangan untuk mengubah paradigma negara dalam melihat kebutuhan dasar menstruator sebagai hak yang harus diakomodasi melalui kebijakan, anggaran dan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Di Indonesia, kita masih terjebak dalam ilusi “perjuangan personal”. Menstruator diajari untuk malu meminta cuti menstruasi, bersyukur dapat membeli pembalut meski harus berutang, dan menerima nasib bahwa infrastruktur publik tak pernah ramah terhadap rahim. Padahal, ketidakadilan yang dinormalisasi adalah bentuk paling berbahaya dari kekerasan itu sendiri, Maka jika darah menstruasi dianggap najis, lalu kenajisan macam apa yang melekat pada sistem yang membiarkan anak-anak perempuan masih menggunakan kain bekas sebagai pembalut?
Jawabannya ada pada kita semua. Pada negara yang masih gagal melihat persoalan menstruasi dan absen dalam pemenuhan kebutuhan dasar hampir separuh penduduk negaranya. Pada individu yang diam ketika mestruator “diejek” karena noda darah di seragam. Pada individu yang memperkuat narasi bahwa menstruasi adalah “aib”, bukan proses alamiah biologis yang patut dirayakan dengan bahagia, nyaman dan sehat.
Menstruasi bukan sekadar darah. Ia adalah manifestasi dari janji kemerdekaan yang tertunda. Selama menstruator masih diliputi oleh rasa malu, kemiskinan dan kebijakan yang bias gender, selama itu pula kegagalan negara dalam memenuhi hak dasar terus dirawat.
Daripada mengglorifikasi “hebatnya” menstruator untuk tetap dapat menjalani hari-hari di tengah kompleksitas menstruasi yang dialami dan daripada melantunkan puja-puji atas “pengorbanan” perempuan, lebih baik tegakkan keadilan dengan mengakomodasi pemenuhan hak-hak dasar menstruator.
Firda Ainun Ula saat ini bekerja untuk penghapusan kekerasan berbasis gender melalui lembaga Rifka Annisa WCC. Selain itu, Ia juga sedang menempuh studi Magister Hubungan Internasional yang memiliki fokus pada Gender dan Politik Global.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
