June 20, 2025
Culture Health Screen Raves

Ethan Hunt Tak Butuh Konseling: Kesehatan Mental yang Absen di ‘Mission: Impossible’

Ethan Hunt terus menyelamatkan dunia tanpa pernah menunjukkan trauma atau kebutuhan terapi. Mengapa isu kesehatan mental absen dari waralaba ‘Mission: Impossible?’

  • June 3, 2025
  • 4 min read
  • 2103 Views
Ethan Hunt Tak Butuh Konseling: Kesehatan Mental yang Absen di ‘Mission: Impossible’

Saat menonton film Mission: Impossible – The Final Reckoning baru-baru ini, ada satu hal yang mengganjal dalam pikiran saya. Sebagai penggemar lama seri Mission: Impossible, baru kali ini saya benar-benar merenungkan karakter Ethan Hunt yang diperankan Tom Cruise.

Bagaimana mungkin Hunt dalam The Final Reckoning bisa selamat setelah menyelam ke laut dalam, masuk ke kapal selam berlapis baja tanpa perlindungan memadai, dan keluar hidup-hidup tanpa cedera berarti? Memang, ini film Hollywood. Namanya juga Mission: Impossible. Tapi tidakkah seharusnya ada bekas luka batin? Trauma setelah berkali-kali kehilangan teman dekat, istri, dan menghadapi kematian nyaris setiap saat?

Di saat semakin banyak pembuat film sadar akan pentingnya isu kesehatan mental, Mission: Impossible menjadi anomali yang mencolok. Hunt, agen rahasia super tangguh yang telah menyelamatkan dunia berkali-kali, tetap melaju seolah tanpa beban psikologis. Tidak ada adegan terapi. Tidak ada dialog tentang gangguan stress pasca-trauma (PTSD). Tidak ada pengakuan bahwa misi-misi ekstrem bisa berdampak traumatis.

Dan mungkin, satu nama yang mendominasi proses kreatif film ini punya kaitan dengan hal tersebut: Tom Cruise.

Baca juga: ‘Bullying’ dalam Film ‘Jumbo’: Antara Fiksi dan Realitas

Di mana sisi rentan Ethan Hunt?

Tom Cruise bukan sekadar pemeran utama. Sejak film kedua, ia juga bertindak sebagai produser eksekutif, memegang pengaruh besar dalam arah kreatif waralaba ini. Fakta lain yang menarik: Cruise merupakan anggota aktif Gereja Scientology, gerakan keagamaan kontroversial yang memandang psikiatri sebagai praktik destruktif dan tidak valid.

Dalam ajaran Scientology, gangguan mental seperti depresi atau kecemasan sebaiknya tidak ditangani dengan terapi konvensional atau obat-obatan. Sebagai gantinya, mereka menggunakan teknik auditing dan perangkat spiritual mereka.

Penolakan Cruise terhadap dunia psikiatri juga terekam di ruang publik. Salah satu momen paling terkenal terjadi saat wawancara dengan Matt Lauer pada 2005, ketika Cruise mengkritik aktris Brooke Shields karena menggunakan antidepresan untuk mengatasi depresi pasca-persalinan.

“Psychiatry is a pseudoscience,” tegas Cruise kala itu, sebuah pernyataan yang memicu kontroversi besar di media.

Pada akhirnya, latar belakang pribadi Cruise sebagai penganut Scientology mungkin turut berperan dalam arah kreatif penggambaran karakter Ethan Hunt, meskipun hal ini masih bersifat spekulasi.

Jika kita menelusuri karakter Ethan Hunt sepanjang tujuh film, dan kini yang kedelapan (The Final Reckoning), Ethan Hunt digambarkan sebagai sosok nyaris superhuman. Melompat dari gedung pencakar langit, bertarung di atas kereta, menyelam di laut dalam, bergelantungan di pesawat jet, dan kehilangan orang-orang tercinta, namun tetap tampil bugar, tanpa trauma atau beban emosional.

Apakah ini karena karakter Hunt memang ditulis sebagai figur “sempurna”? Ataukah karena sang aktor-produser tidak menginginkan narasi yang membuka ruang untuk isu kesehatan mental?

Baca juga: Ada Apa dengan Umay dan Film Kesehatan Mental?

Film aksi bisa memuat realisme psikologis

Mission: Impossible memang film aksi. Namun genre ini bukan berarti harus steril dari lapisan psikologis. Film Skyfall (2012) misalnya, memperlihatkan James Bond yang bergulat dengan kelelahan mental dan trauma. Karakter Jason Bourne dalam keempat seri Bourne dibangun di atas isu kehilangan identitas dan dampak eksperimen militer. Bahkan sang Batman, Bruce Wayne, dalam The Dark Knight dipenuhi luka psikologis.

Artinya, ruang untuk mengeksplorasi kedalaman emosional tetap terbuka, bahkan di film-film aksi. Namun Mission: Impossible memilih tetap steril dari hal ini.

Absennya representasi kesehatan mental bukan sekadar persoalan artistik, melainkan juga etis. Di era di mana kesadaran akan pentingnya kesejahteraan mental terus meningkat, terutama di kalangan penonton muda, pengabaian tema ini bisa dilihat sebagai langkah mundur.

Bukan berarti semua karakter aksi harus tampil “rapuh” atau ditampilkan menjalani terapi terbuka di layar. Namun akan sangat bermanfaat jika film ini setidaknya menunjukkan bahwa bahkan pahlawan sekelas Ethan Hunt juga bisa memiliki sisi emosional yang perlu dikelola. Sebuah adegan konseling, misalnya, justru akan memperkuat pesan bahwa meminta bantuan bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan.

Baca juga: Pasangan ‘Green Flag’ di ‘1 Kakak 7 Ponakan’ Terlalu Sempurna untuk Jadi Nyata

Waralaba Mission: Impossible adalah pencapaian besar dalam sinema aksi modern. Namun di balik ledakan, konspirasi, dan misi-misi mustahil, ada satu kekosongan naratif yang tak terbantahkan: ketiadaan representasi kesehatan mental.

Mungkin, bagi dunia Mission: Impossible, satu-satunya misi yang benar-benar mustahil adalah… konseling.

Riska Carolina hanya pengamat film dan pengguna jasa psikolog dan psikiater untuk menjaga fungsi keseharian, bukan psikolog, psikiater, atau praktisi psikososial.



#waveforequality
About Author

Riska Carolina