Rambut dalam ‘Nana’, Tempat Trauma dan Rahasia Digelung Bersama
“Bu, kenapa perempuan rambutnya panjang? Kenapa juga harus digelung ke atas? Beberapa bahkan masih harus pakai sanggul…”
Pertanyaan ini dilontarkan Dais (Chempa Puteri), kepada ibunya, Nana (Happy Salma), dalam salah satu adegan awal Before, Now & Then (2022). Dais mendapati ibunya duduk di depan meja rias, menyisir rambut panjang dan tebalnya dengan lembut dan perlahan.
Nana merespons, dengan jawaban yang tak hanya jadi tesis dari keseluruhan film, tapi juga tata laku yang ia percayai dan praktikkan: “Perempuan itu harus pintar menyimpan rahasia. Apa pun yang terjadi dalam rumah tangganya, disimpan di balik gelungan rambutnya.”
Before, Now & Then, film panjang keempat Kamila Andini ini, berlatar beberapa periode kelam Indonesia. Adegan pembuka, terjadi di ujung masa revolusi kemerdekaan melawan penjajahan Belanda. Linimasa film lalu lompat ke era kepresidenan Sukarno, dan membentang hingga masa transisi menuju Orde Baru. Menariknya, segala peristiwa besar dalam konteks yang lebih luas terjadi di luar layar, tapi getarannya terasa di kehidupan domestik para karakternya.
Film ini diadaptasi Kamila dari salah satu bab novel karya Ahda Imran bertajuk Jais Darga Namaku. Dalam Nana, sebutan singkat film ini, Kamila memperkecil lensa sejarah. Dari ketegangan yang melanda negara, ke institusi paling mikro yang hadir di tengah masyarakat: pernikahan dan keluarga.
Lewat adegan pembuka, disugestikan bahwa Nana berhasil selamat dari sebuah kejadian sadis yang membunuh sang ayah dan membuatnya terpisah dari suami pertama. Ia lantas punya hidup nyaman bersama suami keduanya, Darga (Arswendy Bening Swara). Kini, Nana adalah perempuan yang berorbit di kalangan elite masyarakat Pasundan. Di sana, segala trauma yang ia peroleh, Nana pendam dan transformasikan menjadi keanggunan aristokratik yang enigmatik.
Salah satu teka-teki trauma itu terus-menerus hadir lewat simbol rambut—sesuatu yang mengilustrasikan pergolakan di tubuh Nana dan film Nana. Memahami bagaimana Nana memperlakukan rambutnya dan Nana membingkai rambut Nana, jadi esensi untuk bisa memahami episentrum emosional kisah ini.
Baca juga: Membaca Waktu dan Krisis Iklim dalam ‘Sore: Istri dari Masa Depan’
Filosofi Rambut dan Cara Kamila Andini Bicara Trauma
Mempersiapkan rambut adalah bagian konstan di tiap pagi Nana. Baik ditusuk konde, dengan tusuk konde mahal pemberian suaminya, maupun digelung rapi. Rambut yang digelung menjadi metafora visual atas peran sosial yang ia kenakan setiap hari: indah, tertata, dan restriktif. Dalam Nana, rambut ditampilkan tak hanya sebagai bagian tubuh yang bisa dirias. Ia adalah narasi itu sendiri: pasif, berlapis, tapi tegas mewakili pengalaman batin perempuan.
Rambut Nana, panjang dan hitam legam, ia rawat untuk mempercantik diri, dan saksi bisu yang mengendapkan trauma dan alat utama untuk performa.
Kita berkali-kali diperlihatkan sosok Nana yang disorot dari belakang: ketika ia berjalan menyusuri gang, menghadiri acara bersama ibu-ibu lain, atau sekadar menjalankan rutinitas rumah tangga. Di momen-momen itu, kamera menyuguhkan tubuhnya yang anggun dalam kebaya lengkap, tapi wajahnya luput dari pandangan.
Kita hanya melihat bagian luar yang sudah dipoles, rambutnya yang sudah digelung sempurna; bukan dirinya, melainkan perannya. Rambut yang digelung adalah topeng sosial, dan seperti dikemukakan oleh Ningsih dkk. (2025), konde atau sanggul merupakan simbol tatanan hidup yang tertib dan kesanggupan perempuan dalam menjaga nama baik keluarganya. Maka, sanggul bukan hanya gaya rambut, tapi kostum peran yang dikenakan untuk bertahan di masyarakat patriarkis.

Motif visual yang memanfaatkan rambut tidak hanya muncul lewat tubuh Nana sendiri, tapi juga melalui bagaimana ia memperlakukan rambut suaminya.
Dalam dua adegan domestik, pertama saat Nana mengecat rambut Darga dan kedua saat ia mencukurnya, kita melihat bagaimana rambut dipakai sebagai perumpamaan sesuatu yang disamarkan.
Adegan mengecat rambut, utamanya, sangatlah penting: Darga adalah suami yang berselingkuh, dan di situ, Nana sedang “membantu” menutupi uban suaminya—secara literal dan metaforis. Ia tidak hanya menutupi usia dan kerapuhan laki-laki itu, tapi juga aib rumah tangga mereka. Sebagai istri, ia adalah korban dari perselingkuhan, tapi juga secara aktif menyembunyikan luka itu demi menjaga citra keluarga.
Dalam konteks ini, rambut menjadi ruang simbolik tempat perawatan dan penyembunyian menyatu.
Menyisir rambut sendiri berarti menjaga rahasia diri; merawat rambut suami berarti menjaga rahasia orang lain. Tindakan Nana tidak didorong oleh amarah atau pembalasan, melainkan perwujudan penerimaan yang kompleks. Ia tidak mengungkapkan sakit hatinya, tapi memilih merawatnya dalam bentuk tindakan domestik yang terlihat “biasa” padahal sangat politis. Di sinilah kebesaran film ini: dalam hal-hal kecil seperti rambut yang dicat, ia menyuarakan sistem yang menuntut perempuan untuk tetap tenang, tetap rapi, dan tetap menyembunyikan hal-hal yang tidak pantas disebut, meskipun luka itu menempel langsung di kulit kepala mereka.
Baca juga: Mempertanyakan Keutuhan Keluarga Lewat ‘Ipar Adalah Maut’ dan ‘1 Kakak 7 Ponakan
Ruang Pembacaan Queer dari Solidaritas Sesama Perempuan
Namun, interioritas Nana; rasa sakit, keraguan, dan kerinduan akan masa lalunya, pelan-pelan bocor lewat momen-momen saat rambutnya dibiarkan lepas.
Rambut terurai muncul saat ia sendirian, merokok di malam hari, atau ketika ia berbaring bersama suaminya di kamar. Tapi justru, momen paling jujur dan telanjang secara emosional terjadi saat Nana duduk bersisian dengan Ino (Laura Basuki), perempuan simpanan suaminya.
Di tengah sunyi malam, mereka mengisap rokok dengan rambut panjang yang sama-sama terurai. Di momen itu, keduanya tidak sedang memainkan peran sosial sebagai “istri sah” atau “selingkuhan.” Mereka hanya menjadi perempuan; diri mereka sendiri. Seperti ditulis A. Izharuddin (2015), “Cinematic space allows women to reimagine roles assigned to them, and solidarity often emerges in the margins.”
Dalam keheningan yang dibingkai lembut oleh kamera Batara Goempar, rambut menjadi bahasa pengakuan dan resistensi. Ia menyuarakan yang tak bisa diucapkan; tentang luka, tentang kelelahan, dan tentang kejujuran yang hanya bisa muncul ketika sanggul dilepas, dan perempuan berhenti menjadi siapa-siapa.
Di tangan sineas lain, Ino, ragam perempuan yang oleh media hari ini akan dengan mudah dilabeli ‘‘pelakor’, mungkin sudah dibakar habis oleh naskah yang haus konflik. Tapi, Nana dengan sengaja menghindari jebakan misoginis ini. Tidak ada drama pertengkaran, tidak ada sindiran murahan. Pertemuan pertama mereka terjadi hanya dengan saling tatap, dan secara instan mengidentifikasikan luka satu sama lain.
Hubungan antara Nana dan Ino kemudian justru berkembang menjadi sesuatu yang unik; persekongkolan senyap antarperempuan yang sama-sama terperangkap dalam sistem.
Sebagai “orang ketiga”, Ino tidak digambarkan sebagai predator, tapi sebagai korban lain yang, seperti Nana, berusaha bertahan di dunia yang menuntut perempuan untuk selalu ‘kuat’ dan diam. Di balik ketenangannya, penampilan memukau Laura—yang memberinya piala Silver Bear for Best Supporting Performance di Berlin—mampu mengkomunikasikan lapisan rasa bersalah yang mungkin hanya bisa dipahami oleh sesama perempuan.
Baca juga: Saat Muslimah Tahu yang Dimau: Membaca Lagi Adegan Seks dalam ‘Perempuan Berkalung Sorban’
Seperti yang dikemukakan feminis queer Sara Ahmed dalam The Cultural Politics of Emotion, rasa bersalah dan luka yang dirasakan perempuan dalam sistem heteronormatif bisa tersirkulasi dari satu tubuh ke tubuh lain, dan membentuk “affective economy” yang menyatukan perempuan dalam kesalingmengertian.
Dalam logika ini, kedekatan antara Nana dan Ino justru terbentuk akibat keduanya terjebak dalam skenario cinta segitiga. Sebagai perempuan, mereka seolah harus berdiri di dua kutub berseberangan. Namun, posisi ini justru memungkinkan Nana dan Ino untuk bisa mereka saling memahami, tanpa diawali dengan perundingan atau diskusi. Hubungan mereka berlandaskan sebuah pemahaman bersama bahwa sistem masyarakat yang mereka tinggali tidak berpihak pada perempuan mana pun.
Di akhir film, ketika Nana akhirnya berkata bahwa ia “sudah tidak kuat,” Ino adalah orang pertama yang ia cari. Karena hanya Ino yang sanggup melihat dirinya, bukan perannya.
Penemuan diri Nana terjadi di sebuah adegan saat Ino mengajaknya berenang. Adegan ini menjadi klimaks emansipasi emosional Nana.
Nana, masih lengkap dalam balutan kebaya, lompat bebas dari bibir tebing. Untuk pertama kalinya, ia tampak lepas dan bebas. Ajakan spontan dari Ino untuk berenang ini menunjukkan sesuatu yang lebih besar dari simpati: solidaritas, mungkin juga cinta.
Kamera satu level dengan tubuh keduanya yang mengapung di air, menangkap erotisme lembut yang muncul dari keintiman tanpa pretensi saat keduanya saling mencipratkan air. Erotisme macam ini mengingatkan saya pada dinamika antara Siti (Shanty) dan Dwi (Rieke Diah Pitaloka) di Berbagi Suami (2006). Sebagai istri kedua dan ketiga dari seorang supir (Lukman Sardi), Siti dan Dwi menemukan tensi seksual di tengah situasi hidup di mana tubuh mereka secara harfiah berhimpitan dalam rumah yang sempit. Keduanya pun makin diakrabkan oleh keseharian mereka yang bahu-membahu menyelesaikan tugas domestik dan mengurus satu laki-laki yang sama.
Relasi seperti ini berada dalam spektrum yang oleh Eve Kosofsky Sedgwick (1985) disebut sebagai homosocial desire, yaitu sebuah hasrat yang tumbuh dalam hubungan sesama gender, yang meski tidak selalu termanifestasi secara seksual, tetap bermuatan afektif dan erotik.
Dalam ketidaklangsungannya, relasi ini memiliki muatan subversif: bahwa keintiman antarperempuan bisa menjadi ruang pembebasan dari struktur heteronormatif yang menindas. Berkat Siti, Dwi yakin mau diajak kabur untuk membangun kehidupan yang lebih layak di luar sana. Berkat Ino, Nana bisa rileks tampil rapuh saat keduanya sama-sama menggerai rambutnya. Relasi ini membuktikan bahwa pembebasan perempuan tidak harus datang dari lengan laki-laki lain, tapi bisa muncul dari tangan perempuan yang berdiri sejajar dengannya.
















