Culture Screen Raves

Mempertanyakan Keutuhan Keluarga Lewat ‘Ipar Adalah Maut’ dan ‘1 Kakak 7 Ponakan’

Lewat dua film ini, kita bisa melihat bagaimana konsep keluarga utuh dipertanyakan dan di titik tertentu, dikritik.

Avatar
  • February 5, 2025
  • 6 min read
  • 375 Views
Mempertanyakan Keutuhan Keluarga Lewat ‘Ipar Adalah Maut’ dan ‘1 Kakak 7 Ponakan’

Dalam narasi populer Indonesia, keluarga sering kali diposisikan sebagai pilar utama kehidupan sosial, dan film menjadi medium yang terus mereproduksi nilai-nilai ini. Ipar Adalah Maut (Hanung Bramantyo, 2024) dan 1 Kakak 7 Ponakan (Yandy Laurens, 2025) sama-sama mengangkat keluarga sebagai pusat konflik, tetapi menawarkan solusi yang berbeda.

Menegakkan keutuhan keluarga nuklir sempat ditawarkan Ipar Adalah Maut sebagai resolusi, meski film berakhir dengan menunjukkan bahwa jalan masing-masing individu lebih memberikan ketenangan. Hal ini menjadikan Ipar Adalah Maut menarik untuk disandingkan dengan 1 Kakak 7 Ponakan, yang mengajukan konsep keluarga alternatif yang lebih fleksibel, karena kualitas keintiman dan kebersamaan tidak melulu ditentukan oleh status yang tercantum di Kartu Keluarga.

 

 

Dengan membandingkan dua film yang rilis dalam jangka waktu satu tahun ke belakang ini, paling tidak kita bisa melihat bagaimana sinema Indonesia hari ini mulai mengeksplorasi alternatif terhadap struktur keluarga tradisional yang selama ini dianggap sebagai norma.

Baca juga: Pasangan ‘Green Flag’ di ‘1 Kakak 7 Ponakan’ Terlalu Sempurna untuk Jadi Nyata

Keutuhan Keluarga Nuklir yang Tak Lagi Relevan?

Diadaptasi dari kisah viral di TikTok, secara intrinsik Ipar Adalah Maut sudah memiliki daya tarik dramatis yang kuat dan menjual. Film ini berkisah tentang Aris (Deva Mahendra), seorang suami yang berselingkuh dengan iparnya sendiri, Rani (Davina Karamoy), hingga mengguncang rumah tangganya yang tampak sempurna dengan Nisa (Michelle Ziudith). Setelah konflik pecah, film menampilkan upaya untuk merekonsiliasi anggota keluarga dengan menjadikan “keutuhan keluarga” sebagai tujuan akhir, terutama melalui peran ibu (Dewi Irawan) yang terus berusaha memperbaiki hubungan kedua anaknya.

Namun, pada akhirnya, tiga tokoh utama itu menemukan jalan mereka sendiri—Nisa dengan kesuksesan bisnisnya, Aris dengan usahanya untuk menebus kesalahan (meskipun film secara aktif merehabilitasi citranya sebagai pria yang tetap saleh), dan Rani yang kehilangan ruangnya dalam keluarga tanpa ada usaha yang seimbang untuk merehabilitasi karakternya. Alih-alih menampilkan keluarga yang kembali utuh, film ini justru memperlihatkan bahwa hubungan mereka tetap retak, meski konflik utama telah usai. Tidak ada pemulihan keluarga yang sesungguhnya, hanya individu-individu yang melanjutkan hidup mereka tanpa benar-benar kembali bersatu.

Sementara Ipar Adalah Maut mengajukan keharmonisan keluarga nuklir sebagai solusi yang gagal, 1 Kakak 7 Ponakan justru menantang konsep itu sepenuhnya dengan menghadirkan bentuk keluarga yang lebih cair. Film ini berpusat pada Moko (Chicco Kurniawan) yang, setelah kematian mendadak kakaknya, harus mengambil alih peran sebagai kepala keluarga dengan segala tanggung jawabnya. Tidak hanya harus mencari cara untuk menghidupi mereka, ia pun harus menghadapi konflik internal dan perbedaan karakter di dalam rumah, yang sering kali menguji kesabaran dan rasa tanggung jawabnya. Di tengah perjuangannya sebagai pencari nafkah, hubungannya dengan sang pacar, Maurin (Amanda Rawles), perlahan merenggang. 

Diawali dengan Moko yang mulai resisten dalam menerima bantuan, dan berakhir dengan mengalienasi Maurin seutuhnya. “7 Ponakan” dalam judul film ini tidak merujuk pada hubungan darah semata, melainkan kombinasi individu yang terhubung karena keadaan. Ada yang memang keponakan secara biologis, ada yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah, hingga kakak kandung beserta suaminya yang merepotkan yang, berkat segala ulahnya, berakhir menjadi beban tambahan bagi Moko sebagai “Kakak”. Film ini tidak berangkat dari konflik keluarga yang harus dipulihkan, tetapi justru membangun kehangatan dari situasi yang tidak ideal. Ini bertolak belakang dengan Ipar Adalah Maut, yang mencoba mempertahankan konsep keluarga nuklir meskipun jelas bahwa ikatan tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Dalam filmografi Yandy, tema kekeluargaan selalu menjadi inti dari narasi yang ia bangun. Keluarga Cemara (2019) merefleksikan nilai kekeluargaan khas Orde Baru dengan sentuhan modern, menekankan pentingnya keutuhan keluarga dalam menghadapi kesulitan (Setiawan, 2021). Representasi dalam film ini memperlihatkan bagaimana keluarga diposisikan sebagai unit sosial yang tetap kokoh meski mengalami himpitan ekonomi, dengan penekanan pada nilai gotong royong dan pengorbanan. 

Baca juga: Hidup yang Kuinginkan untuk Keponakan Perempuanku

Meninggalkan “Keluarga Utuh” Warisan Orba?

Pada masa Orde Baru, negara secara aktif mempromosikan konsep keluarga inti sebagai pilar utama stabilitas sosial. Melalui berbagai kebijakan, seperti program Keluarga Berencana (KB) yang menekankan “dua anak cukup” dan propaganda melalui media, negara berusaha membentuk standar ideal keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dalam peran yang jelas dan hierarkis.

Tujuan dari lembaga keluarga ini tidak hanya untuk kesejahteraan ekonomi, tetapi juga untuk membentuk warga negara yang patuh dan stabil secara ideologis. Representasi keluarga dalam produk media di masa Orde Baru, seperti serial orisinal Keluarga Cemara, banyak merefleksikan nilai ini—bahwa keluarga adalah tempat perlindungan utama, dan perpecahan dalam keluarga dipandang sebagai kegagalan sosial.

Namun, dalam 1 Kakak 7 Ponakan, Yandy menawarkan pandangan yang berbeda. Alih-alih berusaha mempertahankan struktur keluarga tradisional, film ini menunjukkan bahwa keintiman dan kebersamaan bisa tumbuh dari pengalaman bersama dan rasa tanggung jawab yang dibangun secara sukarela. Konsep keluarga alternatif dalam 1 Kakak 7 Ponakan dapat dikaitkan dengan gagasan yang diungkapkan Kath Weston (1991) tentang chosen family, yaitu keluarga yang terbentuk bukan berdasarkan hubungan biologis, tetapi atas dasar koneksi emosional dan dukungan timbal balik. 

Dalam konteks film ini, Moko dan para “ponakannya” tidak memiliki hubungan darah segaris sebagaimana konsep keluarga nuklir, tetapi mereka membentuk sistem dukungan yang sama kuatnya dengan keluarga konvensional. Konsep ini juga mencerminkan pergeseran sosial di Indonesia, ketika individu mulai mencari keluarga di luar batasan tradisional. Dalam sebuah adegan yang menjadi puncak emosional dalam film, semua karakter kunci berkumpul dan memperdebatkan tentang beban dari mengurus keluarga. Woko (Fatih Unru) menyampaikan pesan kunci dari film ini: tentang bagaimana “beban” hanyalah sebuah keniscayaan apabila dilakukan untuk orang tercinta, bukan sebagai sesuatu yang ditakar berat atau ringannya. Bahwa, sebagai keluarga, beban itu boleh dan bisa dibagi untuk dipikul bersama.

Baca juga: Review ‘Spy x Family’: Anime Komedi yang Ubah Makna Keluarga

Kedua film ini sama-sama menempatkan keluarga sebagai elemen utama, tetapi dengan implikasi yang berbeda. Ipar Adalah Maut seolah ingin menegaskan bahwa keluarga nuklir harus dipertahankan dengan segala cara, tetapi akhirnya justru menunjukkan sebaliknya—bahwa rekonsiliasi tidak selalu terjadi, dan setiap individu mungkin lebih baik berjalan sendiri. Sementara itu, 1 Kakak 7 Ponakan menawarkan bentuk keluarga yang lebih dinamis, saat kebersamaan tidak selalu ditentukan oleh garis keturunan.

Pergeseran representasi ini mencerminkan dinamika sosial yang lebih luas di Indonesia. Jika sinema Orde Baru menekankan pentingnya keluarga inti sebagai landasan moral masyarakat, film-film saat ini mulai mengajukan pertanyaan: apakah keutuhan keluarga selalu menjadi solusi terbaik? Atau justru, seperti yang ditunjukkan oleh Ipar Adalah Maut, ada saatnya ketika berjalan sendiri-sendiri adalah pilihan yang lebih sehat?

Dengan membandingkan dua film ini, kita dapat melihat bagaimana sinema Indonesia terus merundingkan nilai-nilai kekeluargaan, tidak hanya sebagai idealisme, tetapi juga sebagai sesuatu yang bisa dipertanyakan dan diredefinisi.

Catra Wardhana Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinbrugh. Di sela waktunya menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Catra Wardhana

Catra Wardhana adalah peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *