Saat Muslimah Tahu yang Dimau: Membaca Lagi Adegan Seks dalam ‘Perempuan Berkalung Sorban’

Di tengah periode penayangan Perempuan Berkalung Sorban di bioskop 2009 lalu, secara tidak mengejutkan, reaksi negatif bermunculan dari sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan. Mulai dari imam besar Masjid Istiqlal hingga, Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Mereka mengecam karena film itu dianggap menyudutkan pesantren dan menyebarkan gagasan feminisme yang, menurut mereka, bertentangan dengan ajaran Islam. “Saya malah menganjurkan tidak usah nonton saja […] Pencitraan tentang pesantren sangat disayangkan sekali, bahkan saya berani mengatakan itu bukan hanya merusak citra saja, tapi memfitnah,” ujar Ali Mustafa Yakub, yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI.
Mereka juga menuntut film arahan Hanung Bramantyo itu ditarik dari peredaran. Ujungnya, Perempuan Berkalung Sorban berakhir tetap tersirkulasi bebas di masyarakat dan mengantongi 7 nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2009. Namun, jika ada yang kontroversi itu bantu soroti, ialah keberanian film ini membuka ruang diskusi tentang relasi kuasa, seksualitas, dan otoritas agama dalam kehidupan perempuan muslim.
Perempuan Berkalung Sorban hadir dalam konteks kebangkitan genre sinema religi di Indonesia, yang mulai meledak selepas kesuksesan Ayat-Ayat Cinta (2008). Namun, berbeda dengan film-film bertema “Islam cinta” seangkatannya, film yang naskah adaptasinya ditulis Gina S. Noer dari novel karya Abidah El Khalieqy ini memilih untuk tidak mengglorifikasi agama secara buta. Ia malah membongkar struktur sosial yang dibangun atas nama agama.
Jika Ayat-Ayat Cinta menguatkan gagasan perempuan sebagai makhluk yang tabah nan taat, maka film ini menampilkan perempuan yang kritis dan berdaya. Dalam arus sinema yang punya kecenderungan untuk menyederhanakan kompleksitas perempuan dalam kerangka romantisme Islami, film ini justru memilih ketegangan dan keberanian sebagai gaya narasinya.
Perempuan Berkalung Sorban ialah satu dari film Indonesia kontemporer penting yang membicarakan tubuh perempuan muslim bukan sebagai simbol kesucian semata, tetapi sebagai ruang pengalaman spiritual, psikologis, dan politik.
Tokoh utamanya, Annisa (Revalina S. Temat), tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sangat patriarkal, di mana tubuh perempuan dikontrol atas nama moral dan agama. Sebagai korban politik dinasti pesantren, Annisa pun harus menerima nasib dijodohkan dengan Samsudin (Reza Rahadian, dalam peran mayor pertamanya di layar lebar), laki-laki “saleh” yang kasar dan abusif, yang menjadikan seks sebagai kewajiban sepihak dan alat dominasi.
Dari relasi yang penuh trauma itu, Annisa memberanikan diri meminta cerai, untuk kemudian menikah dengan Khudori (Oka Antara), pria yang sejak dulu menghormatinya sebagai manusia utuh.
Baca juga: Di Balik Adegan Copot Kerudung dan Melepas Rambut Palsu dalam Sinema
Di Antara Seksualitas Muslimah yang Dikekang
Film ini memosisikan Annisa sebagai perempuan muslim yang secara sadar merespons dan mengartikulasikannya hasratnya. Ia meruntuhkan kesepakatan-tak-terlihat genre sinema Islam Indonesia yang kerap meniadakan seksualitas perempuan muslimah. Dalam menampilkan pengalaman seksual Annisa, Hanung tidak memilih pendekatan yang vulgar (bertolak belakang dengan yang ia lakukan pada karakter Rani di Ipar adalah Maut). Di film ini, Hanung menampilkannya secara metaforik; membuka ruang untuk memahami bagaimana medium film mampu membicarakan hasrat perempuan muslim, tanpa memasuki teritori eksploitatif.
Momen itu terjadi saat Annisa untuk pertama kalinya berhubungan seks dengan Khudori. Dalam narasi, scene ini penting karena menandai titik balik dari proses penyembuhan Annisa atas trauma seksual yang ia dapatkan dari suami pertamanya. Di awal pernikahannya dengan Khudori, Annisa diceritakan belum langsung siap untuk berhubungan seks.
Namun, Khudori tidak pernah mempermasalahkannya. Seiring dengan tumbuhnya rasa aman antara mereka, Annisa pun kembali merasa nyaman dengan tubuhnya. Scene dibuka dengan Annisa yang perlahan mendekati Khudori yang tengah duduk di ranjang. Annisa kemudian mengambil tangan si suami dan menciumnya lembut, lalu membuka satu per satu kancing kemeja Khudori. Kamera kemudian slide right, memperlihatkan pantulan keduanya yang tengah bercumbu dari cermin meja rias, dan audio fade in suara deburan ombak. Scene lalu cut to pantai, saat Annisa berlari menuju laut, tertawa lepas, tangannya terbuka, tubuhnya bebas.
Keputusan artistik Hanung ini, juga bisa dibaca sebagai upaya negosiasinya sebagai pembuat film di negara yang punya rekam jejak buruk dalam hal penyensoran berbasis ‘moral’. Dalam banyak sinema konvensional, terutama dalam konteks Islam, seksualitas perempuan cenderung direduksi sebagai sesuatu yang tabu atau bahkan tidak ada.
Gönül Dönmez-Colin dalam buku Women, Islam and Cinema mencatat bahwa tubuh perempuan muslim dalam sinema Islam kerap hadir sebagai “medan simbolik tempat kecemasan kultural diproyeksikan.” Karena itu, film ini memilih untuk menghadirkan adegan seksual bukan secara gamblang, melainkan melalui simbolisme visual: tubuh yang berlari ke laut, hantaman ombak, dan air yang menyambut dengan ritme pasang-surut. Semua itu menggantikan visual eksplisit, dan menjelma sebagai alegori untuk orgasme.
Tidak ditampilkannya tubuh Annisa dalam adegan seks ini, disebut Hamid Naficy dalam Women and the Semiotics of Veiling and Vision in Cinema sebagai “semiotics of absence”: Situasi ketika ketidakhadiran tubuh secara literal justru memperkuat intensitas makna.
Dalam adegan ini, tubuh Annisa tidak dieksploitasi, melainkan disimbolkan melalui elemen air dan gerakan tubuh yang riang. Ini adalah orgasme yang tidak digambarkan secara harafiah, melainkan secara spiritual dan psikologis. Tubuh perempuan muslim tidak hadir sebagai objek, tetapi sebagai ruang ekspresi.
Baca juga: Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif: Menilik ‘Trope’ Pria Religius di Film Indonesia
Dari Trauma ke Hasrat: Agensi Perempuan dalam Adegan Seks
Fakta bahwa Annisa yang melakukan inisasi menjadikan sex scene ini penting. Ia tak hanya menyetujui, tetapi juga memulai. Ini menabrak logika sinema patriarkal yang disebut Laura Mulvey dalam esai monumentalnya, sebagai male gaze: Saat perempuan hanya jadi objek dari keinginan laki-laki. Hanung membalik logika ini dan menciptakan female-initiated gaze, tempat perempuan muslimah menjadi subjek aktif atas tubuh dan hasratnya.
Yasmin Ibrahim dalam Visuality and the ‘Jihadi-bride’: The Re-fashioning of Desire in the Digital Age menjelaskan bahwa tubuh perempuan muslim dalam representasi dominan, sering kali dikonstruksi sebagai aseksual, atau hanya hadir sebagai simbol moral. Maka ketika film ini menampilkan Annisa sebagai perempuan yang mengekspresikan cintanya melalui tindakan fisik secara sadar, itu bukan hanya momen personal—tetapi pernyataan politik.
Dalam kerangka sinema pascakolonial, aksi Annisa ini juga bisa dibaca sebagai bentuk dekolonisasi visual. Perempuan muslim mengambil alih tubuhnya dari narasi luar; dari patriarki agama, negara, bahkan sinema itu sendiri. Saat Annisa berlari ke laut, membiarkan dirinya ditabrak ombak, dan mendongak ke langit dengan senyum puas, yang kita lihat bukan hanya kenikmatan seksual, tetapi pembebasan tubuh dari luka.
Terkait hal ini, Fareed Kazmi dalam “Muslim Socials and the Female Protagonist” berargumen bahwa erotisme perempuan muslim yang dikontrol oleh narasi tokoh itu sendiri tidak bisa disamakan dengan eksploitasi. Justru ketika perempuan menentukan kapan dan bagaimana ia akan mencintai dan disentuh, di situlah letak agensinya. Film ini menawarkan model representasi yang jarang ada di sinema Indonesia: Seks sebagai proses penyembuhan spiritual, bukan sebagai ajang moralitas atau dosa.
Enam belas tahun setelah ia dirilis, representasi seperti yang ditawarkan Perempuan Berkalung Sorban masih terasa langka dalam lanskap sinema Indonesia. Banyak film bertema Islam yang muncul setelahnya justru kembali pada pola-pola lama: Menampilkan perempuan muslimah sebagai simbol ketaatan, penderitaan, atau pengorbanan. Sangat sedikit yang berani menampilkan tubuh perempuan muslim sebagai sumber pengalaman sensual yang sah, apalagi ketika pengalaman itu dilandasi kesadaran dan pilihan.
Di sinilah warisan penting film ini terasa semakin relevan: Ia membuka pintu imajinasi terhadap bagaimana tubuh perempuan muslim dapat dihadirkan tanpa rasa takut, rasa malu, atau rasa bersalah. Bahwa seorang perempuan yang berkerudung pun bisa memiliki hasrat, bisa menentukan arah relasi, dan bisa menikmati tubuhnya sendiri tanpa kehilangan spiritualitasnya.
