December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Filsafat ala “Ngab-ngab”, Cara Lelaki Sepelekan Perempuan? 

Dari poster diskusi yang serba laki-laki sampai komentar sinis soal feminis, kasus Ferry dan Syarif menunjukkan filsafat di negeri ini belum lepas dari cengkeraman patriarki.

  • August 9, 2025
  • 4 min read
  • 858 Views
Filsafat ala “Ngab-ngab”, Cara Lelaki Sepelekan Perempuan? 

Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan oleh pernyataan Ferry Irwandi, so-called-influencer. Ia pula yang mendorong jurusan Filsafat dihapus karena dianggap sulit diserap pasar kerja. Bagi sebagian orang, ini sekadar celotehan di media sosial. Namun bagi akademisi filsafat, ucapan Ferry seperti lemparan bola panas yang tak bisa diabaikan. Tantangan pun dilontarkan: Ayo berdebat. 

Tak lama, muncullah rencana diskusi publik bertajuk “Merayakan Kematian Filsafat?” yang dihelat oleh Odyssey Filsafat. Ferry akan hadir sebagai salah satu pembicara. Posternya cepat beredar di Twitter, Instagram, hingga WhatsApp grup akademisi. Namun viralnya bukan karena topik nan provokatif, melainkan satu hal mencolok: 25 pembicaranya semuanya laki-laki. All male panel. 

Bagi banyak warganet, itu bukan sekadar “kebetulan teknis”. Poster itu adalah simbol untuk bicara filsafat, yang dianggap pantas hanyalah suara maskulin. Perempuan? Tak terlihat di radar. Tak butuh dibayangkan ada di meja pembicaraan. 

Ironisnya, di negeri ini kita punya tokoh seperti Karlina Supelli dan Toety Heraty yang tak hanya berfilsafat, tapi menembus tembok maskulin dunia akademik. Masalahnya, mereka sering tak disebut di forum-forum populer, seolah eksistensinya tak cukup “seksi” untuk menarik minat publik mainstream

Baca juga: Siapakah yang Pantas Disebut Feminis? 

Maskulinitas di Panggung Ilmu Pengetahuan 

Filsafat, yang idealnya menjadi arena dialog kritis dan reflektif, dalam praktik sering berubah menjadi klub debat laki-laki. Acara Odyssey Filsafat ini contohnya. Dari awal, kehadiran Ferry—yang tidak punya legitimasi akademik di filsafat—sudah cukup memicu perdebatan. Namun yang membuatnya bermasalah adalah bagaimana para akademisi filsafat menanggapinya: Serius, intens, dan seolah menganggapnya lawan setara. 

Ketika kritik terhadap poster “ngab-ngab” ini menguat, acara akhirnya ditunda tanpa kepastian. Akan tetapi justru di titik ini muncul sinisme yang lebih mengganggu. Syarif Maulana, influencer filsafat lain, menulis dalam esainya Filsafat Telah Mati Ketika Para Filsuf Kegocek Influencer

“Eh masukin perempuan filsuf biar tidak dikomentari feminis, Hypatia atau Héloïse…” 

Kalimat itu mungkin dimaksudkan sebagai sarkasme, tapi yang terdengar justru pengabaian. Alih-alih memandang kritik sebagai upaya membongkar ketidaksetaraan struktural, Syarif memperlakukan keterlibatan perempuan sebagai formalitas politis. Ia mengabaikan fakta bahwa representasi gender bukan soal “biar enggak kena nyinyir feminis”, melainkan soal siapa yang diberi hak bicara di ruang pengetahuan. 

Pengalaman seperti ini membuat banyak perempuan—bahkan yang sudah ahli di bidangnya—merasa lelah. Mereka tahu ruang intelektual masih dikuasai laki-laki, dan kehadiran perempuan kerap dilihat sebagai tambahan kosmetik, bukan kebutuhan substantif. 

Baca juga: Kritik terhadap Feminisme atau Memang Anti-Feminis? 

Kenapa Perempuan Jadi Ancaman Laki-Laki? 

Kita perlu melihat ini sebagai masalah struktural. Selama berabad-abad, pengetahuan diproduksi di ruang yang diciptakan dan dikontrol laki-laki. Perspektif perempuan bukan hanya jarang diundang, tapi juga dianggap kurang valid. 

Maka ketika gerakan feminis menuntut keterwakilan yang adil, sebagian laki-laki merasa terancam. Ada rasa takut kehilangan panggung yang selama ini mereka anggap milik mereka. Dunia ideal yang mereka bayangkan—di mana laki-laki adalah pusat narasi—tiba-tiba tampak goyah. 

Data memperlihatkan paradoks ini. Menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi per April 2025, dosen perempuan di Indonesia mencapai 162.219 orang (46,1 persen), sementara laki-laki 189.592 orang. Namun di jabatan Profesor, perempuan hanya 3.230, jauh tertinggal dari laki-laki yang berjumlah 8.022. 

Fenomena ini dijelaskan oleh feminis Amerika Sandra Harding sebagai bentuk epistemic injustice—ketidakadilan epistemik. Dalam bukunya The Science Question in Feminism (1986), Harding menegaskan masalahnya bukan cuma kurangnya jumlah perempuan, tetapi siapa yang dianggap layak memproduksi pengetahuan, siapa yang dipercaya, dan sudut pandang siapa yang diutamakan. 

Selama sumber produksi pengetahuan masih didominasi laki-laki, hasilnya akan mencerminkan perspektif dan kepentingan mereka. Sistem pun mempertahankan status quo: laki-laki sebagai pusat kekuasaan. 

Harding menawarkan konsep strong objectivity di mana pengetahuan justru akan lebih objektif jika dilihat dari perspektif kelompok yang termarginalkan. Mereka bisa membaca relasi kuasa yang tak terlihat oleh kelompok dominan. Di Indonesia, konsep ini relevan, mengingat patriarki masih dijunjung dalam berbagai aspek kehidupan, dari rumah tangga hingga forum akademik. 

Jika kita ingin memutus rantai ini, ada beberapa langkah yang perlu didorong. Pertama, perempuan harus dilibatkan secara aktif dalam forum akademik, bukan sekadar sebagai “token” untuk memenuhi kuota. Kedua, akses ke posisi strategis seperti Profesor atau dekan harus dibuka lebar, karena kebijakan akan berubah jika pengambil keputusan datang dari latar yang lebih beragam. Ketiga, perlu penguatan mental bagi perempuan yang sering dibentuk untuk merasa inferior. 

Menciptakan ilmu pengetahuan yang inklusif bukan pekerjaan sehari. Namun setiap forum yang mengundang perempuan bicara, setiap kebijakan yang memastikan akses setara, adalah batu kecil yang meruntuhkan tembok besar “abang-abangan” intelektual. 

Kalau para Ferry dan Syarif di luar sana masih menjadikan feminisme sebagai bahan lelucon, mungkin mereka tanpa sadar sedang mengukuhkan bukti: Patriarki memang masih laku di negeri ini. Sejarah juga membuktikan, sistem yang timpang pada akhirnya akan runtuh—bukan karena basa-basi, tapi karena ada cukup banyak orang yang berani mengubahnya. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.