July 14, 2025
Gender & Sexuality Health Issues

‘Feminine Muscle’: Perempuan ‘Gym’ Boleh Berotot tapi Tetap Harus Langsing 

Perempuan makin sering ‘ngegym’ dan membentuk otot. Namun benarkah standar kecantikan kita ikut berubah atau justru makin menekan?

  • June 27, 2025
  • 4 min read
  • 881 Views
‘Feminine Muscle’: Perempuan ‘Gym’ Boleh Berotot tapi Tetap Harus Langsing 

Kalau ditanya siapa aktor paling cantik di Indonesia, mungkin saya akan langsung menjawab Aghniny Haque. Bagi saya, Aghniny adalah representasi ideal perempuan dengan looks yang feminin sekaligus kuat, berkat otot yang terbentuk secara alami lewat latihan. 

Enggak cuma itu, Aghniny juga konsisten menyuarakan gaya hidup sehat di media sosial. Dari makanan sugar-free hingga rutinitas workout, ia menjadi salah satu contoh perempuan yang merepresentasikan tren baru: Cantik adalah kuat. 

Fenomena ini bukan hal baru. Artikel di The Conversation menyebut tren fitspiration sebagai norma kecantikan baru bagi perempuan. Lewat unggahan antusias soal latihan, massa otot, dan gaya hidup sehat, banyak perempuan kini mengadopsi visi bahwa tubuh yang toned, sehat, dan kuat lebih diidamkan ketimbang sekadar kurus. 

Perubahan ini juga tercermin dalam penelitian Frances Bozsik dari University of Missouri-Kansas City. Ia menemukan selama 1999–2013, representasi pemenang kontes Miss USA mulai bergeser ke arah tubuh yang lebih ramping sekaligus berotot. 

Hal serupa terjadi pada Dini, 25, yang kini rutin ke gym demi membentuk tubuh lean. “Gue lagi suka banget ke gym. Biar body goals, terus lean gitu. Enggak kurus aja,” katanya pada Magdalene

Dini mencerminkan bagaimana perempuan mulai membentuk relasi baru dengan tubuhnya. Mereka cenderung lebih sadar untuk aktif, bugar, dan kuat. 

Baca juga: ‘Gender Equal Pay’ di Dunia Olahraga dan Kenapa Atlet Perempuan Dibayar Rendah? 

Impian Tubuh Berotot Perempuan 

Secara historis, otot adalah simbol kekuatan yang dilekatkan pada laki-laki. Dalam tulisan Maskulinitas dari Masa ke Masa (2021), Bagus Ardiansyah dari Sanglah Institute mencatat tubuh berotot dulu menjadi representasi otoritas dan dominasi laki-laki. 

Namun kini, lanskap itu berubah. Mengutip ABC News, latihan beban (strength training) mulai populer di kalangan perempuan Amerika Serikat sejak 2017, bersamaan dengan maraknya aplikasi seperti ClassPass yang memudahkan akses olahraga—termasuk angkat beban, yoga, dan pilates

Saya dan Dini termasuk pengguna aplikasi itu. Berbagai program latihan kini bisa diakses dari mana saja, menjadikan impian punya tubuh yang lean dan kuat bukan lagi hak eksklusif pria atau mereka yang tinggal di kota besar. 

Bersamaan dengan kemudahan ini, figur-figur panutan baru pun bermunculan. Kristin Freebreg, personal trainer dari AS, menyebut perempuan kini jauh lebih percaya diri untuk melatih ototnya. “Begitu mulai melakukannya, mereka cenderung semakin menyukainya karena menyenangkan untuk mencoba menantang diri sendiri,” ujarnya pada ABC News

Baca juga: Meluncur di Atas Kebebasan: Kisah Perempuan 40-an dan ‘Skateboard’ 

Apakah Standar Kecantikan Kita Memang Benar-Benar Berubah? 

Apakah tren ini sepenuhnya membebaskan perempuan dari standar lama? Jawabannya tidak sesederhana itu. 

Peneliti Pirkko Markula dari University of Alberta, dalam artikelnya Feminine Physique (2014), menyebut perempuan berotot bisa jadi bentuk perlawanan terhadap narasi kecantikan tradisional. Namun perlawanan ini bersifat ambigu. 

Bahar Tajrobehkar dalam risetnya Flirting with the Judges (2016), menunjukkan perempuan yang ikut kompetisi bikini fitness masih harus tunduk pada estetika konvensional: Ramping, rambut tertata, wajah ideal. Otot saja belum cukup—harus dibungkus dengan femininity yang “layak tampil.” 

Timothy Baghurst dari Oklahoma State University juga mengungkap masyarakat belum siap menerima tubuh perempuan yang sepenuhnya berotot. Hasilnya? Perempuan berotot tetap harus “terlihat cantik” sesuai norma yang berlaku. 

Dalam batas itu, kekuatan perempuan masih dibingkai oleh kerangka yang lama—yang feminin, estetis, dan socially acceptable

Kasus Imane Khelif, atlet tinju Olimpiade asal Aljazair, memperjelas ini. Menurut Channel News Asia, ia dirundung warganet karena dinilai “terlalu maskulin” untuk kategori perempuan. Padahal ia perempuan biologis dan sah secara kompetisi. Tuduhan semacam ini memperlihatkan ketika tubuh perempuan keluar dari norma, ia langsung dikoreksi secara sosial. 

Baca juga: Bukan Karena Malas, ini Alasan Perempuan Jarang Olahraga 

Menuju Narasi Kecantikan yang Lebih Sehat dan Inklusif 

Jadi, apakah “strong is the new skinny” benar-benar progresif? Jawabannya bisa iya bisa enggak. 

Brooke Whisenhunt, profesor psikologi di Missouri State University, mengingatkan tren ini bisa melahirkan standar baru yang tetap menekan. “Mengomentari strong is the new skinny, menurut saya, standar kecantikan wanita selalu tidak realistis. Sekarang saya merasa kita telah menambahkan variabel lain (pembentukan otot) yang sulit didapatkan oleh kebanyakan orang,” ujarnya. 

Penting untuk memahami membangun otot bisa menjadi pengalaman yang membebaskan—jika dilakukan demi kesehatan, kekuatan diri, atau kepuasan personal, bukan semata-mata agar diterima oleh masyarakat. 

Perempuan berhak mendefinisikan tubuhnya sendiri. Apakah itu kuat, lean, ramping, gemuk, atau berotot. Yang penting, tubuh itu adalah hasil pilihan sadar dan penuh agensi—bukan hasil penyesuaian terus-menerus terhadap standar yang selalu bergeser. 

Dengan makin terbukanya ruang perempuan di dunia kebugaran, kita punya peluang besar membentuk narasi baru: Tubuh sehat bukan hanya milik laki-laki, dan cantik tidak harus selalu sesuai cetakan. 

Yang kini dibutuhkan adalah ruang yang inklusif—yang merayakan keberagaman bentuk tubuh, tanpa syarat. Dari sana, lahirlah standar kecantikan yang lebih adil, sehat, dan manusiawi. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal