Pengalamanku Seminggu Kepo Akun-akun Poligami: Bikin Ngelus Dada dan Emosi
Selama tujuh hari saya menguat-nguatkan diri menuntaskan eksperimen mengikuti akun-akun promosi poligami. Kebanyakan menampilkan objektifikasi perempuan atas nama agama.

Semua bermula di rapat redaksi pertengahan Januari, saat isu poligami sedang hangat-hangatnya. Kali ini dipicu oleh penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) soal Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian oleh Pemerintah Daerah Khusus Jakarta.
Dalam Pergub DKJ Nomor 2 Tahun 2025 itu tertulis tiga alasan yang mendasari Aparatur Sipil Negara (ASN) diperbolehkan poligami. Tiga alasan itu disalin persis dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang ketinggalan zaman—bayangkan saja, UU ini sudah berumur setengah abad. Enggak heran Pergub itu dirujak ramai-ramai oleh warganet. Para pakar, aktivis, feminis, dan perempuan disabilitas termasuk di antaranya.
Praktik poligami yang cenderung mengorbankan perempuan, terus tumbuh subur di Indonesia. Bahkan pada 2017 poligami sempat jadi tren, diperkenalkan layaknya aplikasi kencan lewat Ayo Poligami. Memasuki 2019 hingga 2021, tren poligami bergeser dengan kemunculan diskusi dan seminar-seminar sukses berpoligami. Diskusi dan seminar tersebut umumnya dipromosikan akun-akun dakwah seperti milik Hafidin.
Untuk mengetahui tren terbaru soal poligami, kami memutuskan melakukan eksperimen media sosial. Dalam seminggu, saya mencari dan mengikuti akun-akun pro-poligami. Instagram dan Tiktok yang jadi sasaran utama saya, karena menurut survei We Are Social 2024, keduanya masuk ke dalam TOP 4 media sosial dengan pengguna terbanyak di Indonesia.
Baca juga: Pengalamanku Seminggu Mendengar Podcast Cinta Ngab-ngab
Akun Dakwah Islam yang Masih Eksis
Dalam seminggu eksperimen, akun-akun khusus poligami yang sempat saya telusuri di Instagram ternyata enggak banyak. Beberapa seperti @poligamiiindonesia atau @daurohpoligamiindonesia sudah tidak aktif lagi dengan unggahan terakhir pada 2020. Sedangkan akun-akun khusus poligami lain seperti @poligami_syari dan atau @poligami_halal sudah digembok.
Sebagai gantinya, ajakan berpoligami justru ada di beberapa akun dakwah Islam. Pembenaran praktik poligami bahkan mendorong istri untuk berinsiatif mengizinkan suami berpoligami. Hal ini diunggah dalam bentuk caraousel, lengkap dengan foto atau video promosi poligami. Itu pun tak selalu konsisten mengunggah konten bertema poligami lantaran dicampur dengan topik lain.
Ini yang membuat akun-akun ini lebih aman, karena enggak terlihat pro-poligami. Dalam ratusan unggahan, salah satu yang saya temukan adalah unggahan kolaborasi @thequran_path dan @an.nashihah.daily yang masing-masing memiliki 889.000 pengikut dan 93.800 pengikut.
Dengan unggahan berjudul Suamiku, Menikahlah Lagi, kedua akun ini berusaha menempatkan poligami sebagai salah satu syariat atau hukum agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis yang dianjurkan. Untuk meyakinkan pengikutnya, mereka mengutip pernyataan Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ulama laki-laki asal Arab Saudi yang menekankan, perempuan tidak seharusnya menghalangi suaminya menjalankan syariat. Sebaliknya, perempuan harus menjadi penyemangat suami yang ingin berpoligami.
Mengutip ulama laki-laki sebagai pembenaran praktik poligami juga dilakukan akun @hijrahdesign ber-followers 10.000 orang. Dengan mengutip perkataan Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, akun ini menekankan perempuan tidak diperbolehkan menolak poligami ketika akad nikah. Yang diperbolehkan untuknya adalah mensyaratkan suami bersikap adil.
Selain akun dakwah, saya juga masih menemui beberapa akun pemuka agama, seperti milik Khalid Z.A Basalamah dan Syafiq Riza Basalamah yang secara halus mempromosikan poligami. Cara “main” mereka berbeda dengan akun-akun dakwah Islam pada umumnya yang menggunakan caraousel. Mereka mengunggah reels berisi video pendek dari sesi kajian masing-masing.
Dalam reels ytersebut, mereka tidak langsung memerintah atau mendorong laki-laki untuk berpoligami. Namun, mereka melontarkan pertanyaan kepada pengikutnya. Khalid Z.A Basalamah misalnya bertanya, “Bolehkah kita membenci poligami?” Sedangkan Syafiq Riza Basalamah bertanya, “Apa kira-kira musibah paling berat yang dialami perempuan, suami mati, atau suami poligami?”.
Dengan pertanyaan ini, mereka mengarahkan pengikutnya pada pemahaman, poligami tidak seharusnya dibenci dengan cara yang lebih mudah diterima publik. Mereka tidak berdakwah dengan agresif. Tanpa perintah dan ancaman, mereka dengan mulus menjelaskan bahwa seharusnya perempuan bisa menerima dirinya dimadu. Sebab, poligami adalah ketentuan Allah.
Khalid Z.A bahkan mengungkapkan mereka yang rela dipoligami adalah perempuan-perempuan yang terpilih. Mereka ini dikaruniai hati yang lunak dengan keimanan karena sudah tidak peduli hawa nafsu dan cemburu buta.
Baca juga: Ramai-ramai ‘Bully’ Orang Jelek: Pengalamanku 4 Hari JadiNgab-Ngabdi Akun Receh
Munculnya Konten Kreator Poligami
Walaupun konten-konten poligami masih dipromosikan lewat akun-akun dakwah, saya mengamati ada tren baru yang muncul, yakni kreator konten poligami. Yes, you heard that right. Kreator konten poligami.
Dalam penelusuran saya selama seminggu, ada dua kreator konten poligami yang saya follow, baik di Instagram atau TikTok. Mereka adalah Irsan Kadri dan Mat Peci. Sama seperti kreator konten pada umumnya, Irsan Kadri dan Mat Peci memanfaatkan sumber daya multimodal berupa video, suara, gambar, ucapan, dan teks di akun media sosial untuk menyampaikan pemahaman soal poligami kepada audiens yang lebih luas.
Menariknya, dua kreator konten ini punya pendekatan dan penyampaian yang sangat berbeda satu sama lain. Untuk bisa terus relevan dengan para audiens, Irsan lebih banyak mengikuti tren Tiktok, berita, dan produk budaya popular terkini. Ia lihai mereka ulang beberapa tren TikTok dengan praktik poligami yang ia lakukan.
Mereka mengikuti tren Le Lacon Particuliere untuk menggambarkan masa depan bersama empat istrinya yang tidak sengaja bertemu satu sama lain. Ia juga mereka ulang tren Take a Look at at My Girlfriend untuk memperlihatkan keempat istrinya yang muncul ke dunia nyata, setelah lompat dari lockscreen ponsel.
Tak ketinggalan dia menggunakan lagu This Love Lagu milik Davichi, soundtrack drakor Descendants of the Sun. Dengan lagu viral, dia membuat skit sendiri bersama peran pendukung lain tentang dirinya yang ketahuan poligami usai berjanji enggak menikah lagi. Berkat keliahaiannya menggunakan tren TikTok, Irsan bisa meraup ratusan ribu views.
Selain mereka ulang tren TikTok, Irsan juga mengungah konten kreatifnya sendiri. Sayang konten kreatif ini enggak jauh-jauh dari objektifikasi dan penindasan perempuan. Bayangkan saja dalam salah satu reels yang mencapai 1,5 juta views di Instagram, ia menggambarkan kandungan air mata para laki-laki, yaitu khayalan seks berbalut agama tentang empat perempuan cantik yang siap diperistri.
Selain itu ada pula kontennya di TikTok yang meraup 2.4 juta views. Di situ ia mencoba memperlihatkan “fungsi” masing-masing keempat istri. Mereka ada untuk bersih-besih rumah, masak, jaga anak-anak, dan memijatnya. Punya istri lebih dari satu jadi meringankan biaya pengeluaran rumah tangga karena tak perlu menyewa jasa Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Kontennya ini memperlihatkan bagaimana Irsan memegang kuat nilai-nilai peran gender tradisional. Dalam nilai-nilai ini, perempuan selalu dikaitkan dengan kerja-kerja perawatan tak berbayar. Mereka juga dibatasi kesempatan dan kesejahteraannya. Hal inilah yang dapat memicu masalah kesehatan mental yang lebih buruk.
Irsan yang juga dikenal sebagai ustad terkadang memang menggunggah konten dakwah. Namun konten dakwahnya ini lagi-lagi tidak jauh dari ajaran poligami, dengan format serupa. Bak punya main character syndrome, ia bakal selalu menempatkan diri sebagai sosok aktif yang serba tahu. Ia memberikan nasihat atau ceramah kepada istri-istrinya yang secara pasif mendengarkan saja segala penjelasan tanpa ada sanggahan. Pokoknya harus manut!
Berbeda dengan Irsan, Mat Peci berusaha membangun citra baik sebagai laki-laki adil dalam berpoligami. Ia terus menekankan bagaimana poligami tidak untuk semua orang karena syaratnya yang berat. Poligami tidak boleh sembunyi-sembunyi dan hanya orang mampu secara finansial, adil, menjaga agama, serta mempertahankan kehormatan istri-istri saja yang bisa melakukannya. Jika persyaratan ini tidak bisa dipenuhi, kata dia poligami justru bisa jadi dosa karena merenggut kesejahteraan perempuan.
Untuk lebih menekankan citranya yang adil dalam berpoligami, Mat Peci enggak segan-segan menyindir laki-laki yang berpoligami bermodal nafsu saja. Tak tanggung-tanggung, ia bahkah sempat ikut mengomentari Pergub DKJ Nomor 2 Tahun 2025 yang dinilai aneh.
Untuk mengimbangi unggahannya yang cukup “serius”, Mat Peci kerap kali mengunggah reels candaan tentang realitas yang tak semanis madu tentang menjadi suami yang poligami. Reels ini biasanya menggambarkan kedua istri yang justru asyik sendiri atau saling membagi kasih sayang, sedangkan Mat Peci malah dicuekin.
Unggahan-unggahan seperti ini yang menarik banyak audiens. Saya sempat menemukan komentar seorang yang kontra terhadap poligami, tapi justru mengikuti akun Mat Peci. Ini karena ia mampu memberikan realitas lain yang dinilai lebih adil terhadap poligami di mana para istri terlihat bahagia dengan pernikahan dan akur satu sama lain.
Baca juga: Kumpulan ‘Orang Sakti’ Jabodetabek, Mereka Bisa Tidur Sambil Berdiri
Poligami Tetap Kekerasan terhadap Perempuan
Eksistensi Irsan dan Mat Peci ini dikenal dengan istilah microcelebrity atau selebriti mikro. Istilah ini pertama kali digagas oleh pakar media Theresa Senft pada 2008 dan dikembangkan lebih lanjut oleh Alice Marwick, profesor komunikasi media di Universitas North Carolina.
Dalam studi yang diterbitkan Frontiers in Sociology, Marwick menjelaskan selebriti mikro sebagai pola pikir dan kumpulan praktik presentasi diri yang endemik di media sosial. Di sini pengguna media sosial secara strategis menjangkau pengikut dengan memanfaatkan persona digital guna mengakses modal sosial yang signifikan. Sehingga, selebriti mikro biasanya adalah orang biasa yang menggunakan media sosial untuk memproduksi konten, baik dalam bentuk unggahan foto, video, atau live streaming hingga memiliki banyak pengikut.
Dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Safira Hasna, selebriti mikro dikenal publik dan diidentifikasi berdasarkan sejumlah unsur. Misalnya, kekaguman, asosiasi, aspirasi, atau pengakuan para pengikutnya. Karena itu, ada beberapa hal penting yang harus dimiliki oleh selebriti mikro. Di antaranya adalah sense of everydayness (keseharian), exclusivity (eksklusivitas), exceptional (luar biasa) dan exotic (berbeda dari yang lain).
Konten-konten Irsan dan Mat Peci secara khusus memiliki aspek exotic. Dengan membawa isu poligami yang terus jadi kontroversi, mereka mampu membuat persona tidak biasa yang menyedot perhatian pengguna media sosial Indonesia.
Sayangnya buat perempuan, membaca dan menonton unggahan soal poligami baik dari dua content creator maupun akun-akun dakwah lain, malah bikin saya mengelus dada dan banyak istighfar. Bagaimana tidak, perempuan disederhanakan eksistensinya sebatas objek pemuas hasrat laki-laki saja.
Dengan bermodal tafsir agama yang tidak adil gender, perempuan tidak pernah dilihat sepenuhnya sebagai manusia yang berhak memilih jalan hidup sendiri. Setelah menikah, hidup dan tubuhnya jadi milik suami. Jika dimadu, ya anggap saja itu cobaan: Kalau sabar dapat berlipat pahala.
Sementara buat lelaki pelaku poligami yang mencitrakan dirinya adil, dianggap heroik. Padahal kita enggak tahu apakah ia juga bakal adil tanpa sorotan kamera. Ketidaktahuan kita tentang kondisi asli dari content creator ini semakin jadi bukti, poligami rentan mendiskriminasi perempuan.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahkan lebih tegas menyatakan poligami masuk dalam kekerasan terhadap perempuan. Ini karena poligami kerap diawali dengan perselingkuhan yang dapat mengakibatkan penderitaan psikologis serta penelantaran pada pasangan, termasuk dan tidak terbatas pada pemberian nafkah.
Bahkan kalau bicara agama, Husein Muhammad lewat bukunya Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai mengungkapkan, poligami bukan praktik yang dilahirkan oleh Islam. Sebelum Islam datang, poligami adalah bagian tradisi dan praktik peradaban patriarkis. Laki-laki kala itu bisa menikahi hingga seratus perempuan, dan mereka dinikahkan salah satunya sebagai bentuk dari penaklukan wilayah kekuasaan.
Islam sebaliknya hadir untuk melakukan transformasi kultural atau mengubah praktik yang merendahkan martabat perempuan. Surat An-Nisa Ayat 3 yang dijadikan legitimasi poligami sebenarnya justru diturunkan untuk mengeliminasi praktik ini, selangkah demi selangkah, hingga kelak praktik tersebut tidak ada lagi.
Faqihuddin Abdul Kodir lalu menambahkan, kitab-kitab keislaman arus utama tidak ada yang menganjurkan apalagi menglorifikasi poligami. Yang ada adalah kritik terhadap poligami karena takut menzalimi perempuan dan tidak bisa berlaku adil. Glorifikasi poligami justru muncul 10-20 tahun terakhir, ujarnya dalam wawancara bersama Magdalene pada 2020 lalu.
*Sebelumnya Magdalene sudah mengontak Irsan Kadri dan Mat Peci untuk diwawancarai. Namun, sampai artikel ini ditayangkan keduanya belum merespons permohonan wawancara.*
