Sayang Pacar dan Terbuka Boleh, tapi Privasi adalah Kunci
Meski sikap terbuka jadi salah satu kunci hubungan sukses, kita perlu mengingat pentingnya batasan dalam relasi karena kenyamanan tiap orang berbeda.
Belum lama ini, tersiar kabar tentang perjanjian pranikah penyanyi dangdut Lesti Kejora dan Rizky Billar. Dalam berbagai media online dikatakan, pasangan yang baru menikah pada 19 Agustus lalu ini sempat membuat kesepakatan tentang apa saja yang mesti mereka lakukan setelah menikah.
Salah satu poin perjanjian pranikah mereka, dilansir Kompas.TV (11/8), adalah tentang keterbukaan terhadap satu sama lain. Ini menyangkut PIN ATM, password handphone, hingga password media sosial masing-masing. Poin ini tertuang dalam satu surat yang katanya ditandatangani Lesti dan Rizky di atas materai dan mereka bersedia menerima hukuman bila tidak menaati poin perjanjian tersebut.
Sementara, dalam Kumparan (19/8) disebutkan bahwa penghulu dari KUA Kebayoran Lama yang menikahkan keduanya, Zulkifli, tidak menerima lampiran perjanjian pranikah Lesti-Rizky dalam dokumen pernikahan mereka.
Terlepas dari benar ada atau tidaknya perjanjian pranikah tersebut, ada isu menarik yang bisa kita telaah dalam relasi romantis seseorang, yakni tentang keterbukaan antarpasangan versus privasi individu.
Keterbukaan Penting, Tapi Privasi Tetap Perlu Ada
Berbagai penelitian telah menemukan, keterbukaan antarpasangan memegang peran penting dalam relasi romantis. Contohnya, dalam riset Yixin Zhou dkk. yang dimuat di jurnal Frontiers in Psychology (2017) dikatakan bahwa keterbukaan tinggi antarpasangan menciptakan kepuasan dalam relasi dan mempercepat terbangunnya kepercayaan di antara mereka.
Walau demikian, bukan berarti kita mesti tahu segala sesuatu tentang pasangan sampai ke hal paling detail. Menurut studi yang dilakukan psikolog dan profesor dari University of Michigan’s Institute for Social Research Terri Orbuch, memiliki ruang sendiri atau privasi dalam relasi lebih penting dan berpengaruh terhadap kebahagiaan pasangan dibanding memiliki kehidupan seks yang baik. Dikutip dari The Sydney Morning Herald, dari pasangan-pasangan tidak bahagia yang diteliti Orbuch, sebesar 11,5 persen melaporkan ketidakbahagiaannya itu karena kurangnya privasi atau waktu untuk diri sendiri. Sementara, mereka yang tidak bahagia karena kehidupan seksnya hanya sebesar 6 persen.
Orbuch berargumen, ruang privasi membuat seseorang lebih tidak jenuh karena mereka bisa memiliki waktu untuk menjalankan hobi, berkutat dengan pemikirannya, dan beristirahat dari tanggung jawab pada pasangannya.
Di samping itu dalam situs yang sama, psikolog pakar relasi John Aiken mengatakan bahwa privasi memungkinkan seseorang memelihara identitas dirinya sendiri dalam status sudah berpasangan, dan ini menumbuhkan independensi alih-alih perasaan needy dan clingy.
Dalam pembahasan tentang kesadaran dan pencegahan kekerasan dalam relasi pacaran remaja di situs NY.gov, disebutkan dalam relasi sehat, perlu ada batasan, rasa percaya, dan komunikasi yang baik. Batasan bisa berhubungan dengan privasi, suatu karakteristik dalam relasi sehat yang perlu dihargai setiap pihak yang terlibat.
Batasan ini diperlukan karena apa yang menurut kita nyaman belum tentu demikian dalam pikiran pasangan. Karena itu, diperlukan komunikasi yang baik dan saat batasan ditegakkan, misalnya tidak membagikan password media sosial pada pasangan, kedua pihak perlu menanamkan rasa percaya kepada satu sama lain dan kepercayaan tersebut tidak boleh dicederai.
Baca juga: 6 Cara Jitu Menghindari ‘Toxic Relationship’
Pertentangan terkait Privasi dalam Hubungan
Meskipun punya nilai positif, mengupayakan ruang privasi masih sering dianggap bukan kebenaran oleh sebagian pihak. Ini karena ada yang menganggap memiliki privasi sama dengan menyimpan rahasia dan itu buruk dalam suatu hubungan. Padahal, dua hal ini berbeda.
Psikolog Leslie Becker-Phelps menjelaskan dalam WebMD bahwa saat seseorang menetapkan batasan privasi, sejatinya ia tidak berniat menyembunyikan sesuatu yang mengecewakan pasangannya. Sementara, menyimpan rahasia melibatkan usaha untuk menutupi suatu hal buruk yang seseorang lakukan di belakang pasangannya.
Perlu dicatat pula, privasi sudah dimiliki seseorang sejak dia belum berhubungan dengan pasangannya dan ini tidak serta merta harus digeser begitu orang berstatus pacaran atau menikah.
Alasan lain orang menentang konsep privasi dalam relasi berhubungan dengan kebiasaan atau budaya setempat.
Ada yang menganggap penerapan ruang privasi itu kebarat-baratan. Ini karena dalam masyarakat Timur, kolektivitas menjadi suatu keutamaan dan salah satu implementasinya adalah seseorang berusaha untuk melakukan apa yang diharapkan orang lain atau sesuai “norma”, termasuk membuka pintu ruang privasinya. Berbeda dengan di masyarakat Barat, di mana individualisme dikedepankan sehingga mereka cenderung membuat keputusan sesuai apa yang menurutnya nyaman.
Mengabaikan privasi ini telah dilatih dalam masyarakat Timur sejak seseorang kecil. Contoh sederhananya adalah bagaimana orang tua merasa bebas menerobos kamar anak-anaknya dan menganggap batasan tidak ada karena merekalah yang punya kewenangan di rumah. Selain itu, perkara menyentuh bagian tubuh anak-anak juga masih sering diabaikan, misalnya saat keluarga atau kenalan hendak memeluk, menggendong, atau mencium seorang bocah, banyak orang tua yang langsung membolehkannya karena merasa itu adalah hal yang wajar dan bentuk kasih sayang. Padahal, belum tentu si bocah merasa nyaman. Ini yang pada akhirnya bersumbangsih terhadap kaburnya batasan privasi seseorang, baik yang fisik maupun tak kasatmata.
Saat beranjak dewasa pun masyarakat Timur jarang sekali mendapat edukasi tentang pentingnya privasi, termasuk data pribadi yang menyangkut kehidupan digital. Dalam relasi romantis, ini berpotensi merugikan seseorang. Misalnya, dengan memberi PIN ATM ke pasangan, sepercaya apa pun kita kepadanya, akan ada kemungkinan ia melakukan transaksi tanpa sepengetahuan kita. Atau dengan memberi password handphone dan media sosial, akan ada peluang pasangan membatasi ruang gerak kita karena ia merasa curiga atau tidak senang kita berinteraksi dengan orang tertentu.
Baca juga: 6 Cara Lepaskan Diri Dari Jerat Mantan yang Kuasai Akun Media Sosial
Sikap Tidak Percaya dan Ingin Mengontrol yang Perlu Dijauhi
Alih-alih menunjukkan rasa percaya dengan bersikap terbuka, pembagian informasi pribadi seperti ini justru bisa berefek sebaliknya. Jika pasangan semakin sering mengecek handphone dan media sosial kita, bukankah itu pertanda bahwa dia semakin tidak percaya pada kita? Karena bila memang dia percaya kita tidak berlaku buruk, dia tidak akan perlu repot-repot memantau kegiatan kita dengan orang lain.
Dalam Huffingtonpost, pakar relasi dan terapis keluarga Liz Higgins menyebutkan, upaya menerapkan keterbukaan sepenuhnya dalam relasi juga berhubungan dengan niat mengontrol, sekalipun ini dilakukan kedua pihak. Saat kita tidak percaya, kita merasa kehilangan kontrol. Untuk mengembalikan rasa memiliki kontrol itu, kita mendorong pasangan (untuk terbuka).
Padahal jika dipikir, apakah dalam relasi yang sehat keinginan untuk mengontrol satu sama lain itu perlu ada?
Pada akhirnya kita perlu mengingat bahwa dalam relasi yang sehat, tidak ada perasaan berutang terhadap satu sama lain. Jika pasangan memilih untuk bersikap begitu terbuka sampai ke detail kehidupan pribadinya, bukan berarti kita wajib melakukan hal serupa bila itu memang tidak dirasa nyaman. Kembali lagi, setiap orang punya batas kenyamanan berbeda dan ini penting untuk dihormati.