Ruang (Ny)aman: Perjanjian Pranikah, Perlukah?
Perjanjian pranikah tidak hanya sebagai antisipasi perceraian tapi untuk menjaga kestabilan keuangan rumah tangga.
Perjanjian pranikah atau perjanjian kawin belum menjadi sesuatu yang umum dibuat oleh pasangan di Indonesia. Hal ini karena banyaknya anggapan bahwa membuat perjanjian pranikah berarti pasangan tersebut terlalu berpikiran negatif dan “siap” untuk cerai, serta tidak tulus menjalani pernikahannya. Terlebih lagi bagi perempuan, stigma yang melekat ketika membicarakan perjanjian pranikah adalah bahwa mereka materialistis. Padahal, membuat perjanjian kawin adalah salah satu bentuk persiapan untuk menghadapi hal terburuk dalam pernikahan, menurut para ahli.
“Perjanjian pranikah atau perjanjian kawin tidak melulu membahas soal harta dan uang, atau semata-mata hanya money oriented. Perjanjian kawin perlu untuk dibuat untuk memperjelas harta dan hak suami istri ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kebangkrutan. Perjanjian kawin juga mempermudah urusan suami istri jika hendak berbisnis,” ujar Martina Dwinita, Notaris dan Pejabat Pemuat Akte Tanah (PPAT) Kabupaten Bogor dalam Ruang (Ny)Aman pekan lalu di Jakarta. Diskusi bulanan hasil kerja sama Magdalene, KeKini, dan The O Project, kali ini bertemakan “Perjanjian Pranikah, Perlukah?”
Perjanjian kawin sendiri diatur dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ayat tersebut menyatakan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
Selain dalam UU, perjanjian kawin juga diatur dalam berbagai instrumen hukum di Indonesia, yaitu Pasal 139 – 198 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Putusan Mahkamah Agung (MK) Nomor 69 Tahun 2015, Pasal 45 – 52 Kompilasi Hukum Islam, Kitab Hukum Kanonik 1095 – 1107, dan hukum agama yang lainnya.
Martina memaparkan, dalam perkawinan, terdapat harta dalam perkawinan yang diatur menurut KUHPerdata, di mana ketika perkawinan sudah terjadi, maka harta suami ditambah harta istri menjadi harta bersama, atau dikenal sebagai harta gono gini. Jika terjadi perceraian, maka disebut harta gono gini perkawinan.
Bagi pasangan yang sudah memiliki perjanjian kawin, maka masing-masing suami dan istri memiliki harta bawaan, warisan, serta hadiah, lalu harta bersama yang diperoleh selama perkawinan.
“Maka ketika terjadi sesuatu seperti cerai atau bangkrut, harta bawaan suami akan tetap menjadi milik suami, begitu pula istri,” kata Martina.
Ia mencontohkan, jika pasangan sudah memiliki perjanjian kawin, dan suatu saat suami digugat, maka yang disita hanya harta pribadi suami. Dengan kata lain, perjanjian kawin secara hukum menegaskan mana saja harta dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing suami dan istri.
Perjanjian kawin sendiri dalam KUHPerdata dibagi menjadi tiga jenis, yaitu perjanjian kawin pisah harta, perjanjian kawin untung dan kerugian, dan perjanjian kawin persatuan hasil pendapatan.
“Pisah harta artinya pisah harta seluruhnya, sama sekali tidak ada persatuan harta. Yang ada hanya harta gono gini, yang berupa alat kebutuhan rumah tangga,” ujar Martina.
Perjanjian kawin dengan persatuan untung rugi adalah bahwa masing-masing pihak tetap akan memiliki benda bawaannya beserta benda-benda yang jatuh padanya dengan percuma selama perkawinan seperti pemberian atau warisan. Sementara itu, semua penghasilan dari tenaga atau modal selama perkawinan akan menjadi kekayaan bersama, begitu pula semua kerugian atau biaya-biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan akan dipikul bersama.
“Artinya, yang ditanggung sama-sama adalah persatuan untung rugi, lainnya tetap harta masing-masing,” kata Martina.
Dalam definisi menurut Pasal 157 KUHPerdata, keuntungan adalah tiap-tiap bertambahnya harta kekayaan sepanjang perkawinan yang disebabkan karena hasil harta kekayaan suami istri dan pendapatan mereka masing-masing karena usaha dan kerajinan suami istri, dan karena penabungan pendapatan-pendapatan yang tidak dihabiskan.
“Jadi, yang termasuk keuntungan adalah hasil dari harta kekayaan suami istri, pendapatan atau penghasilan suami istri, bertambahnya harta kekayaan karena usaha dari suami istri, dan tabungan pendapatan yang tidak dihabiskan.”
Kerugian adalah tiap-tiap berkurangnya harta kekayaan, disebabkan pengeluaran yang melampaui atau bertambahnya harta sepanjang perkawinan, seperti hasil dari suami atau istri, dari pendapatan suami atau istri, dari usaha dan kerajinan, dari tabungan pendapatan yang tidak dihabiskan.
“Dengan kata lain, kerugian yang dimaksud adalah berkurangnya harta kekayaan karena pengeluaran yang melebihi pendapatan, bukan kerugian adalah kerusakan harta pribadi karena bencana. Kepengurusan harta pada prinsipnya dilakukan oleh suami, kecuali ditentukan lain, istri dapat menolak persatuan untung rugi,” jelas Martina.
“Kerugian ada macam-macam. Misalnya harta suami kebakaran, hangus atau hilang, maka hanya ditanggung suami atau pemilik benda, begitu pula sebaliknya. Karena KUHPerdata mengatur apa saja yang disebut kerugian, apa saja yang ditanggung bersama dan apa saja yang ditanggung oleh masing-masing pihak,” tambahnya.
Kemudian perjanjian kawin dengan persatuan hasil dan pendapatan menurut definisinya adalah perjanjian antara sepasang suami istri untuk mempersatukan setiap keuntungan, hasil dan pendapatan saja. Perjanjian ini berarti serupa dengan “perjanjian untung”, sedangkan kerugian tidak diperjanjikan.
Kebersamaan hasil dan pendapatan kerap kali dianggap bahwa keuntungan menjadi pencampuran, tetapi penanggungan kerugian sama sekali tidak ada. Kerugian hanyalah menjadi tanggungan suami, sedangkan istri hanya bertanggung jawab atas hutang-hutang yang timbul dari pihaknya.
“Semua utang-utang ada di luar persatuan. Dengan kata lain, utang-utang tersebut akan menjadi kewajiban atau tanggungan pribadi dari pihak yang berhutang tersebut,” kata Martina.
Martina mengatakan, perjanjian kawin pada dasarnya memudahkan pasangan untuk mengetahui dan merincikan harta masing-masing sebelum menikah. Sementara bagi perempuan, menurut Martina, guna perjanjian kawin adalah terkait aset.
“Karena kalau tidak ada perjanjian kawin, ketika istri hendak membeli aset sendiri, ia harus meminta persetujuan dari suami berupa tanda tangan suami,” kata Martina.
Ia menambahkan bahwa perjanjian kawin juga mempermudah pasangan saat hendak membuat badan usaha untuk berbisnis. Pembuatan perseroan terbatas (PT) mensyaratkan agar ada sedikitnya dua pihak di dalamnya, dan suami-istri dianggap sebagai satu entitas. Namun perjanjian kawin memungkinkan suami dan istri sebagai dua entitas yang berbeda, ujar Martina.
Lebih lanjut lagi, Martina menyarankan untuk mengomunikasikan pada orang tua dan pasangan tentang hal-hal positif dan keuntungan dari perjanjian kawin, dan memberitahukan mengenai mekanisme dari perjanjian kawin itu sendiri.
Baca bagaimana kota masih belum menjadi tempat yang aman untuk perempuan dan anak perempuan dan ikuti @bunnicula di Twitter.