December 5, 2025
Issues Safe Space

Femisida Pegawai BPS: Judol, Kerentanan Perempuan, dan Pentingnya Komunitas

Femisida KLP mencatat dua hal penting: Jerat judol yang memperbesar kerentanan perempuan, serta peran komunitas sebagai kunci dukungan dan perjuangan keadilan.

  • August 22, 2025
  • 5 min read
  • 4668 Views
Femisida Pegawai BPS: Judol, Kerentanan Perempuan, dan Pentingnya Komunitas

*Peringatan pemicu: Kekerasan fisik dan femisida 

Pertengahan Juli lalu, terjadi femisida terhadap KLP, 30, pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) di Halmahera Timur, Maluku Utara. Ia dibunuh Aditya Hanafi, rekan kerja KLP yang ingin meminjam uang senilai Rp30 juta. 

Sebelum membunuh, Aditya menyekap, melakukan kekerasan dan pelecehan seksual, serta membujuk KLP agar meminjamkan uang. Kemudian ia meminta maaf atas perbuatannya, tetapi tak direspons oleh KLP. Hal itu membuat Aditya panik, dan melakukan pembunuhan. 

Kemudian ia mengakses layanan perbankan seluler dari ponsel KLP. Aditya mentransfer Rp39 juta dari rekening korban. Uang tersebut digunakan untuk melunasi utang, bermain judi online (judol), serta membeli tiket pesawat dari Jakarta ke Ternate agar kedua orang tua menghadiri pernikahannya. Lalu, Aditya mengajukan pinjaman online sebesasr Rp50 juta, atas nama KLP. 

Sebenarnya, ini bukan pertama kali peminjaman uang untuk judol menjadi motif femisida. Pada 2022, peristiwa permbunuhan terjadi di Bandung, Jawa Barat. Seorang laki-laki membunuh perempuan berusia 51 tahun, karena enggan meminjamkan uang Rp2 juta untuk membayar utang di bank dan judol. Sementara pada 2024, suami di Jatinangor, Jawa Barat, beberapa kali melakukan kekerasan terhadap istri karena terlilit utang judol. Ia kemudian membunuh istrinya, yang tak mau meminjamkan Rp5 juta. 

Beberapa kasus tersebut mencerminkan, judol bisa berujung pada kekerasan dan femisida. 

Baca Juga: Temuan Pantuan Media Magdalene tentang Femisida 

Perempuan Semakin Rentan terhadap Femisida 

Pada 2024, Jakarta Feminist mencatat, terdapat 204 kasus femisida di Indonesia, dengan 53 persen kasus terjadi di rumah korban. Ini menunjukkan, tak ada ruang aman bagi perempuan, karena rumah pun menjadi tempat yang berbahaya. 

Femisida kerap menjadi puncak dari rangkaian kekerasan terhadap perempuan. Ia sering kali diawali dengan kekerasan fisik maupun kontrol emosional. Dalam kasus KLP, kekerasan yang dialami tidak tunggal. Ia menghadapi kekerasan ekonomi berupa pemerasan uang, kekerasan seksual, serta penyiksaan dengan pembekapan hingga kehilangan nyawa.

Peneliti Nerilee Hing, Catherine O’Mullan, dan Elaine Nuske dalam The relationship between gambling and intimate partner violence against women (2020) menjelaskan keterkaitan antara judi online (judol) dan kekerasan. Salah satunya dipicu oleh dorongan kuat untuk terus bermain, disertai keyakinan irasional bahwa pelaku akan menang. Saat akses bermain terhalang, muncul frustrasi yang kemudian dilampiaskan pada pasangan atau orang terdekat. 

Hal ini memperlihatkan kerentanan perempuan terhadap kekerasan berbasis judol, yang dalam beberapa kasus berujung pada femisida. Pemain bisa mencari cara untuk mendapatkan uang, termasuk dengan memeras pasangan atau orang terdekat. Dalam kasus KLP, pelaku memeras rekan kerja yang juga teman serumah pasangannya. 

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sondang Frishka Simanjuntak, menilai negara masih belum memberi perhatian serius pada masalah judol. 

“Harusnya pemerintah juga melakukan sosialisasi secara masif dan terukur, soal bahaya judol dan pemanfaatan internet yang bijak,” tegas Sondang. 

Ia menambahkan, pemulihan bagi perempuan dan keluarga yang terdampak, serta penghapusan stigma di masyarakat, merupakan langkah penting yang perlu dilakukan. 

Baca Juga: Mutilasi Perempuan adalah Femisida: Mereka Dibunuh karena Gendernya 

Pentingnya Intervensi oleh Komunitas 

Kasus KLP menjadi sorotan publik setelah kisahnya disuarakan oleh komunitasnya, Teman Menulis Tiwi. Melalui akun X (dulunya Twitter) @___fleursdumal, rekan-rekan KLP mengisahkan, ia menghilang selama sepuluh hari tanpa kabar. 

Kecurigaan muncul saat pesan WhatsApp dari nomor KLP terasa berbeda dari biasanya. Setelah itu, kontak benar-benar terputus, hingga muncul pemberitaan media mengenai kasus femisida di Halmahera Timur. 

Langkah komunitas ini tidak berhenti di sana. Mereka menelusuri dan memverifikasi informasi yang beredar. Pada awalnya, dugaan penyebab kematian KLP adalah kelelahan akibat jadwal kerja padat. Namun, berita lanjutan kemudian memastikan adanya tindak kekerasan. 

Teman-teman komunitas yang berupaya untuk berkabar dan mencari tahu keberadaan KLP, menunjukkan pentingnya support system bagi perempuan. Mereka kritis terhadap kondisi satu sama lain, dan saling menjaga satu sama lain. Bahkan kematian KLP pun viral di medsos karena upaya komunitas literasi tersebut mencari keadilan. 

Untuk berbincang lebih lanjut tentang support system yang terbentuk dalam komunitas Teman Menulis Tiwi, Magdalene telah menghubungi salah satu anggota untuk wawancara. Sayangnya, mereka menolak permintaan tersebut. Namun, Teman Menulis Tiwi menyatakan sikap dan seruan atas peristiwa ini. 

Pertama, mendukung proses hukum yang berlangsung agar tersangka mendapatkan hukuman tanpa keringanan. Kedua, menyuarakan dan mengusahakan perlindungan hukum bagi pihak yang membantu menyelidiki dan menegakkan hukum dalam kasus ini. Ketiga, menjaga ketepatan dan kebenaran informasi publik, sekaligus menghindari penggiringan opini terkait KLP. 

Keempat, memastikan seluruh saksi kunci diperiksa secara profesional oleh aparat penegak hukum. Kelima, menyuarakan pentingnya evaluasi internal oleh instansi untuk perlindungan karyawan, transparansi informasi terhadap keluarga KLP, serta pemberian sanksi tegas bagi pihak yang terbukti bersalah dalam kejadian ini. 

“Kami ingin meningkatkan kesadaran publik, serta memastikan kasus kematian KLP dikawal secara transparan dan tuntas,” tulis komunitas tersebut dalam pernyataan tertulis yang diterima Magdalene. 

Yang dilakukan Teman Menulis Tiwi merupakan contoh intervensi terhadap kekerasan berbasis gender dan femisida, yang dilakukan oleh komunitas. Merujuk pada Violence can be prevented (2015), studi oleh Elizabeth Dartnall dan Anik Gevers, langkah tersebut termasuk dalam kategori pencegahan primer dan sekunder. Artinya, intervensi bisa dilakukan sejak dini, maupun setelah kekerasan terjadi, untuk mencegah terulangnya kembali kekerasan. 

Baca Juga: Tak Hanya Fisik: Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Privat 

Ini menggambarkan yang dibutuhkan dan bisa dilakukan dalam masyarakat patriarkal, adalah menjadi bagian dari komunitas yang mendukung perempuan. Tujuannya untuk menjaga satu sama lain, dengan harapan bisa mengintervensi kekerasan dan femisida, yang disebabkan oleh misogini. 

Artikel ini diperbarui pada Jumat, 22 Agustus pukul 18.10. Penulis mengoreksi paragraf kedua, bahwa kekerasan seksual yang dialami KLP bukan pemerkosaan.

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.