Sederhana, tapi Media Masih Tak Adil pada Korban Femisida: Temuan Magdalene
Dari pemantauan terhadap Kompas.com, Suara.com, dan Detik.com ditemukan, pemberitaan femisida masih minim perspektif korban, membuka identitas pribadi, dan sarat bahasa sensasional.

Peringatan Pemicu: Tulisan memuat cerita femisida
“Apa sih sebenarnya salah anak saya sampai bisa terjadi fatal kayak gini?”
Itulah pertanyaan yang terus menghantui Sukarsih sejak anak perempuannya, Wardani, dibunuh awal 2024. Wardani seharusnya pulang kampung untuk merayakan Lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perantau dan pencari nafkah utama keluarga, ia memang rutin pulang setahun sekali. Namun, Lebaran kali itu berbeda: Wardani pulang dalam keadaan tak bernyawa.
“Ya itulah (rasanya seperti) orang bangun tidur ditampar begitu,” ucap Sukarsih mengenang saat pertama kali mendengar kabar kematian putrinya.
Wardani dibunuh oleh mantan kekasih, Arif—seseorang yang dikenal cukup dekat oleh keluarga. Arif cemburu usai mengetahui Wardani dekat dengan laki-laki lain. Ia menyusun rencana pembunuhan, mengajak Wardani jalan, dan saat korban terlelap, ia melilitkan tali rafia ke leher Wardani hingga meninggal kehabisan oksigen. Setelah memastikan Wardani meninggal, jasadnya dibuang. Arif sendiri kini terancam hukuman pidana maksimal.
Kematian Wardani hanyalah puncak dari gunung es kasus femisida di Indonesia. Femisida didefinisikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh motif gender. Ia berbeda dari pembunuhan biasa yang tidak dilatarbelakangi relasi kuasa atau diskriminasi. United Nation Women (UN Women) menyebut femisida sebagai bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tren femisida di Indonesia meningkat, dengan 2024 tercatat sebagai tahun kedua tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pada periode Juni 2021–Juni 2022 tercatat 307 kasus femisida. Angka ini sempat menurun jadi 159 kasus pada 2022–2023, tapi kembali melonjak ke 290 kasus di periode 2023–2024.
Selain Komnas Perempuan, Jakarta Feminist juga mencatat, sepanjang 2023, setidaknya 187 perempuan menjadi korban femisida. Ini berarti, setiap dua hari, satu perempuan dibunuh di Indonesia.
Namun, tingginya angka femisida tidak selalu diiringi dengan pemberitaan yang berperspektif korban. Banyak media masih menggunakan bahasa sensasional, membuka identitas korban dan keluarga, serta gagal memberikan konteks sosial yang memadai. Fenomena ini mendorong Magdalene—media berbasis perspektif perempuan—melakukan pemantauan pemberitaan femisida.

Selama dua minggu, dari 14 hingga 31 Januari 2025, Magdalene menganalisis pemberitaan femisida di tiga media arus utama dengan kepemilikan, cakupan, segmentasi audiens, dan karakteristik produksi berita berbeda: Kompas.com, Detik.com, dan Suara.com. Ketiganya mencerminkan lanskap utama konsumsi media di Indonesia hari-hari ini.
Kompas.com kami pilih karena merupakan salah satu media tertua yang sudah eksis sejak 1965. Itu juga satu-satunya media Indonesia yang punya jangkauan di 33 provinsi. Dengan sejarah panjang dan struktur redaksi yang mapan, Kompas.com mewakili tipe media dengan pendekatan jurnalisme institusional dan konvensional. Media besutan Jakob Oetama tersebut kerap dianggap berpengaruh terhadap opini publik kelas menengah hingga pembuat kebijakan. Temuan Reuters Institute Digital News Report (2022) memperkuat anggapan ini, dengan mencatat bahwa media ini punya tingkat kepercayaan tertinggi di Indonesia, sebesar 69 persen.
Detik.com--media yang dimiliki CT Corp—dipilih karena merupakan portal berita daring pertama di Indonesia, sekaligus pelopor media real-time yang mengutamakan kecepatan. Karakter ini penting dianalisis lantaran pendekatan pemberitaan yang cepat, sering kali mengorbankan kedalaman analisis dan ketepatan narasi, terutama dalam isu sensitif seperti kekerasan berbasis gender.
Sementara itu, Suara.com—bagian PT Arkadia Digital—meski baru berdiri pada 2014, telah berkembang pesat. Ia punya jaringan di 14 provinsi dan mencatatkan 41 juta pengunjung pada Desember 2024 menurut SimilarWeb. Suara.com dalam hal ini, mewakili media yang tumbuh di era digital dengan pendekatan berbasis click-driven content. Karena itu, Magdalene menilai, menarik melihat bagaimana strategi redaksional mereka memengaruhi framing femisida, khususnya dalam upaya menjangkau audiens muda dan pengguna media sosial.
Baca juga: Rumah yang Membunuh: Femisida dalam Pernikahan dan Mengapa Perempuan Sulit Pergi
Metode yang Kami Gunakan
Pencarian data dari ketiga media ini dilakukan secara sistematis di laman Google Search, dengan memasukkan beberapa kata kunci, seperti:
- Perempuan/wanita/ibu hamil/janda/waria/transpuan dibunuh
- Perempuan/wanita/ibu hamil/janda/waria/transpuan mutilasi
- Perempuan/wanita/ibu hamil/janda/waria/transpuan tewas
- Pembunuhan perempuan/wanita/ibu hamil/janda/waria/transpuan
Setelah berita dikumpulkan, setiap kasus dikategorikan ulang untuk memastikan apakah benar-benar termasuk femisida atau tidak. Analisis menggunakan delapan karakteristik femisida dari kerangka kerja Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan dan Badan PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UNODC) dan UN Women. Berikut adalah kedelapan kategorinya:
- Korban pembunuhan memiliki catatan kekerasan/ pelecehan fisik, seksual, atau psikologis sebelumnya yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan;
- Korban pembunuhan adalah korban dari bentuk-bentuk eksploitasi ilegal, misalnya, dalam kaitannya dengan perdagangan orang, kerja paksa atau perbudakan;
- Korban pembunuhan berada dalam situasi di mana ia diculik atau dirampas kebebasannya secara ilegal;
- Korban bekerja di industri seks;
- Kekerasan seksual terhadap korban dilakukan sebelum dan/ atau setelah pembunuhan;
- Pembunuhan disertai dengan mutilasi terhadap tubuh korban;
- Tubuh korban dibuang di ruang publik;
- Pembunuhan terhadap perempuan atau anak perempuan tersebut merupakan kejahatan kebencian berbasis gender, atau bias tertentu terhadap perempuan dari pihak pelaku.
Baca juga: Tentara Pelaku Femisida dan Peradilan Militer yang Tak Transparan
Temuan Penting
Setelah itu, kami memetakan motif pembunuhan, cara pembunuhan, perlakuan jasad korban, serta relasi korban dan pelaku. Hasilnya, 193 berita terkait femisida dari ketiga media tersebut.
Dari berita yang diidentifikasi, semuanya mengacu pada femisida terhadap perempuan cisgender atau seseorang yang identitas gendernya sesuai dengan identitas jenis kelamin saat dia lahir, bukan transpuan. Dari 193 berita femisida yang dianalisis, ada 185 berita atau 95,9 persen yang ditulis sebagai pembunuhan biasa yang terisolasi atau spontan.
Sebanyak 109 berita (56,2 persen) membuka identitas korban dan/atau keluarganya. Kompas.com menjadi media yang paling banyak membuka identitas korban femisida, yakni 61,5 persen dari total berita. Lalu disusul Suara.com sebesar 56 persen dan Detik.com sebesar 46,7 persen. Identitas yang dibongkar beragam, tapi yang paling banyak ditemui adalah nama lengkap, tempat tinggal, foto korban, dan keluarga korban.

Mengungkap identitas korban femisida dan keluarganya, bertentangan dengan panduan pemberitaan soal kekerasan terhadap perempuan yang sudah diterbitkan oleh United Nations Development Programme/ UNDP (2021). Jika mengacu spesifik pada femisida seksual (pemerkosaan disertai pembunuhan atau pembunuhan disertai pemerkosaan), media sudah melanggar Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik.
Pasal ini menyatakan wartawan dilarang menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila. Identitas yang dimaksud mencakup semua informasi yang dapat memudahkan orang lain untuk melacak korban, seperti nama, alamat, atau identitas keluarga.
UNDP menilai identitas korban dan keluarga harus dirahasiakan karena dapat memperparah trauma, dan memicu stigma sosial yang berkepanjangan. Hal senada juga diungkapkan Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan 2019-2024 dan Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC).
Menurutnya, pemberitaan femisida yang mengungkap identitas korban atau keluarga, bermasalah karena mengeksploitasi penderitaan dan tidak memberikan pendidikan publik. Selain itu, identitas keluarga korban bisa saja jadi celah buat pelaku untuk melakukan intimidasi atau jenis kekerasan lain.
“Itu (pemberitaan) kan meninggalkan jejak, kita tidak tahu dampak pemberitaan itu bisa memperburuk keadaan keluarga yang ditinggalkan,” sebut Siti.
Selain membeberkan identitas korban dan keluarga, 98,5 persen berita diberitakan tanpa kontekstualisasi masalah sosial. Lebih dari separuh (52,8 persen) total berita yang dianalisis menggunakan bahasa sensasional. Ini mengindikasikan, ketiga portal yang kami pantau beritanya, masih terjebak dalam sensasionalisme.
Dalam teori framing Robert Entman (1993) dijelaskan, bagaimana media menyederhanakan dan melebih-lebihkan informasi demi efek emosional yang menghasilkan pemberitaan penuh sensasi. Caranya dengan menggunakan bahasa berlebihan, hiperbolis, bahkan kadang manipulatif guna menggugah emosi pembaca. Ironisnya, cara ini sering kali menyederhanakan kompleksitas isu.
Peneliti linguistik dari Universitas Afrika Selatan Lezandra Grundlingh menyebutkan sejumlah ciri khas dari bahasa sensasionalisme dalam pemberitaan. Di antaranya penggunaan hiperbola, penggunaan judul provokatif, dan menekankan pada kata-kata emosional atau deskriptif yang intens. Semua ini digunakan untuk menggugah rasa ingin tahu secara instan, dan merangsang reaksi emosional pembaca, seperti rasa takut, marah, atau simpati yang berlebihan.
Gaya penulisan macam ini, kata Grundlingh dalam penelitian bertajuk Matters: Studies in the Languages of Africa (2017), memang dapat meningkatkan daya tarik dan jumlah pembaca. Namun berpotensi mengaburkan fakta dan menurunkan kredibilitas berita.
Sejauh ini belum ada panduan khusus yang secara mendetail menyebut kata maupun frasa apa saja yang termasuk dalam bahasa sensasional. Karena itu Magdalene menginventarisasi sendiri kata dan frasa dalam Bahasa Indonesia yang dianggap mampu merangsang reaksi emosional pembaca.
Dalam temuan kami, “sadis” (14 kali), “tragis” (14 kali), dan “mengenaskan/ sangat mengenaskan” (13 kali) menjadi kata atau frasa sensasional yang paling banyak digunakan dalam berita femisida. Ini disusul dengan “keji” (5 kali), “pesan terakhir” (5 kali), “geger” (4 kali), “brutal”, “kekasih gelap”, “misteri”, dan “ngeseks” sebanyak 3 kali.
Dari kata-kata yang teridentifikasi, beberapa di antaranya kami tandai mana saja yang punya tendensi victim blaming. Menyadur teori analisis wacana Sara Mills dan kekuasaan Michael Foucault, Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan periode 2019-2024 dalam tulisannya di Remotivi menekankan, dalam kasus kekerasan seksual, media kerap menggambarkan korban sebagai objek pasif yang lemah, namun dihasrati.

Baca juga: Femisida Bukan Sekadar Pembunuhan Biasa, Ada Misogini di Dalamnya
Penggambaran ini dilakukan dengan melekatkan predikat, seperti “cantik”, “janda muda”, “gadis”, atau atribut yang dikenakan oleh korban, seperti “rok mini”, atau “baju terbuka”. Predikat-predikat ini ditempelkan untuk menggambarkan korban “mengundang secara seksual”.
Dalam temuan kami, penggambambaran ini terlihat dari kata atau frasa victim blaming. Misalnya, “badan bagus”, “seksi”, “cantik”, “wanita bugil”, “tindik di pusar”, “tanpa busana”, “seksi”, dan “keluar rumah dini hari”. Kata yang fokus pada fisik korban dilekatkan untuk memberi pesan tentang gairah seks pemerkosa terhadap korban sebagai objek. Sedangkan, frasa “tindik di pusar” menekankan pada penggambaran korban yang secara moral sosial menyimpang. Hal yang kurang lebih sama pada frasa “keluar rumah dini hari”.
Siti mengungkapkan pemberitaan femisida yang menggunakan kata atau frasa di atas cuma akan memperkuat stigma bahkan menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. Ini mengingat moralitas kerap kali jadi ukuran budaya patriarki menyalahkan korban.
“Norma patriarki itu mengatakan perempuan harus berpakaian sopan gitu. Maka ketika perempuan tidak berpakaian sopan lalu dibunuh akan muncul tuh di kepala pembaca, ‘oh iya karena dia enggak berpakaian sopan makanya dibunuh, ‘Oh iya karena dia pulang malam maka dia dibunuh. Itu akan mempengaruhi komentar yang menyalahkan atau membenarkan (femisida),” sebutnya.
Masyarakat kita masih sering menganggap perempuan bepergian di malam hari sebagai ‘nakal’. Stigma ini pernah dijelaskan oleh Gail Pheterson dalam artikelnya The Whore Stigma: Female Dishonor and Male Unworthiness (1994). Di sana ia menyebutkan, perempuan yang keluar malam sering dianggap sebagai salah satu ciri pekerja seks. Ini alasan kenapa penggunaan kata atau frasa di atas berbahaya karena perempuan dianggap bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka alami.
Pada saat bersamaan, pelaku digambarkan sebagai subjek aktif dominan yang dikendalikan oleh hasrat. Mariana berpendapat, dalam penggambaran ini, “pemaksaan” dan “kekerasan” menjadi ekspresi dari “kejantanan” sang pelaku untuk memperoleh hal yang ia hasrati, yaitu tubuh perempuan. Ini mengapa berita pemerkosaan sering membingkai pelaku sebagai “gelap mata” atau “terpaksa nekat”, sehingga melakukan pemerkosaan.
Hal serupa juga kami temukan: Media masih membingkai pelaku sebagai subjek aktif yang dikendalikan hasrat lewat penggunaan kata atau frasa, seperti “menghabisi”, “sakit hati”, “cemburu buta”, “dendam berujung maut”, dan “cinta terlarang berakhir maut”.
Selain victim blaming, ada juga kata atau frasa yang cenderung mengaburkan isu femisida. Gaya penulisan jurnalistik yang berusaha mengaburkan isu femisida ini muncul melalui penggunaan kata atau yang tidak relevan, seperti menekankan pada kekejaman pelaku, motif asmara, status pernikahan korban, hingga membingkai kasus femisida sebagai misteri pembunuhan.
Beberapa di antaranya yang kami temukan adalah “ misteri”, “kekasih gelap”, “sisi gelap”, “jejak terakhir”, “pesan terakhir”, “teka-teki”, “menikah 3 kali”, “sisi gelap”, “kejanggalan”, dan “psikopat”.
Menurut Linda Steiner dan Linda Aldoory dalam buku The Handbook of Gender and Communication (2001), media sering kali menggunakan bahasa yang melemahkan konteks kekerasan terhadap perempuan, misalnya dengan menyebut kekerasan berujung pembunuhan sebagai “drama cinta tragis” alih-alih menyebutnya sebagai femisida. Praktik ini merupakan bentuk framing yang mengalihkan perhatian pembaca dari kekerasan berbasis gender sebagai akar masalahnya.
Temuan penting terakhir dalam pemantauan media kami, terkait pemilihan narasumber dalam pemberitaan femisida. Dalam buku UNDP yang sama, jurnalis diimbau untuk tidak hanya bergantung pada pernyataan aparat penegak hukum.
Penting bagi jurnalis melengkapi pemberitaan dengan pernyataan dari para ahli, termasuk ahli gender atau kekerasan terhadap perempuan. Sayang, imbauan UNDP ini tidak banyak dilakukan oleh ketiga media online ini.
Mayoritas atau sebanyak 124 (64,5 persen) pemberitaan soal femisida masih bergantung pada pernyataan aparat penegak hukum saja. Beberapa di antaranya mewawancarai memberikan porsi besar pada pelaku untuk memberikan pembelaan atas tindakannya. Bahkan masih ada 14 berita (7,26) yang mewawancarai narasumber tidak relevan.
Dalam pemberitaan Kompas.com terkait femisida di Ngawi misalnya, pemilik warung soto diwawancarai oleh jurnalis. Pernyataan yang dikutip pun mengarah pada victim blaming karena fokus pada ketubuhan korban.
“Pakaiannya seksi, pokoknya cantik. Dia sendirian saat membeli soto,” – wawancara Kompas.com bersama pemilik warung soto.
Pemilihan narasumber sangat penting dalam pemberitaan kasus femisda. Karen Boyle dalam Media and Violence: Gendering the Debates (2005) menegaskan ketika media hanya mengandalkan sumber institusional seperti polisi tanpa melibatkan suara korban atau pakar gender, maka media telah gagal mengungkap dinamika kekuasaan dan ketimpangan yang mendasari kekerasan terhadap perempuan. Ini berkontribusi pada normalisasi kekerasan dan minimnya respons kritis dari masyarakat.

Hal senada juga diungkapkan Jane Caputi dan Diana E.H. Russell dalam riset bertajuk Femicide: The Politics of Woman Killing (1992). Narasi media yang gagal menggambarkan kekerasan terhadap perempuan sebagai kejahatan sistemik, berperan besar dalam menurunkan tingkat kepedulian sosial terhadap kasus-kasus tersebut.
Akhirnya, pengabaian terhadap sumber-sumber yang kompeten dalam pemberitaan bukan hanya memengaruhi pemahaman masyarakat, tetapi juga memperlambat perubahan kebijakan yang dibutuhkan untuk mencegah kekerasan lebih lanjut.
Pemantauan media ini tentu memiliki keterbatasan waktu dan cakupan. Namun, temuan yang diperoleh diharapkan menjadi bahan refleksi bagi media agar lebih bertanggung jawab— membangun narasi dari sudut pandang korban, melibatkan organisasi advokasi serta pakar gender, dan tidak semata mengandalkan aparat atau sumber yang tidak sensitif pada kekerasan berbasis gender.
Dengan cara ini, media bisa menjadi alat penting dalam mendorong kesadaran, empati, dan aksi kolektif untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan secara sistemik.
Semua nama korban dan keluarga disamarkan.
Kami merilis rangkaian liputan soal femisida selama 4 (empat) minggu dimulai pada 21 April 2025. Tiap minggunya kami akan merilis satu laporan dengan topik berbeda. Nantikan laporan lengkap kami di website Magdalene.co.
Tim Proyek Femisida
Pemimpin Redaksi:
Devi Asmarani
Redaktur Pelaksana:
Purnama Ayu Rizky
Editor:
Purnama Ayu Rizky dan Aulia Adam
Penanggung Jawab Proyek:
Jasmine Floretta V.D
Tim Pemantauan Media
Amanda Andina Nugroho, Chika Ramadhea, Jasmine Floretta V.D, Siti Hajar, Syifa Maulida
Reporter/ Periset:
Jasmine Floretta V.D, Syifa Maulida, Ahmad Khudori
Desainer Grafis:
Jelita Rembulan, Della Nurlailanti Putri
Media Sosial:
Sonia Kharisma Putri
Product and Program Development Coordinator:
Siti Parhani
Community Engagement:
Siti Hajar
Analis Data:
Wan Ulfa Nur Zuhra (IDJN)
