Queer Rentan Alami ‘Minority Stress’, Bagaimana Cara Kita Jadi ‘Support System’?

Tak pernah terbayangkan oleh “Ardi”, 23, bahwa orientasi seksualnya akan diketahui oleh satu sekolah tanpa konsennya. Saat itu, ketika Ardi kelas sebelas SMA, salah satu teman Ardi membocorkan kepada seisi sekolah bahwa Ardi adalah gay.
“Semua sekolah tuh langsung tau kalau gue punya ketertarikan yang beda dari yang lainnya, terus pada saat itu tiba-tiba semua orang ngejauhin gue, ngediemin gue,” kisah Ardi.
Dari peristiwa itu, Ardi merasa terasingkan. Satu per satu temannya menjauhi karena menganggap ia aneh.
Kondisi di rumah juga tidak lebih baik. Ardi bercerita, di akhir masa SMA, sang ayah tak lagi memandangnya sama setelah memergoki Ardi menonton film bergenre boys love. Setelah kejadian itu, ayah Ardi mengancamnya agar ia mengubah orientasi seksualnya.
“Pokoknya Papa gak mau tau ya, entah kamu yang berubah, atau Papa yang keluar dari rumah ini,” ujar Ardi mengingat ucapan ayahnya. Ardi mengenang momen tersebut sebagai pengalaman yang cukup menakutkan baginya sebagai remaja.
Penolakan dari keluarga membuat Ardi mengalami gejolak batin. Di satu sisi, ia mengakui bahwa dirinya memiliki ketertarikan seksual ke laki-laki. Namun, di sisi lain, ia merasa harus mengikuti keinginan orang tuanya. Akhirnya, Ardi memilih menyembunyikan jati dirinya untuk menghindari konflik dengan keluarga.
Ardi bukan satu-satunya, pergolakan serupa juga dialami oleh Ramin, 48. Ramin bercerita, semua bermula saat ia masih kecil, ia ditegur oleh ibunya lantaran terpergok memakai pakaian perempuan.
“Ramin, kamu itu cowok,” ujar sang ibu kepada dirinya yang masih berusia tiga tahun. Sejak saat itu, kata-kata itu bergema di kepalanya, menjadi jeruji yang mengekang ekspresi dirinya selama bertahun-tahun.
Di SD, Ramin mendapatkan diskriminasi karena dianggap tidak maskulin. Pengalaman itu jadi pukulan buat Ramin, ia menganggap dirinya sakit.
“Menyalahkan diri kayak berasa kotor. … Semua orang di sekitar aku pikir ini penyakit,” ucapnya.
Meskipun demikian, dorongan feminin di dalam diri Ramin terus bergejolak. Puncaknya, Ramin merasa tidak bisa lagi menahan keinginannya untuk melakukan transisi. Semakin ditahan, justru dorongan untuk mengakhiri hidup juga semakin kuat.
“At that time karena tekanan batinnya sangat besar sekali, setiap menit aku napas aku merasa mau mati. Jadi pilihan aku cuma dua: Mau transisi atau mati. Gak ada pilihan lain.”
Ramin akhirnya memutuskan untuk melakukan transisi pada 2022. Ia terlebih dahulu meminta izin kepada orang tua. Namun, keputusan Ramin mengalami penolakan. Kedua orang tua Ramin hingga saat ini tidak bisa menerima Ramin seutuhnya. Namun, Ramin tetap mengikuti kata hatinya untuk melakukan transisi.
Ardi dan Ramin hanya dua dari banyak individu queer yang mengalami diskriminasi. Menurut Evans dkk. (2011), diskriminasi ini tercipta dari norma heteronormatif yang dijadikan konstruksi sosial. Norma ini dijadikan tolak ukur ‘kesehatan sosial’, sehingga mereka yang tidak heteroseksual dianggap menyimpang dan tidak valid.
Diskriminasi tersebut, menurut penelitian Utama (2017), dapat berpengaruh pada kesehatan mental mereka. Kisah Ardi dan Ramin menunjukkan bagaimana penolakan sosial dan keluarga bisa berdampak serius, bahkan mengancam nyawa. Fenomena ini dikenal sebagai minority stress.
Baca juga: #RuangAmanAnak: Berikan ‘Safe Space’ untuk Anak-anak Queer, Bagaimana Caranya?
‘Minority Stress’: Tekanan Sosial yang Menggerogoti Kesehatan Mental Queer
Meyer (1995), mendefinisikan minority stress atau stres minoritas sebagai stres yang disebabkan oleh status seseorang sebagai minoritas. Berbeda dengan stres pada umumnya, minority stress bersifat kronis dan hanya dialami oleh individu yang merupakan bagian dari grup minoritas.
Dalam konteks minoritas gender dan seksualitas, stres ini diakibatkan dari lingkungan yang heterosexist. Mengutip Merriam Webster, heterosexist adalah diskriminasi atau prasangka terhadap orang selain heteroseksual. Mereka percaya heteroseksualitas adalah satu-satunya ekspresi seksual yang normal dan alami.
Teresa Shinta atau Tere, Ketua Pokja Kesehatan Jiwa Komunitas Dokter Tanpa Stigma, membagikan pengalamannya dalam menangani pasien dengan keluhan minority stress. Berdasarkan pengalaman Tere, banyak pasien queer yang ia tangani mengalami minority stress karena diskriminasi.
“Biasanya pasien-pasien itu, karena kita hidup di Indonesia, jadi rentan banget mengalami persekusi, terus judging, dikatain dosa,” tutur Tere.
Mengutip Psychology.binus.ac.id, semakin tinggi minority stress yang dialami seseorang, maka semakin rendah kesejahteraan yang orang itu rasakan. Kesejahteraan yang rendah berhubungan erat dengan tingkat depresi yang tinggi, kecemasan, dan juga kesehatan mental yang buruk.
Tere mengamini hal ini. Ia menambahkan, minority stress dapat berdampak serius pada kesehatan mental queer. “Mereka jadi rentan depresi, cemas, sama yang paling bahaya muncul ide bunuh diri.”
Data survei terbaru oleh Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) di tahun 2024, turut menguatkan bagaimana minority stress berdampak besar terhadap kesehatan mental kelompok queer di Indonesia. Berdasarkan survei, lebih dari 50 persen responden queer melaporkan perasaan sedih, murung, dan tidak bahagia secara terus-menerus. Alasan tertingginya dikarenakan ketakutan akan stigma, diskriminasi, atau prasangka.
Baca juga: Tentang Melela dan Meruwat Orientasi Seksual
Menjadi Support System untuk Queer
Dalam menghadapi tekanan sosial ini, keberadaan orang-orang yang mampu menerima dan mendukung menjadi krusial untuk para queer bertahan. Penelitian dari The Trevor Project pada 2023, menunjukkan bahwa angka percobaan bunuh diri terhadap remaja queer lebih rendah ketika mereka memiliki akses terhadap ruang-ruang yang menerima identitas mereka. Temuan ini menegaskan pentingnya dukungan atau support system sebagai penyangga di tengah tekanan yang dialami kelompok queer.
Bagi Ramin, support system menjadi pondasi penting untuk queer bisa menerima dirinya sendiri. Sebab, ketika queer dikelilingi oleh lingkungan yang traumatik, mereka akan sulit berdamai dengan diri sendiri.
“Kejujuran itu terjadi waktu (queer) merasa aman, baru bisa jujur dengan diri sendiri dan orang lain. Jadi tanpa support system itu gak akan terjadi,” ucapnya.
Support system yang dimiliki Ramin salah satunya justru datang dari para pendeta. Ia merasa dirangkul dan diperlakukan layaknya manusia tanpa dihakimi karena identitasnya sebagai transpuan. Saat berbincang dengan mereka, tidak pernah sekalipun Ramin mendengar label dosa disematkan padanya.
“Ada yang kirimin aku buku terus ketemu ngafe, ajak ke rumahnya ngobrol, mereka bilang it’s ok, mereka pengen tau cerita aku gimana, terus mereka doain,” tutur Ramin.
Sementara Ardi, mendapatkan support system dari teman-temannya yang ia percaya. Bentuk support system yang Ardi terima sederhana, seperti didengarkan dan divalidasi perasaannya, tetapi bagi Ardi sangat bermakna.
Kisah Ardi dan Ramin menunjukkan bahwa menjadi support system tidak selalu harus melakukan hal besar. Dukungan bisa hadir lewat hal-hal kecil yang penuh empati. Tere membagikan beberapa cara menjadi support system untuk queer.
Pertama, dengarkan tanpa menghakimi. Ketika seseorang melela, cukup dengarkan. Validasi perasaannya, tanyakan bagaimana mereka menghadapi hidup selama ini. Hindari respons yang menghakimi seperti mengatakan bahwa mereka berdosa atau menyarankan untuk berubah.
Kedua, tanyakan apa yang mereka butuhkan. Jangan asal menawarkan solusi, tetapi tanyakan langsung dukungan seperti apa yang diperlukan. Terkadang, seseorang hanya butuh teman cerita sebagai ruang amannya.
Baca juga: Perjalanan Penerimaan Diri Sebagai Seorang Gay
Ketiga, jaga rahasia dan jangan menyebarkan kisah mereka tanpa izin. Hormati privasinya, jangan bagikan identitas mereka tanpa persetujuan. “Permasalahan dia mau coming out itu urusannya dia, tapi gak dari kitanya,” papar Tere.
Terakhir, edukasi diri dan lingkungan jika memungkinkan. Perkaya diri sendiri dan lingkungan sekitar dengan informasi soal queer agar bisa lebih memahami identitas, pengalaman, dan kebutuhan mereka.
“Dimengerti dan diterima itu basic needs-nya orang, ya,” ujar Tere. “Kalau mereka gak dapat dari mana-mana, itu balik lagi ke masalah jiwa. Dengan adanya support system, mereka akan lebih merasa bahagia dan ada ruang aman untuk mengekspresikan dirinya sendiri.”
Tere juga berpesan, bagi queer yang kesulitan menemukan tenaga kesehatan yang ramah terhadap kelompok minoritas gender dan seksualitas, bisa mengecek daftar dokter tanpa stigma melalui tautan berikut.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
