Banyak Lelaki Ngaku Peduli tapi Masih Belum ‘Walk the Talk’ soal Kerja Perawatan
“Kerja domestik itu kerja-kerja yang enggak membutuhkan rahim. Jadi, sudah seharusnya laki-laki juga ikut mengerjakannya.”
Begitulah ungkapan Wawan Suwandi dari Aliansi Laki-Laki Baru dalam Diseminasi Riset “Sudah Adilkah Rumah Kita? Mewujudkan Ekonomi Perawatan yang Inklusif”, (20/8) lalu. Laki-laki yang akrab disapa Jundi ini jadi salah satu penggerak gerakan progresif laki-laki, yang menantang standar gender tradisional hingga maskulinitas beracun yang masih melekat pada laki-laki.
Baca juga: #BaiknyaBarengBareng Menjadi Ayah yang Hadir: Peran Biasa yang Dianggap Istimewa
Fenomena ini bukan cuma muncul di forum riset atau seminar. Di media sosial, banyak “Jundi” lain bisa ditemukan. Contohnya Reza dari Bapak-bapak Biasa, yang aktif membagikan tips pengasuhan anak dan berbagi pengalaman soal keterlibatan laki-laki dalam kerja domestik.
Kehadiran mereka menunjukkan tren laki-laki ikut mengerjakan kerja perawatan tak berbayar semakin terlihat di ruang publik dan digital. Kehadiran figur seperti Reza bukan sekadar hiburan. Ia menjadi role model yang memperlihatkan keterlibatan laki-laki dalam urusan rumah tangga sebagai sesuatu yang normal dan bisa ditiru.
Sejalan dengan fenomena ini, penelitian SMERU, lembaga riset independen di Indonesia, menunjukkan data yang memperkuat tren tersebut. Berdasarkan penelitian terhadap bapak-bapak di perkotaan, mayoritas dari mereka sudah mewajarkan keterlibatan laki-laki dalam pekerjaan domestik. Angkanya mencapai 92 persen dari total sampel penelitian. Mereka yang setuju telah melegitimasi norma keterlibatan laki-laki dalam kerja perawatan tak berbayar, yang menentang norma gender tradisional.
Penelitian ini menunjukkan sesuatu yang menarik: Meski pandangan progresif tentang pembagian kerja domestik sudah banyak diadopsi secara mental, praktik nyata sering tertinggal. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara pemikiran dan tindakan, antara teori gender progresif dan realitas keseharian rumah tangga.
Baca juga: Salah Paham BKKBN soal ‘Fatherless’: Tak Cuma Ayah yang Bisa Mencontohkan Kepemimpinan
Lain Pikiran, Lain Tindakan
Meski angka persetujuan tinggi, SMERU menemukan ketidaksesuaian antara sikap dan tindakan. Tidak semua laki-laki yang mendukung keterlibatan dalam kerja perawatan tak berbayar benar-benar melakukannya. Berbeda dengan Jundi atau Reza yang aktif terjun ke urusan domestik, banyak laki-laki progresif masih belum merealisasikan pandangan mereka dalam tindakan nyata.
Hasil penelitian menunjukkan hanya 11,88 persen laki-laki yang sudah menerapkan pandangan progresif mereka ke dalam praktik kerja domestik. Sebaliknya, 80,43 persen lainnya belum melakukan kerja perawatan dan pengasuhan, meskipun telah sepakat itu tanggung jawab bersama.
Fenomena ini muncul karena adanya relaksasi norma gender. Maksudnya, meski percaya kerja domestik adalah tanggung jawab bersama, banyak laki-laki masih dibatasi kepercayaan norma konservatif yang menempatkan kerja perawatan sebagai “urusan perempuan”.
Bahkan, laki-laki yang sudah terlibat dalam urusan domestik sering baru mau melakukannya karena dorongan keadaan. Rezanti Putri Pramana, peneliti SMERU bilang, “Jadi kalau enggak ada tenaga lainnya (perempuan) dulu, baru mereka mau kerja.”
Situasi ini menegaskan, laki-laki sebenarnya mampu dan sanggup mengerjakan kerja domestik. Masalahnya bukan ketidaksanggupan fisik atau kekurangan akal, melainkan konstruksi sosial yang menempel kuat pada perempuan sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atas perawatan tak berbayar.
Fenomena ini juga menyingkap paradoks maskulinitas modern. Banyak laki-laki yang ingin tampil progresif secara pandangan, tetapi ketika masuk praktik sehari-hari di rumah, mereka masih terjebak standar tradisional. Maskulinitas tradisional menekankan kemandirian, dominasi, dan kompetisi, yang kadang membuat urusan domestik dianggap “rendahan” atau “tidak penting” bagi laki-laki. Akibatnya, diskusi soal peran laki-laki dalam rumah tangga menjadi wacana yang sering berhenti pada level ide, tanpa diterapkan.
Baca juga: ‘Kalau Gitu, Pakai Rok Aja!’ dan Suami yang Tak Lagi Diam-diam Bantu di Dapur
Peran Keluarga dan Komunitas dalam Membentuk Perilaku Progresif
Penelitian SMERU juga menemukan pola penting: Laki-laki yang aktif terlibat dalam kerja perawatan biasanya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang selaras dengan nilai tersebut. Pengasuhan sejak dini yang memperlihatkan keterlibatan laki-laki dalam urusan domestik menjadi faktor utama membentuk perilaku mereka ketika dewasa. Anak laki-laki yang melihat figur laki-laki dewasa membersihkan rumah, mencuci baju, dan merawat anggota keluarga akan lebih terbiasa melakukan kerja perawatan tak berbayar kelak.
Selain keluarga, komunitas juga memainkan peran strategis. Lingkungan sosial yang mempraktikkan keterlibatan laki-laki dalam kerja perawatan membantu membumikan norma progresif. Generasi mendatang bisa mencontoh perilaku tersebut, mempermudah pembagian peran dalam rumah tangga, dan meruntuhkan konstruksi gender yang selama ini membatasi tanggung jawab domestik pada perempuan.
Interaksi dengan komunitas juga memperlihatkan efek “modeling sosial”. Ketika laki-laki melihat sesama laki-laki secara konsisten terlibat dalam urusan domestik, mereka lebih terdorong ikut aktif. Lingkungan seperti ini penting untuk menanamkan norma baru, di mana perawatan rumah tangga bukan sekadar urusan perempuan, melainkan tanggung jawab bersama.
Dengan kata lain, pengakuan terhadap tanggung jawab bersama harus diikuti dengan praktik nyata, dukungan keluarga, dan contoh dari komunitas. Tanpa itu, wacana progresif tentang keterlibatan laki-laki dalam kerja domestik tetap berhenti pada pengakuan verbal semata.
Mendorong laki-laki untuk “walk the talk” bukan sekadar isu kesetaraan gender, tetapi juga strategi penting untuk mengurangi beban perempuan, membentuk anak laki-laki yang lebih egaliter, dan menciptakan rumah tangga yang adil. Kesadaran progresif perlu dijembatani dengan implementasi nyata agar rumah tangga modern bisa menjadi laboratorium kecil untuk membentuk masyarakat lebih adil.
















