Salah Paham BKKBN soal ‘Fatherless’: Tak Cuma Ayah yang Bisa Mencontohkan Kepemimpinan

Sebagian anak di Indonesia tumbuh dengan ayah yang hadir di rumah, tapi absen secara emosional (fatherless). Nihilnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan ini berdampak serius pada anak, dari gangguan emosi hingga kesulitan relasi sosial.
Dilansir dari CNN Indonesia, United Nation’s Children Fund (UNICEF) pada 2021 menyebut, 20,9 persen anak Indonesia kehilangan peran ayah di keluarga. Senada, Badan Pusat Statistik mencatat hanya 37,17 persen anak usia 0–5 tahun diasuh penuh oleh kedua orang tua.
Menjawab persoalan ini, Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) meluncurkan Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) pada (21/4) lalu. Program ini mengajak para ayah untuk lebih terlibat, tak sekadar berperan secara finansial saja.
“Saya berharap, hari ini yang perlu dididik adalah orang tua. Saya tidak pernah menyalahkan anak, anak tidak pernah salah, kaum Zillenial tidak pernah salah,” katanya dalam acara DetikSore, di Anjungan Sarinah, (5/5).
Baca juga: Kamu Lelaki dan Ingin Putus ‘Fatherless’, ini yang Harus Dilakukan
Latah soal ‘Strawberry Generation’
Konsep Wihaji tentang fatherless cukup tepat sampai di sana. GATI bisa jadi jawaban untuk anak yang masih memiliki ayah, tetapi tidak berperan. Dia juga mengungkap fenomena ini berpotensi menyebabkan anak lebih dekat dengan dunia digital daripada orang tuanya.
Namun, ia keliru mengaitkan kondisi ini dengan munculnya strawberry generation — generasi yang dianggap lemah dan kurang jiwa kepemimpinan.
“Karena menurut teori, 20,9 persen leadership sangat dipengaruhi oleh seorang ayah… Maka, jangan disalahkan, kalau ini diterus-teruskan, maka nanti yang lahir adalah, selain handphone generation, juga strawberry generation,” terang Wihaji.
“Apa itu salah? Apa itu tidak bias gender? Ini bukan persoalan bias gendernya, tetapi keberpihakan bagaimana hari ini seorang ayah dibutuhkan oleh anak-anaknya, tetapi tidak sadar,” lanjutnya.
Strawberry generation adalah konsep yang lahir dari Taiwan. Melansir NPR dan BFI, generasi tua di Taiwan melihat milenial tidak seperti mereka ketika masih muda. Milenial, menurut penilaian mereka, tidak tahan banting dan bekerja keras. Akhirnya, generasi tua melabeli generasi yang lahir pasca-1980, sebagai strawberry generation yang lembek dan mudah terluka.
Istilah ini memang dimaksudkan untuk menyindir generasi muda yang dianggap manja. Namun penggunaannya oleh Wihaji salah konteks dan enggak ada hubungannya dengan fenomena fatherless. Sebaliknya, Wihaji tampak latah dan malah menebalkan stigma terhadap orang muda dengan menggunakan label tersebut.
Baca juga: Kenapa Ayah Jarang di Rumah, ‘Fatherless’ dan Memori Masa Kecilku
Dampak ‘Fatherless’
Sementara, menurut jurnal berjudul ‘Exploring the Impact of Absent Fathers on Children: Lived Experiences of Students in Two Secondary Schools in the Leri be District, Lesotho’ (2024), fatherless berpengaruh di ranah kestabilan emosional.
Maksudnya, ketidakhadiran ayah dalam masa pertumbuhan membuat anak sulit memiliki hubungan sehat. Mereka kerap menarik diri dalam relasi sosial. Selain itu, kesedihan akan menimpa mereka ketika melihat sosok ayah di keluarga lain yang hadir secara emosional.
Mahasiswa tingkat akhir di kampus di Jakarta Selatan “Megan” (bukan nama sebenarnya), mengaku mengalami permasalahan tersebut. Megan kehilangan sosok ayah ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Orang tuanya bercerai saat dia kelas 12. Namun, dia sudah merasa kehilangan sosok ayah sejak kelas 11. Ayahnya mulai sensitif dan tidak mau tahu soal kehidupan Megan. Padahal, sebelum itu, sang ayah sangat bersemangat memberinya saran tentang dunia pendidikan. Dampak yang paling terasa dari kehilangan tersebut, menurutnya. adalah tidak bisa menaruh harapan dan kepercayaan kepada orang.
“Yang kena di gue, dari dampak enggak ada bokap itu, jadi lebih enggak bisa menaruh ekspektasi ke orang lain, karena menurut gue sebaik apa pun, orang ujungnya bakal ngecewain lu. Terus enggak bisa gampang percaya orang lain atau terbuka,” ujarnya kepada Magdalene, (22/5).
Sementara, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Sinta Makdalena, sedih ketika melihat konten media sosial yang memerlihatkan kedekatan anak dan ayah. Dia tak punya ingatan soal kedekatan dengan ayah. Sejak kecil, Sinta lebih banyak berinteraksi dengan ibu.
Ayah Sinta memang hadir secara fisik di rumah, tetapi tidak ada sentuhan emosional yang dibagikan. Padahal sebenarnya ia menginginkan relasi ayah-anak yang ideal. “Gue juga mau peluk-pelukan, affection dari bapak gue, tapi nyatanya enggak bisa,” ucapnya.
Selain itu, dia merasa susah percaya kepada laki-laki dalam hubungan romantis. Melihat refleksi ayahnya, dalam sudut pandang Sinta, semua lelaki memang tidak bisa memberikan sentuhan emosional. “Gue jadi enggak kaget kalau dikecewain sama laki-laki. Karena dari dulu gue yang banyak berharap juga kecewa sama bokap gue yang enggak dekat.”
Baca juga: Ketika Bapak Rumah Tangga Bicara Stigma hingga Omongan Tetangga
Kepemimpinan Tak Harus dari Ayah
Menjadi anak adalah pengalaman sekali seumur hidup. Peristiwa di masa pertumbuhan akan sangat berpengaruh pada seseorang di periode hidup selanjutnya. Melihat permasalahan Sinta dan Megan, ayah memang memiliki peran krusial dalam perkembangan anak. Namun, bukan berarti tanpa peran ayah mereka tidak bisa belajar kepemimpinan, seperti yang diutarakan Wihaji.
Megan mempelajari kepemimpinan justru dari pengamatan di luar rumah. Misalnya, ketika di organisasi dan tempat magang, dia akan melihat cara orang-orang memimpin dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, ketika dia menononton film dan membaca buku, kepemimpinan tokoh-tokoh di dalamnya dapat menjadi contoh untuk Megan.
“jadi kayak, ‘oh okay, so this is how you lead a group or how to be a leader’, gitu,” kata Megan.
Di sisi lain, Sinta, memelajari kepemimpinan dari sosok ibu. Di rumah, ibunya berperan mengelola keuangan dan pekerjaan domestik. Semua itu, dilakukan ibunya sembari bekerja. Jika ada kesulitan di rumah, ibunyalah yang akan mengambil alih dalam penyelesaian masalah.
Inisiatif yang dicontohkannya dari sosok ibu, kemudian Sinta bawa ketika jadi pemimpin dalam media kampus atau ketika magang. Magang menjadi social media officer di salah satu media musik, Sinta tak hanya mengikuti alur kerja yang sudah ada. Dia aktif mengajukan ide menarik dan berinisiatif melakukan liputan.
“Ya itu karena gue melihat emak gue, dia kalau ada masalah keluarga, yang lain diam-diam saja, nanti dia yang ngambil alih. Jadi kalau leadership justru dari emak gue sih,” terangnya.
Karena itu, kepemimpinan bisa dipelajari dari mana saja. Mengatakan bahwa kepemimpinan hanya bisa didapat dari sosok ayah, sama saja dengan menginvalidasi peran ibu atau kemampuan anak untuk mencari contoh lain.
Wihaji perlu mengedukasi diri dan unlearn-relearn soal fatherless, sebelum membuat program edukasi ayah.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
