December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

Aura Farming ‘And Just Like That’ yang Gagal Menyamai ‘Sex and the City’

Di atas kertas, melanjutkan kisah ‘Sex and the City’ bukanlah ide buruk. Tapi ‘And Just Like That’ sejak awal terlihat kebingungan.

  • September 13, 2025
  • 5 min read
  • 1757 Views
Aura Farming ‘And Just Like That’ yang Gagal Menyamai ‘Sex and the City’

And just like that And Just Like That berakhir.

Sejak kemunculannya pada akhir 1990-an, Sex and the City sudah lebih dari sekadar serial televisi. Ia menjadi ikon budaya pop yang merekam kehidupan perempuan urban—tentang cinta, seks, persahabatan, hingga kebebasan memilih jalan hidup. Kekuatan utamanya terletak pada obrolan intim antara empat sahabat: Carrie (Sarah Jessica Parker), Miranda (Cynthia Nixon), Charlotte (Kristin Davis), dan Samantha (Kim Catrall). Dari situlah lahir humor yang menggelitik, dialog yang relatable, dan refleksi yang masih relevan sampai kini.

Ketika And Just Like That diumumkan sebagai penerusnya pada 2021, banyak penggemar bertanya-tanya: bisakah serial ini mengulang magis yang sama? 

Apalagi, dua film Sex and the City sempat membuktikan bahwa kisah Carrie Bradshaw masih bisa diperpanjang tanpa kehilangan daya tariknya. Namun sejak musim pertamanya tayang, terasa jelas ada sesuatu yang janggal.

Baca juga: Jangan Berharap Banyak pada ‘And Just Like That Season 2’

Absennya Samantha meninggalkan lubang besar yang tak tergantikan. Humor yang dulu terasa ringan kini berubah jadi lelucon cringey—lebih sering menimbulkan reaksi “apa sih?” ketimbang tawa. Upaya kreator Michael Patrick King untuk menyesuaikan serial dengan konteks kekinian justru makin memperparah keadaan: Carrie didorong menjadi podcaster, Miranda tiba-tiba lesbian, anak Charlotte muncul sebagai non-binary. Semua inovasi itu tampak seperti tempelan untuk tetap relevan, alih-alih perkembangan karakter yang organik.

Sebagai kreator, King sebenarnya mencoba tetap setia pada formula lama, yakni menjadikan dinamika keempat karakter sebagai pusat cerita. Tetapi perubahan zaman dan absennya satu pilar utama membuat ramuan itu terasa hambar. Carrie yang dulu witty dan memikat justru tampak kehilangan arah. Miranda kehilangan sinisme khasnya dan dipaksa masuk ke romansa setengah matang. Charlotte seolah sudah “selesai” sejak lama—ia punya keluarga, karier, dan suami yang ia inginkan. Sementara alur Carrie kembali berulang dengan kisah cinta on-off bersama Aidan, sebuah siklus yang terasa melelahkan bagi penonton lama.

Di atas kertas, melanjutkan kisah Sex and the City bukanlah ide buruk. Tapi And Just Like That sejak awal terlihat kebingungan: apakah ia ingin merayakan nostalgia, atau menjadi representasi baru bagi isu-isu kontemporer? 

Kebimbangan inilah yang akhirnya membuat serial ini gagal memberi alasan kuat untuk terus diikuti. Tak heran, ketika pengumuman datang bahwa musim ketiga akan menjadi penutup, banyak penggemar justru merasa lega.

Saya salah satunya.

Musim Pamungkas dan Akhir yang Mengecewakan

Harapan sempat tersisa menjelang musim ketiga. Jeda panjang dari musim sebelumnya memberi ruang bagi penonton untuk berpikir mungkin King dan timnya telah menemukan racikan yang lebih pas. Namun sejak episode pembuka, ekspektasi itu runtuh. Bukannya menghadirkan penutup yang elegan, And Just Like That justru semakin menunjukkan kebingungan arah.

King mencoba berbagai cara untuk menyelamatkan serial: menghapus karakter Che Diaz yang menuai kritik, memperkenalkan tokoh baru seperti Duncan Reeves (Jonathan Cake), hingga menyuguhkan subplot eksentrik seperti hubungan Miranda dengan Mary, seorang biarawati perawan. Tapi semuanya berhenti setengah jalan.

Alih-alih mendalami potensi humor dan drama dari kisah Miranda dan Mary, serial ini buru-buru melompat ke subplot lain. Carrie pun kembali terjebak dalam romansa repetitif, sementara proses berdukanya atas kematian Big hanya disentuh sekilas lalu hilang tanpa jejak.

Baca juga: And Just Like That…’: Dunia Carrie Pun Berubah

Kelemahan ini semakin kentara di musim terakhir. Miranda, meski mengalami perkembangan karakter yang paling “mending”, tetap tidak mendapat alur yang solid. Charlotte sulit diberi konflik dramatis karena hidupnya sudah lengkap sejak lama. Carrie, yang di musim ketiga mencoba kembali menulis fiksi, sempat dipertemukan dengan Duncan dalam momen-momen manis. Namun saat hubungan itu mulai menarik, waktunya keburu habis karena serial terlalu banyak menguras energi di drama Carrie–Aidan yang basi.

Episode terakhir mempertegas semua kelemahan tersebut. Alih-alih klimaks emosional, penonton disuguhi adegan Thanksgiving dengan Carrie membagi kue pai, lalu rumah Miranda kebanjiran akibat kloset rusak. Sebuah penutup yang—secara harfiah—berakhir dengan tumpukan kotoran. Meskipun kreatornya bersikeras bahwa serial ini tidak “dibatalkan”, siapa pun yang menonton episode itu akan sulit percaya.

Setelah 33 episode, And Just Like That terasa seperti mimpi demam: berisi fragmen-fragmen yang lebih bingung daripada menghibur. Ia mencoba menjadi segalanya—fan service, eksperimen progresif, dan nostalgia—tapi gagal berkomitmen pada satu arah.

Baca Juga: Menonton Luasnya Spektrum Seksualitas lewat Geng ‘Heartstopper’

Banyak pertanyaan pun dibiarkan menggantung: apa yang terjadi dengan rencana kuliah Miranda? Bagaimana nasib Steve? Apa arti sebenarnya kematian Big bagi Carrie? Apa relevansi perjalanannya sebagai penulis atau podcaster? Tidak ada jawaban.

Pada akhirnya, warisan Sex and the City justru terasa lebih utuh jika And Just Like That dilupakan. Jika Carrie Bradshaw pernah menjadi simbol suara perempuan urban di masanya, maka penerusnya ini hanya menjadi catatan kaki yang membuyarkan segalanya. Dan just like that, satu-satunya cara merayakan Carrie dan kawan-kawan adalah dengan kembali ke serial aslinya—bukan dengan terjebak dalam upaya yang terlalu keras untuk tetap relevan di dunia yang sudah sangat berubah.

Aura farming yang mereka lakukan gagal menyamai pendahulunya: Sex and the City, yang meski revolusioner, pada akhirnya juga meninggalkan warisan yang problematis.

And Just Like That… dapat disaksikan di HBO Max

About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.