Taylor Swift dan Etika Diam di Tengah Krisis Global
Tahun-tahun terakhir memperlihatkan betapa rapuhnya tatanan global. Konflik bersenjata, bencana kemanusiaan, dan pelanggaran hak asasi bukan sekadar peristiwa jauh di luar sana, tapi krisis nyata yang menantang empati dan respons kolektif. Di tengah situasi ini, figur budaya sering kali menjadi kompas moral baru. Di saat kepercayaan terhadap politisi merosot, kita mulai menoleh ke panggung hiburan, berharap setidaknya mereka bisa bersuara.
Taylor Swift termasuk salah satu yang paling disorot. Bukan karena ia satu-satunya yang diam, tapi karena skala pengaruhnya. Eras Tour-nya menggerakkan miliaran dolar, mendongkrak ekonomi kota tempat konser digelar, dan menciptakan fenomena sosial lintas generasi. “Swiftonomics“, begitu Financial Times menyebutnya. Ia bukan hanya penyanyi, tapi institusi budaya global.
Karena itu, ketika ia tetap diam saat genosida berlangsung di Gaza, misalnya, muncul kekecewaan dan pertanyaan. Bagi banyak penggemar, suara Swift tak hanya menghibur, tapi memiliki makna moral. Gerakan seperti #SwiftiesForPalestine menandakan bahwa publik tidak lagi menganggap netralitas sebagai sesuatu yang netral. Dalam krisis, diam juga bisa bermakna politis.
Apalagi ketika baru saja Swift merilis album terbarunya, The Life of a Showgirl, di tengah perhatian dunia pada konflik kemanusiaan. Promosi album ini sungguh masif, dengan pop-up store, merch eksklusif, hingga peluncuran film. Namun, tak ada satu pun pernyataan terkait krisis yang sedang berlangsung. Banyak yang menilai, ini bukan keheningan personal, melainkan keputusan strategis yang punya bobot moral.
Baca juga: Cerita di Balik Gerakan ‘Ngeblok’ Seleb yang Bungkam atas Genosida
Ketika diam menjadi pilihan politik
Sebagai penggemar, kita ingin percaya bahwa diamnya Swift bukan karena apatis, tapi karena ia sangat sadar akan dampak setiap kata. Dalam dunia selebritas, satu komentar bisa berarti kontrak batal, tur terancam, atau bahkan ancaman hukum di negara tertentu. Keheningan bisa dibaca sebagai taktik menghindari risiko, demi menjaga reputasi tetap aman sekaligus perlindungan diri.
Swift juga dikenal sebagai maestro narasi. Ia pandai menenun luka pribadi menjadi karya yang menggerakkan jutaan orang. Dari konflik dengan artis lain, pengalaman pelecehan, hingga dinamika percintaan, semua diolah jadi lagu dan citra diri. Ini menunjukkan kecermatan dalam membentuk identitas publik. Ia tahu kapan harus bicara, dan kapan lebih baik tidak.
Tapi kesadaran akan kuasa narasi ini pula yang membuat publik bertanya, mengapa suara yang begitu lantang soal kesetaraan gender justru hilang ketika kekerasan menimpa perempuan dan anak-anak di tempat lain? Swift pernah menjadi simbol feminisme pop, dengan lagu seperti “The Man” dan pernyataan soal pelecehan seksual. Tapi ketika ia diam terhadap penderitaan perempuan di Gaza, banyak yang melihatnya sebagai bentuk feminisme yang sempit dan eksklusif.
Istilah “white feminism” kerap digunakan untuk menggambarkan sikap ini, yakni feminisme yang memperjuangkan hak-hak perempuan kulit putih di Barat, tapi tak menyentuh isu ras, kelas, atau konflik di luar sana. Dalam pandangan ini, solidaritas yang selektif justru melanggengkan ketidakadilan global, karena hanya berlaku bagi mereka yang punya kemiripan identitas atau pengalaman.
Swift juga kerap menggunakan narasi pribadi untuk membingkai konflik, termasuk dengan sesama artis. Lagu-lagunya, seperti “Bad Blood” dan “Actually Romantic”, sering dibaca sebagai respons terhadap perseteruan publik dengan Katy Perry dan Charli XCX. Ini memperlihatkan betapa kuatnya posisi Swift dalam membentuk opini, sekaligus menunjukkan bahwa ia sangat memahami nilai komersial dari luka dan konflik.
Ia menciptakan dunia yang begitu kuat secara naratif. Setiap “era” adalah babak baru: dari gadis lugu, korban media, hingga perempuan yang berdamai dan berkuasa. Ini sejalan dengan konsep “narrative identity” dalam psikologi, yakni cara seseorang membangun dan mempertahankan jati diri melalui kisah yang ia ceritakan tentang dirinya. Dalam kasus Swift, cerita itu tak hanya dikonsumsi, tapi dipercayai jutaan Swifties—penggemarnya.
Baca juga: Donasi Miliaran hingga Boikot Starbucks: 5 ‘Idol’ dan Aktris Korea yang Bela Palestina
Kekuatan narasi dan kecewa yang tak sederhana
Penggemar bukan sekadar pendengar, tapi komunitas yang membentuk nilai dan norma sendiri. Ada etika kolektif yang terbentuk dari interaksi dengan karya dan figur yang mereka cintai. Maka ketika Swift memilih diam di tengah tragedi, muncul yang disebut sebagai disonansi moral, yakni benturan antara nilai kelompok dan tindakan idolanya.
Sebagian penggemar merasa dikhianati, sementara yang lain mencoba memahami, menganggap diam sebagai perlindungan diri. Tapi jelas bahwa hubungan ini tidak lagi sekadar artis dan penggemar. Ini adalah ikatan sosial yang melibatkan harapan, kepercayaan, dan nilai moral.
Ironisnya, bagi sebagian orang muda, suara Swift terasa lebih jujur daripada suara politisi. Ia dianggap simbol alternatif, yang bisa mewakili perasaan dan nilai mereka. Ketika ia tak bersuara, bukan hanya suara idola yang hilang, tapi juga arah moral yang selama ini mereka andalkan. Dalam dunia yang semakin sinis, keheningan dari figur yang kita percaya justru terasa paling bising.
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai penggemar atau warga?
Pertama, penting untuk memahami bahwa kritik bukanlah bentuk kebencian atau pengkhianatan. Mengevaluasi sikap figur publik adalah bagian dari literasi politik dan etika. Justru dari cinta dan kepedulian, kita belajar untuk menuntut konsistensi nilai.
Kedua, kita perlu keluar dari nilai biner “pahlawan atau penjahat”. Artis juga manusia, yang beroperasi dalam logika pasar dan keamanan. Tapi itu tak berarti mereka bebas dari pertanggungjawaban etis. Diam bisa jadi strategi, tapi tetap perlu ditelaah secara etis.
Ketiga, feminisme harus inklusif. Solidaritas harus menjangkau semua, terutama yang tak punya pengeras suara. Bila kampanye kesetaraan hanya menguntungkan kelompok tertentu, itu tidak cukup.
Dan terakhir, kita perlu sadar bahwa narasi adalah alat yang sangat kuat. Banyak orang terdekat kita (dan mungkin kita sendiri) juga dapat menggunakan narasi korban atau cerita pribadi untuk mendapatkan empati. Mengenali itu membantu kita menjadi pembaca budaya yang lebih kritis.
Baca juga: Diamnya ‘Idol’ atas Genosida Palestina: Sebagai ARMY, ini Alasan Saya Kecewa pada BTS
Swift telah membuktikan bahwa lagu bisa menjadi ruang kolektif bagi harapan dan luka. Tentu saja hal tersebut merupakan bakat besar, tetapi bakat itu tidak bebas nilai. Ketika dunia sedang menghadapi tragedi kemanusiaan, kita berhak menanyakan apakah suara paling berpengaruh dalam budaya hiburan global juga harus mengangkat mikrofon, dan atas nama siapa.
Perdebatan ini tidak hanya tentang Taylor Swift, tapi tentang bagaimana kita menuntut tanggung jawab dari kekuatan budaya dalam saat krisis, dan bagaimana kita, sebagai pembaca dan penggemar, melatih hati serta pikiran agar tidak mudah terbius oleh narasi yang indah jika narasi itu mengaburkan realitas yang menyakitkan.
Anindwitya Rizqi Monica adalah salah satu pendiri, konsultan, dan pembicara di bidang kesetaraan gender dan pariwisata. Ia merupakan pendiri Women in Tourism Indonesia (WTID) serta pemilik JogJamu Indonesia.
















