Issues Lifestyle Politics & Society

Bungkam Demi Harta: Diamnya Selebriti Dunia atas Genosida Palestina

Koar-koar tentang HAM kelompok minoritas ras dan seksual, tapi mendadak bungkam saat Israel membombardir Palestina. Kenapa ada latah ini di kalangan selebriti Hollywood?

Avatar
  • December 7, 2023
  • 8 min read
  • 1970 Views
Bungkam Demi Harta: Diamnya Selebriti Dunia atas Genosida Palestina

Krisis kemanusian yang terus terjadi di Palestina membuat warga dunia tergerak untuk bersolidaritas. Berbagai aksi turun ke jalan, boikot produk, membuat konten edukasi, hingga mempermalukan para petinggi pemerintah yang mendukung genosida Israel dilakukan. Sayangnya, aksi solidaritas ini tidak banyak dilakukan oleh selebriti dunia kendati mereka punya pengaruh dan suara.

Bungkamnya artis dunia membuat Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) Movement melayangkan kritik, khususnya pada Beyonce dan Taylor Swift. “Kami sangat prihatin film-film mereka diputar di Israel ketika militernya melakukan apa yang disetujui oleh 36 pakar PBB, serta para ahli hukum Israel, Palestina, dan internasional, termasuk para ahli genosida, sebagai genosida,” tulis akun Instagram mereka, sembari menandai (tagging) akun resmi Beyonce dan Taylor Swift, (4/12).

 

 

Bahkan, imbuh BDS Movement, jika para selebriti enggak punya kekuatan untuk membatalkan pemutaran film, setidaknya mereka bisa menuntut secara terbuka pertanggungjawaban Israel atas genosida Palestina.

Baca Juga: Standar Ganda Feminis Barat Kala Bicara Kasus Palestina

Selebriti Punya Apa yang Rakyat Biasa Tak Punya

Sebenarnya sejak serangan Oktober, sudah mulai banyak selebriti dunia yang bersuara. The Hollywood Reporter menulis daftar sekitar 700 selebriti papan atas yang menyerukan perdamaian dua negara, tapi kini mayoritas dari mereka memilih bungkam.

Hal ini relatif disayangkan mengingat selebriti tercatat berperan besar dalam gerakan sosial politik. Mereka dapat dan memang menggunakan suaranya untuk memengaruhi kebijakan demi menciptakan masyarakat yang lebih adil dan damai. Shontavia Johnson Profesor Hukum Kekayaan Intelektual, Universitas Drake menjelaskan dalam tulisannya di The Conversation tentang ini.

Pada awal 1900-an, kata Johnson, setelah National Woman Suffrage Association didirikan untuk memperjuangkan hak pilih perempuan, selebriti dikerahkan untuk meningkatkan kesadaran perjuangan. Aktris populer seperti Mary Shaw, Lillian Russell, dan Fola La Follette, misalnya, menarik perhatian terhadap gerakan, lalu menggabungkan karya mereka dengan aktivisme politik untuk mendorong pesan hak pilih perempuan.

Hal ini juga terjadi pada gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat pada 1960-an. Misalnya, setelah Sammy Davis Jr., komedian kulit hitam menolak tampil di tempat terpisah, banyak klub di Las Vegas dan Miami yang ikut merapatkan barisan. Ada juga Ossie Davis dan Ruby Dee, Dick Gregory, Harry Belafonte, Jackie Robinson dan Muhammad Ali yang berperan penting dalam keberhasilan gerakan dan pengesahan Undang-Undang Hak Sipil 1964.

Para aktor ini merencanakan dan menghadiri demonstrasi, tampil, dan mengorganisasi upaya penggalangan dana dan membuka peluang bagi orang kulit hitam di industri hiburan. Semua ini dilakukan dengan konsekuensi keamanan dan karier mereka sendiri.

Pada 1980-an, Charlton Heston dan Paul Newman memperdebatkan kebijakan pertahanan nasional Amerika Serikat dan potensi pembekuan senjata nuklir di televisi. Meryl Streep berbicara di depan Kongres menentang penggunaan pestisida dalam makanan. Ed Asner dan Charlton Heston secara terbuka berselisih mengenai dukungan pemerintahan Reagan terhadap kelompok militan sayap kanan Nikaragua.

Selebriti menurut Johnson memiliki kemampuan untuk menarik perhatian terhadap isu-isu sosial dengan cara yang tidak dilakukan orang lain, yakni platform dan karya. Lewat film, musik, olahraga, dan media lainnya, mereka bisa memberikan pengaruh signifikan terhadap pembebasan Palestina.

Besarnya pengaruh seleb inilah yang membuat organisasi HAM PBB, seperti UNICEF, menggandeng selebriti sebagai goodwill ambassador dan celebrity advocates dalam kampanye mereka. Dalam laman resminya, UNICEF menyatakan selebriti menarik perhatian publik. Sebab, mereka punya platform dan popularitas. Para selebriti dapat memusatkan perhatian dunia pada kebutuhan anak-anak, baik di negara mereka sendiri maupun dengan mengunjungi proyek lapangan dan program darurat di luar negeri.

Mereka dapat memberikan representasi langsung kepada pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan perubahan. Mereka dapat menggunakan bakat dan ketenaran mereka untuk menggalang dana dan mengadvokasi anak-anak serta mendukung misi UNICEF untuk memastikan hak setiap anak atas kesehatan, pendidikan, kesetaraan, dan perlindungan. Mereka juga memberi kita peluang untuk bekerja sama dengan pemerintah lokal dan terlibat aktif dalam kampanye nasional.

Baca Juga: Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang

Pertaruhan Karier dan Keamanan yang Jadi Alasan

Ada satu poin yang selalu diangkat oleh para penggemar soal idolanya yang memilih bungkam. Mereka bilang, sang idola “terpaksa” diam karena bicara genosida Palestina sama saja menggali kuburan sendiri. Ada pertaruhan nyawa dan karier. Iya sebenarnya pendapat fans valid-valid saja.

Kita melihat bagaimana agensi pencari bakat Hollywood, United Talent Agency (UTA), mencabut artis Susan Sarandon sebagai kliennya setelah dia bicara tentang aksi pro-Palestina dan mengecam antisemitisme serta islamophobia. Ada juga aktris Meksiko Melissa Barrera yang dipecat dari franchise film Scream karena postingannya di media sosial yang pro-Palestina.

The Guardian melaporkan konsekuensi yang dialami Sarandon dan Barrera tak lain karena Israel secara historis menikmati dukungan kuat di Hollywood. Kelahirannya pada 1948 yang dibangun lewat peristiwa Nakba yang berdarah, dirayakan penonton di Hollywood Bowl yang mendengarkan rekaman pesan dari perdana menteri pendiri David Ben-Gurion. Pada 1967, di tempat yang sama, “Reli untuk Kelangsungan Hidup Israel” menunjukkan solidaritas setelah perang enam hari dengan bintang-bintang seperti Frank Sinatra, Peter Sellers, dan Barbra Streisand.

David Clennon, aktor pemenang Emmy dan pendukung lama hak-hak Palestina, mengatakan melalui email, sejarah keberpihakan Hollywood terhadap Palestina langgeng. Pun, para “pemain” lamanya akan melakukan segala daya mereka untuk mengintimidasi mereka. Salah satunya dengan menggunakan narasi antisemitisme.

Cara ini pernah disampaikan oleh Norman Finkelstein, profesor ilmu politik Yahudi di DePaul University di Chicago dalam bukunya The Holocaust Industry (2000), berbagai pidatonya di ruang akademik, dan wawancaranya di media. Enggak cuma mengacu pada Hollywood, Finkelstein percaya elit Yahudi di Amerika Serikat memang sengaja menggunakan holokaus sebagai senjata untuk membungkam suara sumbang tentang Israel.

Sebagai anak dari orang tua penyintas Ghetto Warsawa dan kamp konsentrasi Nazi, Finkelstein bilang, holokaus digunakan Israel dan negara-negara seperti Amerika Serikat sebagai ideologi. Mereka mengeksploitasi penderitaan dan trauma penyintas Yahudi untuk mendapatkan keuntungan politik dan finansial sendiri. Dengan narasi ini, Israel mendeklarasikan diri sebagai negara “korban”.

“Keuntungan yang cukup besar akan diperoleh dari sikap menjadi korban khususnya, kekebalan terhadap kritik, betapa pun beralasannya. Mereka yang menikmati kekebalan ini,” tulisnya.

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel

Kritik dan kerangka pemikiran Finkelstein soal The Holocaust Industry memperlihatkan dengan jelas konsekuensi yang bisa terjadi bagi setiap orang yang menentang kekejaman agresi militer Israel. Maka bermain aman untuk tidak mengorbankan karier dan keamanan adalah pilihan valid.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan pilihan ini, tapi kedaruratan krisis kemanusiaan di Palestina membuatnya jadi berbeda. Dari Desmond Tutu, teolog dan pejuang HAM terkenal dari Afrika Selatan, kita belajar bahwa menjadi netral dalam situasi ketertindasan dan ketidakadilan berarti sama saja memilih sisi penindas. Memilih bungkam dalam situasi ini adalah salah satu bentuk dari kenetralan. Sehingga, tanpa disadari kita berkontribusi dalam melanggengkan bahkan mengamplifikasi segala bentuk penindasan dan kekerasan yang sudah terjadi. 

Buat para selebriti, pernyataan Desmond Tutu juga bisa direfleksikan bersamaan dengan pernyataan legendaris Nina Simone, musisi dan aktivis hak-hak sipil Amerika. Simone pernah mengatakan, tugas artis adalah merefleksikan perkembangan zaman. Itu berlaku bagi para pelukis, pematung, penyair, musisi. Ketika kita berada dalam situasi genting, atau saat segalanya menyedihkan, setiap hari adalah soal bertahan hidup, terlibat dan mengadvokasi isu menjadi sangat penting.

“Jadi menurutku kamu tidak punya pilihan. Bagaimana kamu bisa menjadi seorang artis dan tidak mencerminkan perkembangan zaman? Bagiku itulah definisi seorang seniman,” tegasnya dalam video yang bisa ditonton lewat kanal YouTube resmi.

Apa yang direfleksikan oleh Desmond Tutu dan Nina Simone inilah yang dilakukan dan coba diperjuangkan oleh beberapa selebriti. Redveil, rapper 19 tahun asal Amerika serikat, Melanie Martinez, Victoria Monet kompak menyerukan gencatan senjata dan pembebasan masyarakat Palestina dalam aksi panggungnya. Angelina Jolie, Kehlani, Gigi Hadid, Bella Hadid, Melissa Barrera dalam unggahan Instagram resmi mereka, mengecam keras agresi militer Israel. Contoh penting dalam refleksi keberpihakan pada Palestina bisa dilihat dari sikap Halsey, penyanyi Amerika Serikat.

Halsey sebelumnya dikritik oleh banyak orang termasuk penggemarnya sendiri karena diam saja dengan genosida Palestina, kendati sebelumnya vokal menyuarakan pembebasan Palestina. Ia bercerita tentang alasannya bungkam. Salah satunya adalah karena ketakutan akan keselamatan keluarganya di mana sejumlah peristiwa kekerasan dan ancaman terjadi mengakibatkan rumah Halsey dihantam beberapa kali dan ia sampai memerlukan kehadiran penembak jitu, selama sebagian besar pertunjukan musim panas.

Namun, setelah mendapatkan kritik, Halsey merenungkan posisinya baik sebagai manusia dan selebriti yang aktif mengadvokasi isu-isu kemanusiaan. Ia lantas mengakui bahwa tindakannya pengecut dan mulai menyuarakan solidaritas dengan Palestina kembali.

“Beberapa orang berpendapat itu adalah tindakan pengecut. Sejujurnya, memang demikian. Tidak tepat rasanya ketika keputusan yang saya buat untuk keluarga sendiri, justru menghalangi saya untuk menyuarakan dukungan bagi keluarga-keluarga yang mengalami kekerasan yang jauh lebih buruk,” tulisnya.

Walaupun buat sebagian orang pernyataan Halsey dianggap setengah hati, akan tetapi sikapnya cukup jadi pengingat bersama. Bahwa selebriti nyatanya punya pilihan untuk bersuara atau bungkam saja apalagi mereka yang punya pengaruh besar di masyarakat dan pemerintah.

Buat mereka yang memilih bungkam kita harus paham, pada akhirnya ini adalah pilihan politis. Mereka memilih untuk mengikuti memainkan perannya dalam peta politik dunia dengan bermain aman demi kenyamanan sendiri.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *