December 5, 2025
Issues People We Love

Kisah Sisters in Danger x Simponi Ubah Luka Jadi Suara

Dari panggung kampus hingga kelas-kelas sekolah, musisi Sisters in Danger x Simponi mengubah trauma jadi suara, dan luka jadi keberanian.

  • October 16, 2025
  • 5 min read
  • 4389 Views
Kisah Sisters in Danger x Simponi Ubah Luka Jadi Suara

Di aula kampus Universitas Pancasila Jakarta, suara drum dan gitar berpadu dengan lantang suara. “Jangan diam kalau kau disakiti!” seru M.B. Gamulya, vokalis Sisters in Danger x Simponi dari balik mikrofon. Kalimat itu menggema di antara sorak mahasiswa baru. Bukan sekadar lirik, tapi seruan bagi siapa saja yang pernah terluka dan memilih bungkam. 

Gamulya bukan hanya vokalis band. Ia adalah pengingat luka tak boleh dibiarkan sunyi. Bersama rekan-rekannya, ia telah lebih dari satu dekade menjadikan musik sebagai alat edukasi dan perlawanan terhadap kekerasan berbasis gender. Lagu-lagu mereka bercerita tentang keberanian, trauma, dan harapan. Hal-hal yang sering tak sempat diucapkan dalam ruang publik yang masih bias terhadap perempuan. 

Vokalis Sisters in Danger X Simponi, M. B. Gamulya memberikan pemaparan terkait tujuan Edukasi Musikal Mingguan: [Belum] Merdeka dari Kekerasan Terhadap Perempuan & Anak, di Universitas Pancasila, Senin, 15 September 2025 (Foto: Dokumentasi pribadi Gamulya)

Baca juga: Viral Struk Restoran Ada Biaya Royalti Musik Rp29 Ribu—Ini Fakta, Aturan, dan Hak Konsumen

Tak Cukup Ruang untuk “Berisik” 

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, tapi rasa aman masih terasa mewah bagi banyak perempuan–bahkan di rumah sendiri. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2024 mencatat mencatat, 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, meningkat hampir sepuluh persen dari tahun sebelumnya. Dari angka itu, 330 ribu kasus merupakan kekerasan berbasis gender, dan kekerasan seksual menjadi yang paling banyak mengalami lonjakan. 

“Melindungi perempuan dan anak adalah inti dari Indonesia yang aman dan adil,” tulis Unity in Diversity Indonesia dalam salah satu pernyataannya. 

Namun bagi Gamulya, perlindungan tak cukup sebatas janji atau undang-undang. Menurutnya keberadaan instrumen hukum di Indonesia pun kerap kali dicederai oleh perilaku para aparatnya sendiri yang justru menjadi pelaku kekerasan.  

“Aparat negara kadang malah menjadi pelaku. Banyak laporan yang diabaikan polisi,” ujarnya. 

“Jadi negara bukan hanya lalai, tapi juga bisa jadi bagian dari masalah.” 

Foto: Dokumentasi pribadi Gamulya

Baca juga: Negatifa, Musik Keras, dan Laki-Laki yang Baru Mulai Mendengarkan Isu Perempuan

Musik sebagai Medium Pemantik Kesadaran 

Sisters in Danger x Simponi lahir dari kegelisahan. Gamulya dan teman-temannya percaya musik bisa menjangkau ruang yang tak mampu ditembus ceramah atau seminar. Maka sejak 2010, mereka merintis konsep edukasi musikal, yang mengawinkan pertunjukan musik, presentasi data, dan dialog interaktif di sekolah maupun kampus. 

“Pelajar dan mahasiswa kami ajak untuk memahami isu kekerasan lewat lagu, data, dan percakapan,” jelas Gamulya. “Mereka tak hanya mendengar, tapi ikut merasakan dan bereaksi.”  

Selama lima belas tahun, kelompok ini telah menjangkau lebih dari 65.000 pelajar di 62 kota di seluruh Indonesia. Mereka datang tanpa panggung besar atau bayaran tinggi, hanya dengan semangat untuk mengubah kesadaran. 

“Musik membuat pesan jadi lebih mudah diterima,” katanya. “Kami ingin penyuluhan yang tidak membosankan. Sesuatu yang bisa mengetuk hati, bukan hanya mengisi kepala.”  

Selain pencegahan, Gamulya juga menekankan pentingnya merawat ingatan terhadap kekerasan masa lalu. 

“Merawat ingatan sama pentingnya dengan pencegahan. Kalau sejarah kekerasan dihapus, bagaimana kita bisa belajar untuk tidak mengulanginya?” 

Ia menyinggung kasus-kasus besar seperti perkosaan massal Mei 1998, yang hingga kini belum menemukan titik terang. Bagi Gamulya, melupakan hanya akan membuka jalan bagi kekerasan baru. Karena itu,dalam setiap penampilan, ia tak sekedar bernyanyi, tapi juga bercerita tentang perempuan yang bertahan, anak-anak yang trauma, dan masyarakat yang perlu belajar untuk mendengar. 

“Seni itu soal rasa dan kepekaan,” ujarnya. “Apalah arti kesenian kalau jauh dari lingkungan? Lingkungan kita penuh masalah, dan itu semua politis.” 

Di tengah dunia seni yang sering dijauhkan dari aktivisme, Sisters in Danger x Simponi justru memilih berpihak. Musik mereka tidak lahir dari ruang steril, melainkan dari jalan-jalan tempat kekerasan benar-benar terjadi. Namun, perjuangan itu tak selalu mudah. Program rutin edukasi musikal kerap terganjal dana. 

“Kami ingin tampil seminggu sekali di sekolah atau kampus, tapi sponsor tetap sulit.” tuturnya. “Untuk kali ini saja, hanya empat titik yang bisa didanai.” 

Meski begitu, mereka tak menyerah. “Kekerasan tidak mengenal momentum,” katanya. “Edukasi juga seharusnya begitu.” 

Sisters in Danger X Simponi membawakan lagu berjudul “Terlalu Banyak” ketika tampil di Edukasi Musikal Mingguan: [Belum] Merdeka dari Kekerasan Terhadap Perempuan & Anak, di Universitas Pancasila, Senin, 15 September 2025. (Foto: Dokumentasi pribadi Gamulya)

Baca juga: Saya Ngobrol dengan Musisi Jati Andito tentang Makna Jadi Pekerja ‘in This Economy

Benih yang Terus Tumbuh 

Setiap kali Sisters in Danger x Simponi tampil, M.B. Gamulya dan kelompoknya membawa harapan. Dari ratusan wajah di depan panggung, setidaknya satu orang akan menemukan keberanian baru. Contohnya, usai acara, seorang pelajar mendekat dan mengucapkan terima kasih karena lagu mereka memberinya kekuatan untuk berbicara tentang luka yang selama ini disembunyikan. Ada pula yang berbagi cerita tentang pengalaman pribadi, tentang ketakutan yang akhirnya tersuarakan berkat nada-nada yang mereka dengar. 

“Itu yang membuat kami terus berjalan. Kalau satu orang aja merasa enggak sendirian, itu sudah cukup,” ujar Gamulya. 

Baginya, momen-momen kecil ini adalah benih keberanian yang mereka tanam dan sirami. Mereka tumbuh di hati para pendengar, terutama anak-anak muda yang hadir di ruang kelas atau aula kampus. 

Gamulya tahu musik mereka tak selalu viral, apalagi di era media sosial yang serba cepat. Namun, ia percaya gema kesadaran yang mereka sebarkan tumbuh pelan tapi pasti. “Kami enggak mengejar panggung besar atau sorotan kamera. Kami ingin pesan ini hidup di kehidupan sehari-hari, di tempat orang-orang merasa aman untuk jujur,” katanya. 

Apalagi buat Sisters in Danger x Simponi, perjuangan melawan kekerasan berbasis gender bukan sekadar kampanye sosial. Ini adalah wujud cinta kepada sesama manusia, kehidupan, dan mereka yang pernah dipaksa diam oleh trauma. Setiap lagu yang mereka mainkan adalah upaya untuk memecah sunyi, mengingatkan bahwa penyintas tak pernah sendiri. 

“Kami ingin anak-anak muda tahu bahwa mereka punya suara, dan suara itu berharga,” tambah Gamulya. 

About Author

Rup and Syifana Ayu Maulida