July 14, 2025
Issues People We Love Politics & Society

Saya Ngobrol dengan Musisi Jati Andito tentang Makna Jadi Pekerja ‘in This Economy’

Lewat lagu ‘Cerita Pekerja’, Jati Andito menyuarakan kerasnya hidup sebagai pekerja di tengah upah rendah, beban kerja tak wajar, dan perusahaan toksik.

  • June 27, 2025
  • 5 min read
  • 579 Views
Saya Ngobrol dengan Musisi Jati Andito tentang Makna Jadi Pekerja ‘in This Economy’

“Kalau kamu enggak suka, kamu mundur aja.” 

Kalimat itu dilontarkan atasan Jati Andito saat makan siang, usai memintanya menerjemahkan naskah berbahasa Inggris ke Indonesia—tugas yang jelas bukan tanggung jawabnya sebagai pengisi suara. Tanpa ragu, Jati langsung menolak. Detik itu juga, ia memutuskan untuk mengundurkan diri. 

Pengalaman tersebut menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya sebagai pekerja sekaligus seniman. Ia tidak hanya memutuskan keluar dari sistem kerja eksploitatif, tetapi juga menyuarakan keresahan pekerja lewat musik. Single pertamanya, “Cerita Pekerja”, lahir dari pengalaman pribadi itu dan dirilis bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2025. 

“Cerita Pekerja” bukan sekadar karya musik. Lagu ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem kerja yang menindas. Entah jam kerja yang panjang, upah yang tidak memadai, gangguan di hari libur, dan ekspektasi berlebihan atas loyalitas. Lagu ini merekam pengalaman banyak pekerja yang merasa terjebak dalam relasi kerja yang timpang dan tidak manusiawi. 

“Aku bilang sama bosku, itu bukan tanggung jawab aku,” kata Jati kepada Magdalene

“Kita di sini keluarga, itu alasan perusahaan yang klasik sekali.” 

Baca Juga: Selamat Ulang Tahun Karl Marx, Dia yang Bermimpi Ekploitasi Kelas Pekerja Dihapus 

Kenyataan yang Enggak Baik-baik Saja 

Realitas yang digambarkan Jati dalam lagunya bukan fiksi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lebih dari 14,8 juta pekerja di Indonesia masih menerima upah di bawah standar kelayakan. Di sisi lain, praktik-praktik kerja eksploitatif terus dibiarkan, dari jam kerja tak terbatas hingga budaya kerja yang menuntut kesetiaan mutlak. 

Potongan lirik berikut menggambarkan absurditas itu: 

Katamu semua baik-baik saja 

Sudah semestinya kerja begitu gila 

Katamu semua sudah dari dulu 

Kerja tak kenal waktu walau bahagia belum tentu 

Foto: Dokumentasi Pribadi Jati Andito.

Dalam lingkungan kerja yang mengeklaim dirinya sebagai “keluarga”, ekspektasi terhadap loyalitas kerap dimanfaatkan sebagai alat represi. Jati yang pernah bekerja di stasiun TV berskala Asia Tenggara tahu persis bagaimana kultur itu bekerja, yakni mengaburkan batas profesionalitas demi menuntut lebih banyak dari pekerja. 

“Sekarang aku tampil secara fisik, mungkin dulu hanya di balik layar kaca.” 

“Walau jalan panjang aku dimulai 2012 dari Band WestJamnation, berlanjut jadi aktor, dubbing iklan, film.” 

Baca Juga: Hidup Gen Z dan Milenial: “Cukup Saja Sudah Mewah, Dua-Tiga Pekerjaan Enggak Cukup” 

Musik Sebagai Alat Perlawanan 

“Cerita Pekerja” menjadi medium bagi Jati untuk mengekspresikan pengalaman personal dan kolektif para pekerja. Lewat musik, ia menjangkau lebih banyak orang—bukan hanya mereka yang aktif di gerakan buruh, tetapi juga mereka yang merasa sendiri dalam tekanan kerja harian. 

“Kalau kita pakai musik, mungkin kita bisa nge-reach orang yang lebih banyak lagi dengan estetik yang indah,” ujarnya. 

Pengalaman pahit yang dialami Jati dituangkan dengan jujur dalam lagu. Ia tidak sedang mencoba membuat lagu yang manis atau menyenangkan, melainkan lagu yang otentik dan menggambarkan keresahan nyata. Rasa marah, kecewa, dan kelelahan mewarnai setiap baitnya. 

Ia sedang menyiapkan lagu kedua dan berencana merilis satu album penuh dengan sepuluh lagu. Lagu-lagu itu akan memotret berbagai kondisi pekerja hari ini, terutama keresahan generasi muda yang hidup di tengah ketidakpastian ekonomi. 

“September nanti single ketiga rilis, mungkin akhir tahun bisa full album, doakan yah,” katanya. 

Jati tak bergerak sendiri. Ia aktif di Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), dan juga menjalin komunikasi dengan Prakerti Collective Intelligence—jaringan akademisi yang memperkaya perspektifnya dengan data dan riset. 

“Aku pernah ngeliat riset mereka, aku ngeliat keluh-kesah kawan-kawan. Enggak cuma aku dari voice over yang punya permasalahan sendiri, tapi ya wartawan punya masalah, pekerjaan NGO punya masalah, semualah, pekerjaan industri kreatif, desainer grafis, apalagi dengan adanya AI,” jelasnya. 

Baca Juga: Ada Kegagalan Negara Di Balik Lahirnya Serikat Pekerja Kreatif 

Pekerja Semakin Rentan 

Foto: Dokumentasi pribadi Jati Andito.

Tekanan terhadap pekerja bukan cuma datang dari sistem, tetapi juga dari sesama pekerja. Kompetisi internal yang digencarkan perusahaan membuat solidaritas antarpekerja makin rapuh. Dalam lirik “Cerita Pekerja”, Jati menyindir narasi saling sikut yang membuat pekerja terasing dari hidupnya sendiri: 

Yang tidak baik-baik saja. 

Tenggelam dalam narasi harus saling berkompetisi 

Terasing dari hidup dan diri sendiri 

Cerita.. Pekerja.. 

“Tiap hari kita tuh macam bacok-bacokan sama pekerja lain. Siapa yang paling bagus performanya di antara kamu dan aku di depan bos. Jadi aku rasa alih-alih kita berkompetisi, malah harusnya kita saling bareng, dan saling menguatkan,” katanya. 

Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat lebih dari 1.200 jurnalis kehilangan pekerjaan tahun ini. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal juga terjadi di berbagai sektor, termasuk industri tekstil seperti Sritex yang memutus kontrak sepuluh ribu pekerja. Dalam kondisi seperti ini, menolak tugas tambahan atau menuntut hak dasar sering kali berujung pemanggilan, teguran, hingga pemutusan kerja. 

Sebagai mantan koordinator Divisi Pengembangan Organisasi SINDIKASI, Jati mendengar banyak cerita serupa dari pekerja di berbagai sektor. Kontrak kerja yang kabur, jam kerja yang melewati batas, hingga beban tambahan tanpa kompensasi. Ia melihat persoalan ini bukan sebagai kasus individual, tapi sebagai pola struktural yang sistemik. 

Lebih khusus melalui “Cerita Pekerja”, Jati mengajak pendengarnya untuk tidak hanya mengeluh, tapi juga membayangkan ulang masa depan kerja. Lagu ini menjadi bisikan harapan yang menggugah kesadaran akan kekuatan kolektif pekerja. 

“Perusahaan bisa tumbuh mencapai profit banyak itu karena para pekerjanya yang kerja keras. Jangan lupakan itu,” tuturnya. 

“Makanya di bagian lirik terakhir aku ngomong, ini bisikan, bisikan harapan, sebenarnya itu ada harapannya gitu loh. Kita mendingan mimpiin ulang, kerja itu apa, masa depan yang bagus buat kita itu apa,” tutup Jati. 



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.