
Menyuarakan isu perempuan melalui musik bukan hal baru. Tapi ketika suara itu muncul dari band hardcore punk yang digawangi laki-laki bersuara serak dan kasar, ini jadi sesuatu yang mencuri perhatian.
Di tengah gemuruh distorsi, dentuman drum bertalu-talu, dan lirik yang dimuntahkan dengan intensitas penuh amarah, Negatifa muncul sebagai simbol baru. Band ini, yang dipimpin oleh Arian 13—vokalis band metal Seringai—mengangkat isu pelecehan seksual dalam single “Unity/Ruang Aman.” Sebuah langkah yang mengejutkan bukan karena substansinya, tetapi karena siapa yang menyuarakannya.
Skena hardcore dan metal di Indonesia selama ini jarang diasosiasikan dengan diskursus soal kesetaraan gender atau kekerasan seksual. Sebaliknya, ia lebih kerap dikaitkan dengan citra maskulinitas urban: penuh adrenalin, marah, dan cenderung antikritik. Dalam konteks ini, kehadiran Negatifa dengan lagu-lagu pendek dan brutal khas powerviolence—namun justru membawa pesan tentang ruang aman—patut dicatat sebagai sebuah anomali yang mungkin membuka peluang perubahan.
Apakah ini pertanda bahwa sebagian laki-laki dalam musik keras mulai mendengar, atau sekadar bentuk lain dari moralitas simbolik yang dinaikkan satu level karena mereka tidak diam? Itu pertanyaan yang layak diajukan. Karena, mari kita jujur: kejutannya bukan terletak pada isunya. Perempuan telah lama dan terus-menerus berbicara soal kekerasan seksual. Kejutannya justru karena akhirnya ada laki-laki yang, dari panggung yang biasanya enggan disentuh isu ini, ikut angkat suara.
Dan di sinilah letak absurditas kita. Ketika seorang pria bicara tentang pelecehan, itu langsung dianggap progresif. Padahal jika standar dasarnya adalah menyadari ketimpangan dan tidak menjadi pelaku, bukankah itu seharusnya kewajiban, bukan prestasi? Tapi dalam budaya yang terlalu lama membiarkan laki-laki diam saat teman bercanda seksis, saat korban bercerita, saat kenyamanan maskulin menjadi norma, keberanian untuk sekadar mendengar dan bersuara pun terasa seperti langkah besar.

Baca juga: SDG Talks: Pelecehan Seksual di Konser Musik Bagian dari Masalah Lebih Kritis
Saat musik keras menyentuh kekerasan seksual
Ini memang bukan kali pertama Arian dan Seringai bicara soal isu perempuan. Mereka pernah menyatakan dukungan terhadap pentingnya ruang aman di pertunjukan musik, terutama ketika kasus-kasus pelecehan mencuat di komunitas seni. Dalam sebuah wawancara, Arian menekankan bahwa konser metal dan punk seharusnya menjadi ruang yang punya “brotherhood, sisterhood” yang saling menjaga dan mencegah pelecehan seksual. Ia bahkan berkata, “Kalau ada yang mencoba pegang, bilang aja: Gue tonjok aja, Bang.”
Dalam lagu Seringai yang berjudul “Citra Natural,” Arian dan kawan-kawan juga sempat mengkritik standar kecantikan yang menekan perempuan. Liriknya terdengar seperti ajakan untuk membebaskan diri dari industri citra yang patriarkal dan kapitalistik. Namun, sebagaimana banyak karya lain yang mendaku berpihak, lagu tersebut tetap berbicara kepada perempuan, bukan bersama mereka. Ia muncul dari luar pengalaman tubuh yang dikomentari, dari ruang yang belum tentu mengerti bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang femisida, atau menavigasi dunia kerja dengan standar ganda antara karier dan domestik.
Suara-suara seperti ini lebih sering muncul sebagai respons terhadap momentum, bukan sebagai inisiatif yang konsisten atau tertanam dalam lirik dan karya. Tapi barangkali, justru karena datang dari tempat yang jarang bersuara soal perempuan, keberanian bicara ini terasa penting walaupun memang tak selalu berarti cukup.
Negatifa—yang terdiri dari Arian 13 (vokal), Dimas Tirta Arwana (bass), Darma Respati (gitar), dan Indrawan Juniarsyah (drum)—merilis mini album perdananya pada 16 Mei 2025. Mereka menandainya dengan lagu “Unity/Ruang Aman,” sebuah manifesto sonik yang membawa tema kekerasan seksual ke ranah musik ekstrem. Di tengah intensitas musikal yang meledak-ledak, pesan ini menjadi semakin tegas. Tapi tentu, bicara soal ruang aman saja tidak cukup, tanpa menyentuh struktur industri musik yang membungkam korban dan melindungi pelaku—terutama di ruang pertunjukan.

Namun dalam dunia yang belum terbiasa mendengar suara perempuan secara serius, terutama di ruang-ruang maskulin seperti skena musik keras, kehadiran suara seperti ini tetap penting. Ia menjadi pintu awal percakapan, bukan kesimpulan. Karena perubahan tidak datang dari satu lagu atau satu band saja. Ia datang dari refleksi yang konsisten, dari kontradiksi yang diakui, dan dari keberanian untuk melampaui lirik ke tindakan nyata.
Seperti yang diajarkan Audre Lorde: “The master’s tools will never dismantle the master’s house.” Alat-alat patriarki tidak akan bisa menghancurkan struktur patriarki itu sendiri. Tapi jika alat itu—dalam hal ini, musik keras maskulin—mulai bergetar karena kesadaran baru, meski masih terbatas, mungkin resonansinya bisa menyentuh lebih banyak ruang. Dan kalaupun belum mampu meruntuhkan sistem, paling tidak ini bisa menjadi retakan awal: sebuah gelombang kecil yang mengguncang dinding tebal patriarki di industri musik.
Baca juga: Representasi Kekerasan Seksual dalam Musik dan Perlawanan Terhadapnya
Mudah-mudahan Negatifa bukan sekadar meminjam isu feminisme agar tampil progresif di tengah pasar yang makin sadar gender. Mudah-mudahan mereka bukan hanya tahu bagaimana bicara tentang perempuan, tapi juga mau belajar bagaimana mendengarkan mereka. Bukan cuma bicara soal korban, tapi juga siap berdiri bersama—kalau perlu, membongkar kekerasan yang masih bercokol di dalam komunitas mereka sendiri.

Karena solidaritas sejati bukan soal siapa yang paling gahar menyuarakan isu sosial di atas panggung, tapi siapa yang tetap berpihak ketika sorotan meredup. Siapa yang berani bicara ketika pelaku kekerasan ada di lingkarannya sendiri, dan siapa yang terus konsisten memperjuangkan ruang aman, bahkan tanpa tepuk tangan.
Baca juga: Riot Grrrl: Ruang Aman Perempuan di Skena Musik
Jika suara Negatifa bisa menggugah kesadaran kolektif di skena yang selama ini nir-empati terhadap isu kekerasan seksual, mari kita beri ruang. Bukan untuk mengagungkan, tapi untuk memantau: apakah suara ini akan terus bergema, atau hanya akan menjadi gema sesaat. Karena dalam perjuangan panjang menuju keadilan gender, yang kita butuhkan bukan hanya keberanian untuk bicara, tapi juga kerendahan hati untuk terus belajar dan mendengarkan.
Foggy FF menulis esai dan fiksi. Pegiat literasi dan sosial yang tinggal di Bandung.
