Pengalaman Transgender Laki-laki Pasca-Operasi
Operasi rekonstruksi dada membuat saya merasakan kebebasan tubuh sepenuhnya sebagai transgender laki-laki.
“Gimana lo bisa enjoy berhubungan seks kalau lo sendiri enggak nyaman sama tubuh lo?” ujar salah satu temanku.
Kalimat tersebut terngiang-ngiang di benak saya selama empat tahun terakhir. Saya termasuk salah satu yang beruntung karena dekat dengan komunitas queer. Salah satunya adalah dapat membicarakan seksualitas tanpa tabu sembari ngopi santai setelah jam kerja.
Identitasku sebagai transpria atau transgender laki-laki memberi sedikit ruang untuk bahkan menjadi diri sendiri dan membicarakan tantangan kehidupan sehari-hari. Sebagai orang yang mengidentifikasi diri dengan gender yang berbeda dengan yang ditentukan saat lahir, kami tidak bisa menghindari isu-isu ketubuhan. Terlebih dengan fakta bahwa kita hidup di masyarakat yang menganut patriarki paket komplit dengan heteronormativitas dan gender biner.
Salah satu isu ketubuhan yang menjadi tantangan utama komunitas trans laki-laki adalah disforia gender, atau kondisi ketidaknyamanan pada tubuh karena perbedaan antara jenis kelamin yang ditentukan saat lahir dan bagaimana ia mengidentifikasi gendernya. Kondisi ini dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya. Namun, tidak semua transgender mengalami disforia gender. Karena itulah tidak semua transgender ingin melakukan transisi medis.
Transisi medis ini pun beragam. Ada yang hanya ingin melakukan terapi hormon, ada yang hanya ingin melakukan rekonstruksi dada, ada pula yang ingin melakukan rekonstruksi genital. Semua kembali pada kenyamanan masing-masing individu. Namun demikian, kami memprioritaskan tindakan yang dapat meningkatkan kualitas hidup kami secara signifikan.
Proses ini memang tidak mudah dan murah. Beberapa dari kami harus bertahan dan bekerja keras hingga tiba saatnya mendapatkan tindakan medis yang kami butuhkan. Tentunya hal ini mempengaruhi kehidupan seksual trans laki-laki.
Baca juga: ‘Passing’ dan Rekonstruksi Patriarki ala Komunitas Trans
Tidak mudah bagi orang-orang yang mengalami disforia gender ketika harus berhubungan seks karena ada bagian tubuh yang membuat kami merasa tidak nyaman bila disentuh oleh pasangan seks kami, baik sengaja ataupun tidak. Sejujurnya, kami ingin bagian tersebut tidak ada sama sekali! Misalnya, bagi seseorang yang memiliki disforia dada atau tidak nyaman dengan payudaranya, mereka memilih tetap menggunakan chest binder atau pembebat dada ketika berhubungan seks. Ada juga yang mengalami disforia genital dan tidak menginginkan alat kelaminnya disentuh. Batasan-batasan ini harus dikomunikasikan sebelum berhubungan seks. Menjadi seorang transgender yang aktif secara seksual memang menantang. Kami harus menjelaskan banyak hal pada seseorang sebelum melakukan hubungan seks.
Disforia dada
Sebelum melakukan operasi rekonstruksi dada pada awal 2019, saya sangat tidak nyaman dengan dada saya. Karenanya, postur tubuh saya cenderung bungkuk. Saya selalu menggunakan pembebat dada ketika keluar rumah, bahkan saat berhubungan seks. Kondisi ini adalah tantangan bagi saya yang aktif secara seksual, terutama karena saya tertarik kepada perempuan.
Setelah melewati masa pemulihan pasca operasi, saya berhubungan seks dengan perempuan cisgender. Ini adalah pengalaman pertama saya melakukan aktivitas seksual dengan tubuh yang baru. Tubuh yang saya inginkan. Partner seks saya pun mengetahui bahwa saya adalah seorang trans laki-laki.
Untuk pertama kalinya saya bisa nyaman bertelanjang dada tanpa ketakutan akan disentuh. Saya merasa tidak ada lagi yang harus ditutupi, sehingga kondisi ini meningkatkan kepuasan dalam berhubungan seksual. Saya pun sadar bahwa ternyata sebelumnya saya tidak pernah benar-benar menikmati hubungan seks karena saya tidak pernah membebaskan tubuh saya sebelumnya. Hari itu saya lebih banyak mengeksplorasi tubuh saya yang baru.
Baca juga: Berpeci dan Sarung atau Pakai Mukena: Dilema Transgender dalam Beribadah
Mungkin sebagian trans laki-laki tidak merasakan yang saya alami. Mereka tetap nyaman dengan dada mereka, bahkan tanpa harus melakukan operasi rekonstruksi. Namun, ada juga yang tidak ingin bekas luka pasca operasi di dadanya terlihat. Awalnya, saya pun takut memiliki luka itu. Namun dada yang tadinya adalah bagian tubuh yang paling saya takuti, saat ini menjadi bagian yang paling saya cintai. Luka itu bagi saya adalah wujud pembebasan.
Tapi menjalani operasi rekonstruksi dada bukanlah tanpa risiko. Risiko yang paling banyak terjadi adalah hilangnya sensasi pada bagian sensitif di dada, terutama puting. Belum lagi jika ternyata hasil operasi tersebut tidak sesuai yang diharapkan. Saya pun sudah memahami dan menyadari risiko ini. Faktanya, saya tidak kehilangan sensasi apa pun pada dada saya. Sebuah hal yang patut disyukuri.
Selama ini, mungkin saya tidak terlalu mengalami disforia genital. Karena salah satu efek terapi hormon adalah membuat klitoris tumbuh menjadi mikropenis. Mikropenis ini memungkinkan beberapa dari kami untuk melakukan penetrasi vaginal sehingga rekonstruksi genital tidak menjadi prioritas utama dalam transisi medis saya.
Di masa yang akan datang, kami berharap akan tersedia kondom untuk mikropenis agar kami dapat berhubungan seks dengan aman dari risiko HIV dan infeksi menular seksual lainnya. Bagi trans laki-laki yang melakukan seks vaginal, saya sangat mendukung kawan-kawan untuk melakukan USG dan pap smear. Menjaga kesehatan seksual juga merupakan tanggung jawab kita sebagai manusia.
Hari itu saya merasakan kebebasan tubuh sepenuhnya. Meskipun demikian, saya tetap menghargai batasan yang diterapkan oleh partner seks saya. Karena trans laki-laki juga harus berhati-hati agar tidak melakukan kekerasan seksual. Hidup sebagai trans laki-laki membuat saya menghargai tubuh dan segala perjalanan yang dilaluinya. Sebab kehadiran trans laki-laki berfungsi untuk mendekonstruksi patriarki, bukan untuk melanggengkannya.