Korean Wave

BTS dan Bagaimana Idola Membantu Kesehatan Mental

BTS dikagumi juga karena mereka vokal menyuarakan isu kesehatan mental.

Avatar
  • September 16, 2020
  • 10 min read
  • 1779 Views
BTS dan Bagaimana Idola Membantu Kesehatan Mental

Grup idola asal Korea Selatan, BTS (Bangtan Sonyeondan/Bulletproof Boy Scouts) identik dengan prestasi, penghargaan musik serta pesan sosial-politik dalam lirik lagunya. Belum lama ini, mereka juga kembali menerima penghargaan dari perhelatan musik MTV Video Music Award (VMA) dalam kategori Best Pop Video, Best K-Pop, Best Group, dan Best Choreography. Meskipun begitu, bagi saya, ada satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari ketujuh pemuda tersebut, yaitu bagaimana mereka vokal menyuarakan isu kesehatan mental.

Ketika saya menginjak usia 20 tahun pada 2016 lalu, itu menjadi tahun terburuk bagi saya. Tahun itu saya tidak merasa seperti diri sendiri, berfungsi layaknya teman-teman sebaya, dan selalu dihampiri pikiran intrusif. Perlahan-lahan saya melepaskan diri dari lingkungan sosial, tidak berkomunikasi dengan keluarga, dan secara bersamaan membuat indeks prestasi kumulatif (IPK) terjun payung dengan drastis.

 

 

Tapi di tahun itu pula saya tanpa sengaja menemukan lagu “The Last” dari album Agust D, proyek solo personel BTS, Suga (nama aslinya Min Yoongi).

Dalam lagu itu, Suga atau Agust D menyampaikan emosi mentah tentang kerapuhan, Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD), dan depresi yang dialaminya. Sebagai pendengar, saya merasakan kedekatan dengan lagu itu, meskipun saya bukan penggemar BTS atau biasa disebut ARMY. Lagu tersebut kemudian menjadi satu dari banyak alasan yang mendorong saya mencari bantuan. Prosesnya memang tidak terjadi dalam semalam, dan butuh banyak waktu untuk mengumpulkan keberanian berkonsultasi dengan pihak profesional. Namun, bisa dibilang lagu itu menjadi salah satu faktor utama yang mendorong dalam proses refleksi diri dan memahami emosi yang saya rasakan.

Itu bukan kali terakhir rapper dan produser berusia 27 tahun tersebut berbicara tentang kesehatan mental. Dalam wawancara dengan E .Alex Jung dari Billboard pada 2018, Suga menyampaikan bahwa semua orang merasa kesepian dan sedih, lalu jika kita sadar akan hal itu, akan tercipta sebuah lingkungan untuk mencari bantuan dan menyampaikan kegelisahan dengan mudah.  Suga juga merekomendasikan buku About Grief: Insights, Setbacks, Grace Notes, Taboos dari penulis Ron Marasco dan Brian Shuff, yang menjelaskan tentang rasa duka dan isu yang dihadapi ketika seseorang tengah berkabung.

Suga/Agust D
Suga alias Agust D

 

Quarter life crisis

Saya tidak sendiri. Kedekatan dengan Suga yang tidak takut menyuarakan isu kesehatan mental dan keraguannya juga dirasakan Marsha Imaniara, seorang ARMY.

“Yang membuat relate dengan Yoongi (Suga) adalah tahu pergulatannya secara finansial, karena saya datang dari latar yang tidak terlalu mapan, tapi kami bekerja keras dan bisa sampai di level (kami) sekarang. Juga soal struggling dengan isu kesehatan mental, depresi, dan keraguan-keraguan,” ujarnya pada Magdalene.

Baca juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?

“Selain itu, bagaimana dia bisa mengubah itu menjadi kekuatan untuk dirinya sendiri. Saya harap saya bisa seperti itu, sekuat dirinya dan mengubah itu menjadi sesuatu yang positif untuk diri saya dan orang lain,” ia menambahkan.

Marsha bercerita pada tahun 2015-2016 ia mengalami quarter life crisis atau krisis seperempat baya, di mana seseorang yang berada di pertengahan usia 20 tahun merasa terjebak dan mempertanyakan tujuan, rencana hidup, hingga hubungan personal. Kala itu ia merasa kesepian, sulit menceritakannya dengan orang lain, dan secara bersamaan tidak ingin orang lain tahu akan hal itu. Ia kemudian mecari tahu soal BTS setelah diberitahu oleh seorang teman, lalu menemukan kedekatan dari musiknya dan membantunya merasa tidak terlalu kesepian.

“Lagu-lagu mereka yang awal, “Run”, “Save Me”, dan “I Need U” temanya berhubungan dengan kebingungan anak muda dalam menavigasi kehidupan. Saya merasa relate dengan keraguan yang mereka alami dan tantangan lain,” ujar Marsha.

“Tidak cuma di lagu, tapi mereka juga relatable di kehidupan nyata,” kata Marsha yang saat ini menjabat sebagai Acting General Manager untuk konsultan kehumasan Maverick Indonesia.

Namun, lagu yang paling cocok dengannya adalah “Whalien 52” yang berkisah tentang paus paling kesepian di dunia karena memiliki frekuensi getaran suara yang berbeda dari paus lainnya, sehingga tidak ada yang pernah mendengarkan nyanyiannya.

“Saya sudah tahu cerita itu sebelum mengenal BTS. Sejak awal sudah merasa terhubung karena kadang saya merasa disalahpahami atau tidak ada yang bisa mengerti saya. Atau jika saya cerita mereka tidak akan paham juga,” ujar Marsha.

“Cerita paus itu menyampaikan perasaan yang sama. Eh, tiba-tiba BTS membawa lagu yang sama. Jadi merasa satu frekuensi. Mereka merangkai semua perasaan dan keraguan ini menjadi kata-kata yang tidak bisa saya rangkai sebelumnya,” katanya.

BTS Unicef
BTS setelah memberikan pidato di PBB.

 

Tidak kesepian

Bagi Marsha, ketika sosok terkenal seperti BTS merasakan hal yang sama, dirinya merasa tidak terlalu kesepian. Jika BTS merasa seperti itu, maka ada orang lain di luar sana yang juga mengalami hal yang sama. Cara pandang itu pun membantunya untuk lebih terbuka.

Refleksi diri melalui musik BTS juga dirasakan oleh “Ana”, melalui nomor solo dari Kim Seokjin (Jin), “Epiphany” yang menekankan bahwa hal terpenting adalah untuk mencintai diri sendiri. Ana menjelaskan bahwa ia memiliki isu terlalu keras pada diri sendiri sehingga tidak bisa menghargai apa pun yang ia capai.

Baca juga: BTS dan ARMY: Bongkar Hegemoni Industri Musik Hingga Stereotip ‘Fangirl’ Obsesif

“Ternyata tidak ada bagusnya hal itu. Kalau saya melihat diri saya dari luar, saya akan mengatakan, ‘Sudah sih, you have achieved a lot.’ Semua tingkah laku selalu kurang dan ada yang salah. Selain itu terjebak di imposter syndrome juga,” ujarnya kepada Magdalene.

“Mendengarkan ‘Epiphany’ seperti ditampar. Kita tidak bisa sayang dengan orang lain tanpa menyayangi diri sendiri. Saya sudah mendengarnya berulang kali dari banyak sumber yang berbeda, tetapi dengan ‘Epiphanyfeel-nya pas. Lagi ini mendorong kita untuk belajar mencintai dan menerima diri sendiri,” jelasnya.

Ana adalah seorang ARMY yang bekerja sebagai pegawai negeri dengan tuntutan pekerjaan sangat tinggi. Sekitar tahun 2013, ia menyadari dirinya mengalami gangguan kecemasan dan depresi.

“Waktu itu sempat depresi parah sampai tidak bisa melakukan apa pun. Tidak bisa berfungsi sampai sekitar dua tahun. Sempat mencari bantuan profesional kesehatan, tetapi pengalamannya tidak bagus dan menjadi trauma. Lalu menemukan cara bertahan dengan lari,” ujarnya.

Ana mengakui dirinya bukan sosok yang atletik, lalu olahraga lari digunakan sebagai cara untuk menyalurkan emosi dan pengobatan diri. Ia mendapat kawan-kawan baru dari kegiatan olahraga itu,  tapi ia tidak paham bahwa lari bisa membuatnya sebagai pecandu endorfin. Hormon pembuat bahagia yang dihasilkan dari aktivitas itu hanya berlangsung selama satu-dua jam, sehingga ketika hilang, Ana akan kembali berlari.

Fast forward tahun 2017 saya pindah ke luar negeri yang cukup jauh dari Indonesia. Saya sudah cukup tahu bagaimana cara menghadapi episode-episode (depresi) saya. BTS pun menjadi seperti teman lama, yang tidak pernah saya punya. Mereka apa adanya banget. Jadi nonton episode RUN BTS serasa ada di antara teman,” ujarnya, mengacu pada reality show bintang K-pop tersebut.

Lagu-lagu mereka seperti “Run”, “Save Me”, dan “I Need U” temanya berhubungan dengan kebingungan dan tantangan anak muda dalam menavigasi kehidupan.

BTS yang memiliki platform besar dan menggunakannya untuk berbicara tentang isu kesehatan mental menjadi sangat penting untuk membawa pesan positif. Untuk Ana, BTS yang membawa isu kesehatan mental membuat mereka sangat mudah diterima masyarakat dengan berbagai latar belakang, usia, dan kebangsaan. Lagu-lagu yang dirilis BTS bertema kegelisahan anak muda di Korea Selatan, tetapi bisa beresonansi dengan banyak orang di dunia.

“Menurutku, menjadi sangat penting mereka berbicara tentang kesehatan mental. Tentang menjadi manusia, karena itu suatu proses yang tidak ada hentinya. Manusia itu terus berubah, hanya karena kamu berusia 30 atau 40 tahun, tidak berarti kamu sudah mengenal diri kamu. Lalu ketika sudah mengenal dan menerima diri sendiri apakah kamu berhenti menjadi lebih baik? Tidak juga,” jelas Ana.

“Saya memiliki teman-teman ARMY yang usianya 30 tahun lebih, mereka belajar tentang kesehatan mental dan diri mereka sendiri dari BTS. Mereka tahu apa mereka mengalami sesuatu, tetapi tidak tahu apa itu. ARMY (yang berusia di atas 30 tahun) ini mendorong anak-anak mengenal BTS karena melihat mereka sebagai hal yang baik,” tambahnya.

Marsha juga mengingatkan jika ada sosok musisi lain yang tidak menggunakan wadahnya untuk hal positif, tidak menjadi alasan untuk menjatuhkannya.

“Butuh keberanian untuk bisa vokal atas keprihatinan atau hal-hal yang memang menjadi kelemahan. Kita tidak bisa memaksa seseorang untuk bicara, tapi kita bisa mengingatkan mereka,” ujarnya.

Hubungan parasosial

Ada istilah parasocial relationship atau parasosial ketika berbicara tentang hubungan antara penggemar dan idola mereka, yakni ketika seorang penggemar memiliki ikatan dengan sosok idola yang disukainya. Sedangkan jika seseorang merasa sedang berinteraksi dengan sosok selebriti tersebut adalah interaksi parasosial. Hubungan ini pun dapat menjadi hal yang positif dan negatif. Dalam konteks ikut menjadi dorongan baik terkait kesehatan mental, hal ini dapat digolongkan sebagai hubungan yang positif.

Untuk Ana, BTS datang ketika sedang berada dalam masa kesepian, depresi, tidak punya teman, dan hidup yang stagnan. Lalu seorang teman lama memperkenalkan BTS, teman tersebut kemudian menjadi sosok teman dekat.

“Mungkin itu juga yang membuat aku mau mengenal BTS. Selain cocok dengan kontennya, saya membutuhkan teman. Jadinya orang ini adalah salah satu teman dekat. Tetapi ketika tinggal di luar negeri pada 2017-2020, saat itu juga membutuhkan BTS karena jauh dari teman dekat dan keluarga. Mereka yang menemani hari-hariku,” ujarnya.

Sedangkan untuk Marsha, selain membantu dalam masa krisis seperempat baya, BTS juga menjadi salah satu pendorong menghancurkan ekspektasi mengekang yang diberikan padanya. Marsha mengatakan selalu ada kebutuhan untuk tampil sempurna yang sesuai dengan citranya di kepala orang, yaitu sosok serius, pintar, dan pemahaman buku teks tentang anak perempuan yang baik. Dirinya yang menyukai BTS pun menjadi pemantik untuk meruntuhkan label tersebut.

Baca juga: Belajar Mencintai Diri Sendiri Lewat Lagu-lagu ITZY

“Sebagai bentuk perlawanan, saya mengakui bahwa saya suka BTS dan K-Pop. Itu tidak membuat saya dangkal dan tetap Marsha yang biasanya. Keharusan merasa sempurna itu membuat saya takut terlihat bodoh di depan publik. Banyak hal yang ingin saya coba, misalnya dance. Setelah mengenal BTS dan orang tahu saya suka K-Pop, saya tetap hidup. Saya menjadi berani ikut kelas dance bahkan mempublikasikan videonya,” ujarnya.

Marsha juga berpendapat sosok BTS bisa dinilai sebagai sosok yang diandalkan dalam konteks personal, dengan selalu ada untuk penggemar dan menyemangati melalui konten yang mereka rilis. Sedangkan dalam konteks individu, BTS menjadi sosok yang diandalkan dari integritas yang dimilikinya.

“Misalnya, saat melihat sesuatu yang tidak disetujui, mereka akan menyuarakan posisinya. Atau berbuat kesalahan dan menyinggung orang, mereka akan mengakui kesalahan itu dan terbuka dengan proses bertumbuh mereka,” ujarnya.

Ana mengatakan, kita harus berhati-hati dengan konsep mengandalkan seseorang karena memiliki definisi bergantung pada sosok idola. Karenanya, ujarnya, perlu dipahami bahwa mereka juga manusia.

“Mereka mungkin suatu saat akan melakukan kesalahan and it’s okay. Jadi ada sisi dalam diri saya yang mengandalkan BTS dalam konten mereka, sedangkan as a person cukup berhati-hati. Mengingatkan diri saya bahwa mereka hanya manusia yang akan berbuat kesalahan dan belajar,” kata Ana.

Marsha mengingatkan bahwa jika kita menganggap BTS sebagai teman, jangan sampai kita menutup diri dari interaksi sosial lainnya. Namun, gunakan hubungan bersama BTS dengan kadar secukupnya.

“Gunakan apa yang kamu pelajari dari BTS sebagai sesuatu yang mampu membantumu di kehidupan nyata. Jangan sampai menjadikan real life is all about BTS. Use all the positive thing you got from BTS to help you with your own real life. Misalnya, bagaimana membuat teman sesama ARMY atau membantu dengan emosi dan isu kesehatan mental,” ujarnya.

Marsha berpesan kepada sesama ARMY untuk tetap mendapat kebahagiaan dari BTS dan mendapatkan dorongan keberanian untuk mencari pertolongan. Memiliki sosok yang mampu memberi pengaruh positif menjadi sangat penting. Seorang pautan baik yang bisa merupakan sosok siapa pun dan berkontribusi positif. Sedangkan untuk BTS, ia ingin mereka tidak lupa menjaga kesehatan mental dan menjaga diri agar bisa menjadi contoh yang positif.



#waveforequality


Avatar
About Author

Tabayyun Pasinringi

Tabayyun Pasinringi adalah penggemar fanfiction dan bermimpi mengadopsi 16 kucing dan merajut baju hangat untuk mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *