‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?
‘Quarter life crisis’ memang membuat bingung, jadi tarik nafas dan peluk diri sendiri
Bagi sebagian besar orang, hari demi hari dilewati dengan kebingungan. Dari bingung hari ini mau makan siang apa, sampai bingung karena tenggat kok tidak ada habisnya. Mereka yang baru lulus kuliah mungkin sedang bingung karena lamaran kerja belum ada yang dibalas. Bagi yang sudah bertahun-tahun bekerja, menjalani rutinitas mulai terasa hampa. Bahkan Eyang Putri pun bingung kue lebaran apa yang harus dibuat tahun depan karena cucunya mulai bosan dengan nastar. Memang, kebingungan tidak kenal umur.
Beberapa orang mungkin pernah menangis karena kebingungan. Sebagai manusia yang hidup di zaman serba cepat, ketidakpastian menjadi hal yang sangat menyiksa. Kita menuntut semuanya harus sesuai rencana sehingga ketidaktahuan akan masa depan terasa seperti sebuah kelemahan. Padahal, mungkin di langit Tuhan sedang tertawa. “Hahaha, belum tahu aja dia.”
Menjalani hidup secara perlahan
Di zaman yang serba cepat, hidup perlahan adalah sebuah konsep yang sulit dicari di dalam kamus. Terbiasa dengan segalanya yang instan, kita menuntut semuanya untuk berlari sama cepatnya. Alhasil, sebagian besar dari kita sering kali iri melihat ritme hidup orang lain.
Ada teman yang sudah kerja di perusahaan multinasional, sering kali dapat pujian dari atasannya. Yang satu lagi tahun lalu liburan ke Amerika, tahun ini ke Eropa. Teman yang dulu sering makan bersama, sekarang sudah mantap melanjutkan S2 di luar negeri dengan beasiswa. Kok saya masih begini-begini saja, ya? Dibanjiri dengan keberhasilan orang lain membuat diri merasa hampa dan bertanya-tanya, “Kapan giliran saya?” Pada akhirnya, hidup terasa tidak tenang karena selalu merasa kurang.
Baca juga: 5 Tips Mencari Tahu Potensi Diri
Di tengah ketakutan akan masa depan, saya beruntung bertemu dengan tulisan pakar mindfulness Adjie Santosoputro berjudul “Kalau Kamu Selalu Khawatir”. “Yang sebenarnya bikin kamu khawatir adalah karena pikiranmu penuh dengan masa depan. Maka, sadarilah itu dan latihlah pikiranmu untuk lebih berada di saat ini, di sini-kini.”
Kenapa kita tidak mencoba untuk lebih menghidupi setiap langkah? Living in the moment, bahasa kerennya. Menurut Adjie, ketika sedang makan, cobalah untuk menikmati apa yang ada di piringmu. Nikmatnya rendang akan mudah terlewatkan jika yang dipikirkan saat makan adalah kapan naik jabatan. Ketika sedang berjalan, sadari langkah kaki yang membawamu berpindah. Sedang nongkrong dengan teman, tepis dulu pikiran tentang tenggat esok hari. Hiduplah perlahan, karena ketika waktumu habis, kamu tak akan menyadarinya.
Menangislah ketika merasa lelah, karena cuma kita yang tahu apa yang dirasa. Lagi pula, hidup ini bukan kompetisi siapa yang paling menderita.
Jika menurutmu perjuangan orang lain lebih berat, bukan berarti perjuanganmu tidak ada artinya.
Ketika pulang dari kantor yang ber-AC, saya melihat sebuah twit yang mengajak saya untuk bersyukur. Isinya sebuah foto pengemudi ojek perempuan difabel dengan kursi roda yang sedang mengantarkan makanan ke pelanggan. Di hari yang sama, saya melakukan kesalahan besar di kantor. Kesalahan yang cukup fatal dan berhasil membuat saya menangis di kamar mandi. Berusaha menghibur diri, saya pun mencoba untuk mengingat twit tersebut dan berpikir, “Ah kantor masih AC. Digaji tiap bulan tepat waktu. Sepertinya perjuangan saya tidak ada apa-apanya.” Namun, apakah kita tidak boleh mengeluh karena terlihat lebih beruntung?
Setiap orang punya perjuangan masing-masing. Kesandung batu, tertabrak mobil. Sakit kepala, sakit kanker. Dimarahi bos, dipecat. Meskipun beberapa perjuangan terlihat lebih sederhana, bukan berarti perjuangan itu lebih ringan. Menangislah ketika merasa lelah, karena cuma kita sendiri yang tahu apa yang dirasa. Lagi pula, hidup ini bukan kompetisi siapa yang paling menderita.
Menghargai pilihan hidup orang lain
Banyak yang menganggap hidup ideal adalah cepat dapat kerja kantoran di perusahaan besar, punya pasangan yang direstui orang tua, melanjutkan studi magister dengan beasiswa, dan menikah sebelum umur menginjak 28 tahun. Harus punya rumah, mobil, dan anak. Lebih baik lagi punya tabungan dan investasi yang cukup untuk hari tua.
Kenyataannya, ada yang memutuskan untuk menjadi pekerja lepas. Ada yang tidak menikah karena merasa hidup lajang lebih bebas. Ada yang mengeluh karena harus studi magister. Ada yang lebih memilih liburan daripada investasi. Menurutnya, bersantai di pantai lebih menyenangkan daripada memantau naik turunnya pasar modal.
Ada berbagai macam keputusan dan berbagai macam orang. Jalan hidup yang berbeda, meskipun mungkin kita sama tidak tahunya. Memang benar tidak semua orang perlu didengarkan.
Baca juga: 6 Hal yang Perlu Diperhatikan ‘Freelancer’ Baru
Tidak semua harus ada jawabannya sekarang
Bagi yang sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari jawaban dari beribu pertanyaan, kamu tidak sendirian.
“Hidup untuk apa?”
“Kerja sampai malem, apa sih yang dicari?”
“Sudah mati-matian usaha, kok gini-gini aja ya?”
Kalau kata ahli, bahasa kerennya quarter-life crisis. Pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, tapi mencari jawabannya lebih sulit dari yang dibayangkan.
What if we put it this way, jawaban pencarian kita ada di mana-mana. Ada di berbagai orang, berbagai tempat, berbagai pengalaman. The little pieces of you are everywhere. Pergi ke tempat A, bertemu hobi yang ternyata disuka. Ketemu B, dapat pelajaran yang selama ini dicari. Dimarahi C, minimal sekarang tahu yang benar itu begini. Every little thing that happens to you, makes you who you are now.
It’s okay to take time. We go through life slowly but surely collecting these little pieces of ourselves that we can’t really live without until we eventually have enough of them to feel whole. (This is Us, 2018)
Tarik nafas dan peluk diri sendiri. Kita akan baik-baik saja. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti akan ada waktunya.