‘Penyalin Cahaya’ Soroti Sulitnya Korban Kekerasan Seksual Cari Keadilan
Film ‘Penyalin Cahaya’ menyoroti kesulitan korban kekerasan seksual dalam mencari keadilan, namun kekurangan perspektif dan lensa korban dalam penggarapannya.
Artikel ini mengandung ‘spoiler’
Saat layar ponsel mulai gelap dan nama aktor serta kru Penyalin Cahaya bergulir, ada rasa pahit yang tertinggal karena keberhasilan film besutan sutradara Wregas Bhanuteja itu dalam menyoroti kesulitan korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan.
Film ini berfokus pada Suryani (Shenina Cinnamon), mahasiswa cerdas yang bermimpi menjadi perancang web sukses. Untuk mencapai mimpinya sekaligus menjadi tumpuan harapan keluarga dalam memperbaiki kondisi ekonomi, Suryani atau Sur bergantung pada beasiswa untuk dapat terus kuliah.
Sayangnya, beasiswa itu hilang setelah foto-fotonya saat sedang mabuk dalam sebuah pesta grup teater Mata Hari, tempat Sur menjadi desainer laman, terunggah di media sosial. Beasiswa lenyap atas tuduhan tidak berperilaku baik, ia pun diusir dari rumah.
Sur tidak tinggal diam, karena ia merasa menjadi korban perpeloncoan yang dibalut sebagai malam keakraban. Dia juga ingin membuktikan bahwa dirinya masih berhak menerima beasiswa tersebut. Namun, di tengah penelusurannya mencari kebenaran, Sur menemukan bahwa di malam selebrasi kemenangan grup teater itu, dia menjadi korban pelecehan seksual.
Baca juga: Kata Siapa Perempuan Selalu Benar: Kacamata ‘Male Gaze’ dalam Film ‘Selesai’
Film ’Penyalin Cahaya’ tentang Kekerasan Seksual
Upaya pembuktian dan pencarian keadilan oleh Sur bukan perkara mudah. Di sinilah poin kritis dari film yang memborong 12 Piala Citra itu. Bahwa universitas yang seharusnya melindungi siswa korban kekerasan gagal dalam berpihak pada korban. Alasannya pun tidak lepas dari lagu lama menjaga nama baik kampus dan Sur yang mampu merusak nama seseorang dengan kekuasaan besar di universitas.
Kesulitan bertambah karena ayahnya sendiri (Lukman Sardi) mengecap dia bukan anak perempuan “baik-baik”. Hal itu menyoroti lapisan lain dalam film, bahwa keluarganya kental dengan budaya patriarki, yang terutama ditunjukkan dengan sikap otoriter sang ayah dan posisi dominannya dalam keluarga. Ia juga lebih memilih menyalahkan seseorang hanya karena dia perempuan, daripada mendengarkan pendapat korban yang butuh untuk didukung.
Jika melihat dua aspek tersebut ada satu hal yang menyatukan dan ditunjukkan secara gamblang dalam film ini. Bahwa kasus kekerasan seksual sulit diselesaikan akibat isu sistemis relasi kuasa dan budaya patriarki. Hal itu juga yang menjadi cerminan nyata di Indonesia yang sulit menyelesaikan kasus kekerasan terlebih berpihak pada korban.
Melihat hal tersebut, Penyalin Cahaya menjadi semacam karya sinema yang dibutuhkan untuk menyindir minimnya dukungan dan kekosongan hukum yang mampu melindungi korban. Terlebih di tengah terungkapnya berbagai kasus kekerasan di ranah pendidikan dan ramainya penolakan untuk Permendikbud Ristek yang menggaungkan anti kekerasan di ranah kampus.
Baca juga: ‘Cinta Bete’: Sorot Kekerasan, tapi Terjebak Tokenisme Orang Timur
Adegan film Penyalin Cahaya yang Glorifikasi Pelaku
Sayangnya, ada kekurangan dalam upaya film ini menyoroti bobroknya masyarakat dalam berpihak pada korban. Perspektif korban terasa kurang bukan hanya karena dipengaruhi minimnya perempuan pengambil keputusan di ruang produksi, namun juga lewat adegan yang terasa eksploitatif dan mengglorifikasi pelaku.
Saat Suryani dan penyintas lainnya menemukan “titik terang” agar pelaku bisa dibuktikan bersalah, si pelaku datang bagaikan “penjahat terakhir” tidak terkalahkan. Adegan yang sengaja dibuat artistik dengan monolog tentang Medusa dari si pelaku menekankan tentang kemenangannya membungkam penyintas.
Alih-alih menunjukkan isu tentang relasi kuasa, adegan itu terlihat eksploitatif dan membesarkan kekuatan pelaku karena dia diposisikan sebagai entitas tidak terkalahkan. Belum lagi adegan itu dibuat berpanjang-panjang, semacam memberikan validasi bahwa bagaimanapun pelaku tetap sosok yang tidak bisa dihancurkan. Adegan itu tidak hanya mengglorifikasi pelaku, tapi juga mampu memicu trauma bagi penyintas.
Kita bisa membandingkannya dengan Georgia, film pendek asal Korea Selatan yang juga tentang pencarian keadilan dalam kasus kekerasan seksual. Pelaku ditunjukkan memiliki kekuasaan dan kebal hukum bukan dari satu adegan khusus yang panjang, tapi lewat narasi dan dialog yang disampaikan secara tipis-tipis bahwa ada bystanders atau orang-orang yang diam saja ketika peristiwa kekerasan seksual terjadi. Dan penggambaran ini terasa lebih dahsyat efeknya.
Baca juga: ‘Balada Sepasang Kekasih Gila’, Potret ODGJ di Tengah Stigma
Trauma Porn
Akting dari para pemeran Penyalin Cahaya apik dan natural. Sayangnya, penokohan Suryani terjebak dalam identitasnya sebagai korban dari budaya patriarki yang struktural. Karenanya, karakter Suryani kurang memperlihatkan kedalaman secara emosional dan psikis, sesuatu yang sangat krusial dalam isu kekerasan seksual.
Penyalin Cahaya memang film yang lebih dijalankan oleh plot atau plot driven, bukan berputar pada penokohan dan cerita tentang karakter utamanya, walaupun cerita berpusat dengan Suryani. Formula itu senada dengan Searching (2018) tentang seorang ayah yang mencari putrinya yang mendadak menghilang.
Meski demikian, Searching memberikan sedikit demi sedikit pendalaman tentang siapa korban dan ayahnya, bukan hanya dua karakter yang menerima kemalangan. Suryani yang kurang digali identitasnya dan berpusat pada nestapa berkali lipat menjadi perempuan menjadikan Penyalin Cahaya semacam trauma porn, menumpuk berbagai pengalaman traumatis untuk mendapatkan autentisitas cerita. Film pun kembali pada titik kurangnya perspektif korban untuk film tentang mendapatkan keadilan.