Feminism A to Z Issues

Feminisme Interseksional Setelah Perjuangan Kemerdekaan

Tugas feminis adalah membongkar imaji maskulin terhadap perjuangan kemerdekaan.

Avatar
  • August 22, 2019
  • 5 min read
  • 1664 Views
Feminisme Interseksional Setelah Perjuangan Kemerdekaan

Tulisan ini sengaja dibuat setelah gempita peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2019 lalu karena apa yang kita lakukan setelah revolusi kemerdekaan? Jika kemerdekaan bangsa sudah tercapai kemudian apa lagi? Apa yang kita bisa lakukan untuk mengisi kemerdekaan?

Penulis dan aktivis dari Amerika Serikat, Maya Angelou mengatakan, “The truth is, no one of us can be free until everybody is free.” Maka semangat kemerdekaan bagi kita, perempuan dan gender non-maskulin lainnya adalah membantu kemerdekaan setiap orang yang berada di bumi Indonesia. Untuk itu, feminisme interseksional menjadi mungkin. Di tengah beragamnya penduduk dan kebutuhan, yang harus kita lakukan untuk mengisi semangat kemerdekaan adalah dengan memerdekakan orang lain sampai seluruh manusia bisa menjadi bebas. Semangat kemerdekaan harus mengakui perbedaan dan melihat warga negara dengan segala keragamannya, termasuk warna kulit dan kemampuan (disabilitas).

 

 

Namun yang terjadi dalam setiap perayaan kemerdekaan Indonesia pasca-Orde Baru adalah semangat patriotisme militeristis yang mengedepankan ritual seperti mengibarkan bendera. Bendera hanya simbol negara, tapi kaki-kaki yang mengantarkan bendera menuju tiangnya adalah kenyataan. Perempuan anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang kostumnya diperdebatkan adalah bagian dari individu-individu yang harus dimerdekakan.

Sejarah Indonesia pada awalnya melibatkan semua pihak; kelompok perempuan, orang-orang komunis-sosialis, dan kelompok muslim yang menginginkan negara Islam. Semua berubah ketika perang dingin dan militer di bawah komando Soeharto membabat habis sejarah gerakan kiri (termasuk gerakan perempuan) dan menggantinya dengan pembingkaian militer. Hal ini dikemukakan sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Perspektif Baru Sejarah Indonesia (2010).

Baca juga: 20 Tahun Reformasi dan Narasi Gerakan Perempuan

Penggeseran historiografi ini mengubah semangat kemerdekaan dari pembebasan untuk semua kalangan menjadi nasionalisme sentris yang terpeleset menjadi ultranasionalisme. Ultranasionalisme adalah racun bagi gerakan kemerdekaan bangsa yang interseksional, karena paham ini menjadi landasan untuk membasmi minoritas seksual, memberi label separatis bagi kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), melanggengkan kolonialisme di tanah Papua, mengabaikan hak asasi manusia, dan menggunakan kekerasan untuk mencapai kepentingan.

Cara paling sederhana untuk mencegah ultranasionalisme ini adalah dengan menafsirkan ulang sejarah dan melibatkan pihak-pihak yang selama ini sengaja dihapus perannya. Di sisi lain, gerakan aktivisme masyarakat sipil penting untuk terus dilakukan karena sejarah adalah sebuah proses timbal balik dan selalu berubah-ubah tergantung konteks masyarakat hari ini.

Bagaimana masyarakat mengelu-elukan perang sebagai medium perolehan kemerdekaan adalah hasil dari perubahan historiografi setelah 1970 ketika Orde Baru membuat proyek penulisan sejarah nasional. Kala itu, perspektif militer dijadikan bingkai dalam sejarah nasional, sehingga yang tersisa dalam imajinasi kita mengenai pahlawan adalah pejuang dan veteran laki-laki yang berada dalam laskar, menembak musuh tepat di garis depan. Tugas feminis adalah membongkar imaji maskulin terhadap perjuangan kemerdekaan.

Kita harus berhenti menjadikan militer sebagai tonggak kemerdekaan karena baik proklamasi 17 Agustus 1945 dan pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada Desember 1949 tidak didapatkan melalui peperangan. Kenyataan yang tidak diberitahu oleh buku sejarah adalah Indonesia, sebagai sebuah bangsa, tidak pernah memenangkan pertempuran apa pun.

Feminis interseksional memberikan analisis dan ruang bagi kelompok-kelompok yang selama ini tidak terlibat dalam sejarah Indonesia untuk bersuara.

Pedih memang kenyataannya, tapi Pertempuran 10 November di Surabaya, yang selalu dielu-elukan sebagai bahan propaganda dan romantisasi sejarah militer, tidak pernah benar-benar dimenangkan Indonesia. Karena tidak mungkin bambu runcing bisa mengalahkan senjata yang bisa membunuh secara cepat, tepat, dan efektif.

Perang diromantisasi supaya orang-orang yang telah kehilangan bisa memaafkan dirinya dan supaya banyak anak muda yang mau mengorbankan diri untuk mati konyol. Militer dan polisi, mereka semua adalah sekedar alat kelengkapan. Kalau mereka mati karena tugas, kematian mereka sama berharganya dengan kematian buruh di lubang tambang. Romantisme kemenangan bangsa Indonesia dalam peperangan adalah murni propaganda militer untuk menciptakan nasionalisme yang sentris.

Indonesia sebagai bangsa dibangun melalui pendidikan dan kesadaran, bukan melalui kekerasan. Kekerasan justru dilakukan oleh kolonial yang hendak membungkam dan menghentikan perlawanan yang muncul akibat kesadaran. Kepentingan kita hari ini adalah menafsirkan patriotisme sebagai warga negara yang melakukan protes, bukan yang menuruti dan bersedia mati (konyol) dalam membela negara. Kekerasan harus disingkirkan sebagai cara untuk membentuk Indonesia. Kekerasan hanya dilakukan oleh penindas, dengan merazia buku, menangkap demonstran, dan persekusi kelompok minoritas.

Hari ini, aktivisme masyarakat sipil berbanding lurus dengan upaya pemerintah yang menginginkan integrasi militer dalam banyak pihak termasuk bidang pendidikan. Padahal pendidikan pedagogi dan militerisme adalah dua hal yang sangat bertolak belakang. Pendidikan bertujuan menghasilkan orang-orang yang berpikir kritis dan mandiri sedangkan militer adalah komando, kepatuhan, dan tidak bertanya sebagai landasannya. 

Baca juga: Jokowi dan Citra Keluarga Harmonis: Warisan Kolonialisme dan Orde Baru

Jika rakyat berupaya untuk mencerdaskan melalui diskusi dan penulisan buku-buku, militer dengan kekerasan akan merazia dan menyergap. Pendidikan dan militer tidak bisa jalan bersama-sama. Dan yang memberikan kesadaran Indonesia sebagai sebuah bangsa adalah kesadaran yang didapat dari pendidikan. Maka untuk menjadi bangsa, kekerasan seharusnya tidak menjadi cara.

Sekarang adalah saat yang tepat untuk rakyat sipil saling berkonsolidasi dan memperjuangkan kemerdekaannya yang beragam. Hanya rakyat sipil yang bisa menelusuri kembali sumber sejarah dan memperbaharui penulisan sejarah yang tidak militeristis. Hanya rakyat sipil yang bisa mendapat dan menerapkan pendidikan tanpa dogma. Cuma rakyat yang harusnya bisa menyediakan dan menulis informasi tanpa takut ada pesanan khusus dari penguasa.

Feminis interseksional akan menyediakan analisis dan memberikan ruang-ruang bagi kelompok-kelompok yang selama ini tidak terlibat dalam sejarah Indonesia untuk bersuara. Menulis dan mengajukan tuntutan. Menyebarkan kesadaran bagi setiap individu. Karena perjuangan kemerdekaan adalah sebuah perjuangan tanpa akhir. Perjuangan aktivisme rakyat sipil untuk melawan kekuasaan yang bersekongkol dengan militer harus diutamakan.

Sebab patriot sejati adalah dia yang mampu menyampaikan kritik dan mengakui kesalahan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Nadya Karima Melati

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah “Membicarakan Feminisme” (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *