Screen Raves

NKCTHI: Kritik terhadap Kesedihan yang Terus Direpresi

Film NKCTHI menyampaikan, duka itu tidak melulu termanifestasikan dalam air mata.

Avatar
  • January 10, 2020
  • 4 min read
  • 1365 Views
NKCTHI: Kritik terhadap Kesedihan yang Terus Direpresi

 

Pernahkah kamu mengalami, orang yang hampir setiap hari kamu temui, ternyata sudah lama tidak benar-benar hadir dan bergandengan denganmu? Kamu berharap tidak pernah kehilangan dia, tetapi nyatanya, kamu justru telah lama kehilangan sosok tersebut, jauh sebelum kamu menyadarinya.

 

 

Kira-kira, begitulah yang disampaikan Aurora (Sheila Dara), anak tengah dalam keluarga yang diceritakan di film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Dari sekian banyak adegan yang disuguhkan dalam film produksi Visinema itu, adegan Aurora mengonfrontasi ayahnya, Narendra (Donny Damara), adalah yang paling mengena buat saya. Ucapan yang hampir persis dengan yang Aurora lontarkan kepada ayahnya pernah saya ungkapkan seiring dengan tumpukan kekecewaan lainnya terhadap keluarga yang lama sekali saya diamkan.

NKCTHI mengisahkan soal keluarga yang dipandang sangat harmonis, jauh dari masalah, punya relasi baik antara orang tua-anak dan sesama saudara, namun ternyata, ada duka dan luka di balik itu semua. Selama lebih dari dua puluh tahun, pasangan Narendra dan Ajeng (Susan Bachtiar), serta putra sulung mereka Angkasa (Rio Dewanto), menyembunyikan rasa berkabung atas kematian kembaran si putri bungsu Awan (Rachel Amanda) saat bayi. Alih-alih menceritakannya kepada anggota keluarga lain dan mencoba menerimanya dengan damai, Narendra memilih menyegel cerita duka itu. Di matanya, kesedihan atas kematian bayinya dulu adalah kesedihan terakhir yang boleh muncul dalam keluarganya.

Sebagian orang boleh jadi mengambil pilihan serupa dengan Narendra ketika peristiwa menyakitkan dalam hidupnya terjadi. Namun hal itu hanya akan menjelma bom waktu yang pada akhirnya akan meledak. Menurut pakar-pakar psikologi dan mindfulness, perasaan yang diabaikan bisa berujung pada rasa tertekan dan bukan mustahil membuat kita gagal berfungsi dengan baik dalam keseharian. Ada relasi juga yang dipertaruhkan akibat pemendaman emosi.

Baca juga: ‘Frozen 2’ Baik Dikonsumsi Anak Laki-laki

Lihat saja bagian cerita Aurora di NKCTHI. Ia rindu mendapat perhatian dari ayahnya—yang tersedot ke Awan begitu adiknya itu lahir. Saat kecil ia bercerita kepada ayahnya soal pencapaiannya dalam kegiatan renang, tapi respons sang ayah lebih berfokus pada Awan. Beranjak dewasa, sikap abai dari ayahnya lebih Aurora rasakan.

Pengabaian ini membuat hubungan ayah-anak itu merenggang. Aurora jadi lebih banyak diam, menyendiri dan larut dengan karya-karya seninya di studio, enggan diajak hang out dengan saudaranya yang lain. Saat Narendra menyatakan alasan di balik perilakunya terhadap anak-anak adalah rasa takut kehilangan mereka, Aurora bilang bahwa keluarganya sudah lama kehilangan dia.

Sementara itu, sikap protektif Narendra kepada Awan berakar dari trauma kehilangan anaknya. Film NKCTHI menyampaikan, duka itu tidak melulu termanifestasikan dalam air mata. Ia bisa tumpah dalam kemarahan, sikap protektif berlebih, kecemasan, kepanikan, sikap penyalahan, dan banyak hal lainnya. Di kehidupan sehari-hari, tidak jarang orang salah menduga bahwa seseorang menjadi pemarah ya karena memang dia seorang yang temperamental atau pernah mendapat didikan keras serupa saat lebih muda.

Secara umum, kebahagiaan sering dinilai sebagai hal utama yang patut orang-orang kejar. Konsekuensinya, perasaan lain dinilai buruk, dan hal ini menjadi akar sikap positif beracun (toxic positivity) yang belakangan mulai sering muncul di aneka diskusi. Padahal, emosi tidak senantiasa mesti positif atau melulu bahagia. Mengutip Aurora, perasaan bukan sesuatu yang bisa diubah gampang macam memencet tombol on dan off. Manusia bukanlah robot.

Baca juga: Berhenti Cari Validasi dari Orang Lain

Seperti halnya emosi yang tidak melulu positif, situasi hidup seseorang pun tidak mungkin selamanya di atas. Ada waktu jatuh atau gagal, dan bagi teman Angkasa dan Awan, Kale (Ardhito Pramono), kesedihan yang dirasa ketika jatuh itu ada gunanya. Ia membantu kita memanjat dan begitu kita sudah di atas, kita dapat melihat horison yang lebih luas dengan lebih baik. Tokoh inilah yang membantu Awan untuk terbiasa menerima hal-hal buruk di kehidupannya. 

Di samping kritik terhadap kebiasaan menekan rasa sedih secara berkepanjangan, NKCTHI juga memberi pesan bahwa sesuatu yang terabaikan bisa terlepas, sebagaimana sesuatu yang terlalu kuat digenggam. Tengoklah relasi Narendra dan Awan. Sebegitu inginnya Narendra melindungi Awan karena takut kehilangan lagi, putri bungsunya itu malah merasa tidak nyaman dan enggan mengikuti lagi perintah-perintah dia. Fokus terhadap keinginannya itu membuat Narendra lalai mendengarkan apa yang dirasakan dan dipikirkan, tidak hanya Awan, tetapi juga anak-anaknya yang lain.

Kerap kali hubungan orangtua-anak bersifat hierarkal. Anak mendengar mau orang tuanya, mengikuti kemauan mereka yang sering ditempeli “yang terbaik buat anak”. Padahal, seiring perkembangan waktu, pola pikir dan kebutuhan relasi anak bertumbuh. Yang anak inginkan bukan lagi orang tua yang melindungi dan membimbing saja, tetapi juga sosok-sosok teman, yang mau mendengar, memandang mereka sebagai sosok sepadan yang bisa mengambil pilihan bebas serta berpikir rasional.



#waveforequality


Avatar
About Author

Patresia Kirnandita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *