Ketika CEO Gojek Nadiem Makarim dipilih menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bulan lalu, seorang teman menulis di media sosial mengenai harapan akan terwujudnya program pendidikan seks bagi remaja, mengingat menteri baru tersebut relatif muda, suka berinovasi, dan berpikiran terbuka. Waktu itu saya menanggapi bahwa saya agak ragu program itu akan terlaksana mengingat pendidikan seks selalu mendapatkan penolakan yang cukup sengit dari masyarakat. Alasan yang dikemukakan biasanya bahwa pendidikan seks sama dengan mengajari anak-anak dan remaja untuk melakukan seks bebas, dan bahwa pendidikan seks adalah tugas keluarga atau orang tua.
Saya kira penolakan masyarakat karena kata “seks” yang dalam bahasa Indonesia mengalami penyempitan dan pergeseran makna yang hanya diartikan sebagai hubungan seksual semata. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “seks” berarti jenis kelamin; hal yang berhubungan dengan alat kelamin, seperti sanggama; berahi. Jadi seks tidak melulu berarti hubungan seksual, namun semua hal yang berhubungan dengan kelamin, termasuk dengan kesehatan organ-organnya.
Selain mengalami penyempitan makna, kata seks juga mengalami pergeseran makna menjadi lebih negatif, bermakna tabu, kotor, memalukan, dan rendah. Tidak pantas membicarakan seks secara terbuka, apalagi pada anak-anak remaja yang masih polos itu.
Menurut saya, jika ingin diterima masyarakat luas, kita harus mampu mengubah makna kata “seks” menjadi netral kembali atau bahkan menjadi positif. Entah kapan ini akan terwujud? Padahal, saat ini, pendidikan seks di Indonesia dirasa perlu dan mendesak untuk dilakukan. Data dari Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Oktober 2013 menyebutkan bahwa sekitar 62,7 persen remaja Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah dan 21 persen di antaranya pernah melakukan aborsi. Belum lagi pada kasus infeksi HIV dalam rentang tiga bulan ada 10.203 kasus HIV dan 30 persen pasiennya berusia remaja.
Baca juga: Hak Kesehatan Remaja yang Terabaikan
Selain itu, ada lagi contoh-contoh di media sosial. Misalnya pernyataan seorang remaja perempuan yang ditipu kekasihnya yang mengatakan dia mengalami penyakit kelebihan darah putih dan itu hanya bisa disembuhkan jika mereka berhubungan seksual. Si remaja perempuan percaya saja karena tidak mendapatkan informasi yang memadai dari sumber terpercaya.
Mengingat mendesaknya kebutuhan akan pendidikan seks pada remaja, mungkin lebih baik jika nama pendidikan seks saja yang diganti, namun dengan isi dan tujuan yang sama. Tidak perlu lagi menunggu masyarakat agar memandang kata “seks” secara netral atau positif. Saran ini saya sampaikan berdasarkan pengalaman saya sendiri.
Waktu saya sekolah dulu di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pelajaran yang paling banyak mengajarkan mengenai seks dan kesehatan reproduksi adalah Pendidikan Agama Islam (PAI). Benar, Pendidikan Agama Islam, bukan Biologi. Jika penolakan pendidikan seks banyak dilakukan oleh masyarakat yang religius, maka sebenarnya yang lebih banyak mengajarkan tentang seks selama sekolah adalah agama juga.
Pelajaran Biologi yang saya terima hanya mengajarkan tentang sel telur, sperma, rahim, dan semua proses yang terjadi saat sperma bertemu dengan sel telur. Tidak pernah menyentuh sisi manusianya. Pendidikan Agama Islam justru melampaui itu.
Dimulai dari Sekolah Dasar, PAI mengajarkan saya tentang haid/menstruasi, onani, hamil, nifas, sanggama, bahkan menopause pun pernah disinggung. Semua itu diajarkan karena berhubungan dengan menjaga kesucian ketika akan beribadah. Tema-tema tersebut dibahas setiap kali membahas tentang salat, puasa, membaca/menyentuh Alquran, bahkan ketika akan memasuki masjid/musala.
Baca juga: Kisah Menstruasi Pertama: Siklus Ketidaktahuan Menahun
Salah seorang bapak guru PAI bahkan melakukan hal lebih jauh lagi. Beliau mengajarkan kami doa berhubungan seksual dengan suami/istri. Seingat saya, waktu itu, beliau berkata, ”Doa ini penting. Harus dihafalkan. Tapi jangan dipraktikkan sekarang. Ini untuk kalian nanti kalau sudah menikah.”
Dia mengajarkan langkah-langkah bagaimana doa tersebut dilakukan. Dia juga menambahkan bahwa berhubungan seksual merupakan bentuk usaha dalam memberikan nafkah batin kepada pasangan sekaligus ikhtiar kepada Allah agar mendapatkan keturunan yang saleh dan salihah sehingga tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus dilakukan dengan baik, saling pengertian, dan tanpa paksaan.
Apakah sekolah kami didemo dan digerebek massa karena mengajarkan tentang hubungan seks suami istri? Tentu saja tidak. Wong yang beliau ajarkan itu salah satu bentuk ikhtiar kepada Allah. Tidak ada suara sumbang atau cibiran sama sekali atas apa yang beliau ajarkan. Sekolah saya baik-baik saja, bahkan menjadi sekolah favorit di kota tempat saya tinggal.
Pengalaman itulah yang membuat saya yakin, bahwa pendidikan seks sangat mungkin masuk dalam kurikulum sekolah di Indonesia dengan nama yang berbeda. Nama “Pendidikan Kesehatan Remaja” mungkin bisa menjadi pilihan. Nama yang lain pun tidak masalah. Tidak perlulah ngotot dengan nama, karena yang terpenting adalah isi dan tujuan.
Remaja Indonesia bisa mendapatkan informasi yang benar mengenai kesehatan reproduksi mereka dari sumber yang terpercaya, sehingga mereka bisa mengambil keputusan akan kesehatan reproduksi mereka masing-masing dengan lebih bijaksana.
Ilustrasi oleh Karina Tungari