Issues

‘Namanya Juga Cewek’: Soal Seksisme yang Menjamur di Media Kita

Stigma usang bahwa perempuan lebih emosional daripada laki-laki turut dikuatkan oleh media massa dan sudah saatnya kita menghentikan ini.

Avatar
  • August 16, 2021
  • 6 min read
  • 1376 Views
‘Namanya Juga Cewek’: Soal Seksisme yang Menjamur di Media Kita

Jika kamu penikmat variety show lokal tahun 2000-an, kamu tentunya mengenal acara Extravaganza yang tayang di TransTV dan dibintangi salah satunya oleh Virnie Ismail. Belum lama ini, artis 41 tahun itu dikabarkan mengalami kecelakaan saat bersepeda dan berita tersebut muncul dalam feed saya. 

Awalnya, berita itu saya klik karena saya sebagai anak generasi 90-an sekadar ingin tahu kondisi terakhir Virnie Ismail. Setelah membaca cepat, saya mengetahui bahwa Virnie terjatuh dari sepedanya setelah menabrak sejumlah galon air mineral yang secara tiba-tiba jatuh dari truk yang tengah melaju di depannya. 

 

 

Berita itu tidak begitu mengejutkan bagi saya, tetapi sebuah kalimat dalam badan berita yang saya baca terasa sangat mengusik sampai-sampai saya membacanya ulang. Begini kalimatnya, Ya namanya cewek, ya pasti kaget. Tiba-tiba ada galon menggelinding”. Kalimat itu adalah kutipan wawancara Kanit Lantas Polsek Pondok Aren Ajun Komisaris Polisi (AKP) Ragil Karana yang dihubungi lewat telepon. Lantas, saya mengecek alamat situs beritanya: Tribunnews.com. “Ah, pantes aja,” batin saya. 

Apa yang mengganggu dari kalimat tersebut? Tentu mudah ditebak, apa lagi kalau bukan kalimat “Ya namanya cewek, ya pasti kaget”. Saya menggerutu dalam hati, Memangnya kalau cowok enggak akan kaget?”. Sudah pasti saya kesal dengan jawaban AKP Karana yang seksis. Saya yakin kalimat itu mengalir dari alam bawah sadarnya, bukti hasil pendidikan patriarkal yang kerap mendiskreditkan perempuan. Kalimat itu sebetulnya selesai dengan mengatakan, “Ya dia kaget”, tanpa perlu ditambah embel-embel “Ya namanya cewek”.

Baca juga: MadgeTalk: Pemberitaan Media Makin Tak Bermakna, Kita Harus Bagaimana?

Salah Kaprah tentang Perempuan 

Meski sudah banyak bukti yang menunjukkan sebaliknya, masih banyak orang (tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan) yang berpikir kalau perempuan lebih emosional ketimbang laki-laki. Ukuran jembatan serabut saraf otak yang disebut corpus callosum pada perempuan yang lebih besar dianggap mengganggu kerja otak kiri yang rasional, sehingga menyebabkan perempuan lebih emosional. Inilah dalil yang menjadi biang keroknya. Sebetulnya dalil itu sudah usang, terbantahkan oleh banyak penelitian bidang Neuroscience.

Seorang ahli saraf kognitif, Gina Rippon dalam “The Gendered Brain” menjelaskan bahwa memang ukuran otak perempuan rata-rata lebih kecil 10 persen dari ukuran otak laki-laki. Namun, itu tidak lantas membuat perempuan tidak lebih pintar dan rasional. Pengamatan terhadap otak gajah dan paus sperma yang ukuran otaknya lebih besar dari pada otak laki-laki misalnya, tidak membuktikan kalau kedua hewan tersebut lebih pintar dari manusia. Begitu juga dalam kasus otak Albert Einstein. Otak ilmuwan jenius itu ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan rata-rata otak laki-laki. 

Jawaban AKP Karana tentu mengesalkan. Seandainya salah kaprah itu hanya untuk dirinya sendiri, mungkin persoalannya menjadi lebih sederhana. Tetapi salah kaprah itu diberi ruang. Ia masuk ke media massa, ke ruang publik dan menginfiltrasi alam bawah sadar sejumlah pembacanya. Ini akan terus mengekalkan stigma bahwa perempuan itu makhluk yang emosional. 

Baca juga: Media Indonesia Krisis Pemberitaan Ramah Gender

PR Besar Media Massa dalam Pemberitaan tentang Perempuan

Lalu, siapa yang bertanggung jawab mengekalkan kebodohan itu ke ruang publik? Saya menerka-nerka informasi apa yang hendak digali reporter Tribunnews dan kalimat pertanyaan apa yang ia gunakan hingga jawaban AKP Karana demikian. 

Saya menduga, reporter bertanya, “Bagaimana reaksi Virnie saat kecelakaan terjadi?”. Mungkin ia ingin mencari tahu respons Virnie saat galon jatuh, apakah sempat menghindar dengan membelokkan sepeda, berhenti, terlempar dari sepeda, atau yang lainnya. Pertanyaannya, apakah itu layak diajukan kepada AKP Karana yang disebutkan di badan berita bahwa saat kecelakaan terjadi, ia sedang tidak berada di lokasi? Dalam badan berita pun dijelaskan bahwa saat wawancara dilakukan, pihak polsek Pondok Aren belum menerima laporan resmi soal kejadian tersebut. Dalam kerja wartawan, menanyakan kepada narasumber pertanyaan yang tidak sesuai kapasitasnya bisa menjurus ke informasi yang misleading

Tetapi, reporter tentunya tidak bekerja sendirian. Sebelum dipublikasikan, ada editor yang tugasnya menjadi gerbang terakhir mengecek kelayakan informasi. Saya juga menerka-nerka, mengapa editor memutuskan menaikkan kutipan tersebut dalam beritanya. Apakah menurutnya kalimat “Namanya cewek ya pasti kaget” menjawab pertanyaan publik terkait kasus tersebut? Atau, apakah kalimat ini logis? Misalnya, ketika korbannya adalah laki-laki, apakah seorang laki-laki pesepeda tidak akan kaget ketika tiba-tiba ada sejumlah galon keluar dari truk yang berjalan di depannya? Atau, apakah ‘kaget’ itu hanya domainnya perempuan? 

Seorang editor di dalam ruang berita ibarat dewa. Di tangannya lah keputusan akhir seperti apa sebuah berita akan disajikan kepada publik. Ia boleh mengubah sudut pandang atau pesan yang hendak disampaikan ke pembacanya sebelum siap disebarkan. Itulah mengapa seorang editor seyogianya memiliki perspektif yang kaya, yang didapatnya dari berbagai sumber termasuk pengalaman kerja lapangan yang mumpuni. 

Dalam berita kecelakaan Virnie Ismail di TribunNews, jika sang editor paham kalimat AKP Karana mengandung stigma hasil konstruksi sosial ratusan tahun yang tak berdasar, tentu ia akan memilih membuangnya dari badan berita. Stigma tersebut telah menyebabkan banyak perempuan tidak mempercayai kekuatan rasio otaknya sendiri dan menjadi biang keladi di mana perempuan kerap disalahkan atas sesuatu yang dianggap terjadi karena faktor keperempuannya. Kita butuh lebih banyak editor yang memiliki perspektif gender, yang tidak membuat berita yang hanya akan melanggengkan opresi terhadap perempuan. 

Memimpikan media massa yang tidak bias gender di Indonesia ibarat jauh panggang dari api. Dalam laporan tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2020 disebutkan, salah satu penyebab bias gender dalam pemberitaan media di Indonesia adalah sedikitnya jumlah jurnalis perempuan. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro tahun 2020 menyebut jumlah jurnalis perempuan di Indonesia tidak lebih dari 25 persen. 

Memperbanyak jumlah jurnalis perempuan memang tidak serta merta memperbaiki penggambaran perempuan di media kita. Idealnya, setiap jurnalis dari level magang hingga pemimpin redaksi dibekali pengetahuan mengenai perspektif kesetaraan gender dalam menulis berita. Seperti disebutkan A.Siregar dalam buku Media dan Gender: Perspektif Gender atas Industri Surat Kabar Indonesia, “Pelatihan terkait gender adalah salah cara terbaik untuk meningkatkan sensitivitas gender dan mengurangi bias gender di media massa”. 

Terkait hal ini, saya pikir menarik untuk membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Bachtiar RM, dkk. dari Universitas Padjajaran Bandung tahun 2019 mengenai pemberitaan bias gender di Detik.com. Yang menarik dalam penelitian ini adalah adanya variabel pemimpin redaksi yang seorang perempuan dan memiliki perspektif gender. Hal ini ternyata tidak serta merta membebaskan Detik.com dari pemberitaan yang seksis.  

Hal ini diakui oleh Iin Yumiyanti, pemimpin redaksi Detik.com yang menjabat saat itu, yang mengatakan pemberitaan yang bias gender masih sering terjadi dan kebanyakan dilakukan oleh jurnalis-jurnalis muda laki-laki. Untuk memperbaiki hal itu, Detik menerapkan mekanisme teguran, surat peringatan, hingga pemecatan untuk setiap pemberitaan yang dianggap bias gender. 

Hasil penelitian menunjukkan konten bias gender di Detik.com disebabkan antara lain karena jumlah jurnalis perempuan yang jauh lebih sedikit dibandingkan jurnalis laki-laki, dan belum samanya perspektif gender di tingkat redaktur atau pengambil keputusan ruang redaksi, serta belum adanya pelatihan mengenai peliputan berperspektif gender yang dilakukan oleh organisasi media tersebut. 

Jika perusahaan media dengan pemimpin redaksi perempuan berperspektif gender saja masih tertatih-tatih seperti ini, bagaimana dengan media lain? Selamat berjuang! 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dewi Laila Sari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *