Pakaian Panjang dan Keselamatan Perempuan
Bisakah kita berhenti mengaitkan pakaian perempuan dengan urusan moral dan kesalehan?
Dengan mengacu pada ajaran agama dan adat istiadat tertentu, masyarakat kita umumnya mengidentikkan pakaian panjang bagi perempuan dengan kesopanan dan perlindungan diri dari godaan dan pelecehan lelaki. Namun, banyaknya perempuan yang menjadi korban kecelakaan akibat mengenakan pakaian panjang seharusnya memaksa kita untuk melepaskan urusan moralitas dan kesalehan dari fungsi pakaian dan menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama.
Kecelakaan tragis yang menewaskan sepuluh siswi SMP Negeri 1 Turi, Sleman, Yogyakarta pada 21 Februari 2020 dalam kegiatan susur sungai selayaknya menjadi tamparan keras bagi kita, terlebih para penentu kebijakan di institusi pendidikan. Seluruh siswi korban meninggal akibat sulit bergerak karena mengenakan rok panjang yang menghalangi arus air. Kuatnya tekanan air yang menghantam rok panjang yang dikenakan siswi diperkirakan bisa tiga kali lipat daripada yang memakai celana panjang.
Karena dianggap sebagai standar moralitas dan kesalehan, aturan berpakaian panjang kerap dilanggengkan oleh berbagai institusi pendidikan. Setidaknya sejak 2011, semakin lazim di Indonesia bagi sekolah-sekolah mewajibkan para siswi mengenakan rok panjang, terlepas dari mereka berhijab atau tidak. Jarang ada yang mengkritisi aturan dan norma dalam berpakaian dan cenderung menerimanya begitu saja, sebagai bagian dari kepatutan dalam bertingkah laku siswi. Padahal mengenakan pakaian panjang berimplikasi pada terbatasnya kelincahan gerak siswi dalam aktivitas sehari-hari, bahkan dalam kasus SMP Negeri 1 Turi, harus ditebus dengan nyawa mereka.
Karena panjangnya pakaian kerap menjadi ukuran mutu pribadi seorang perempuan, timbul pulalah anggapan bahwa semakin panjang rok, kerudung, gaun seorang perempuan, maka semakin terjaga dan mulialah perempuan tersebut. Bagi sebagian Muslim misalnya, tidak cukup hanya berhijab, tapi haruslah berhijab syar’i atau sesuai dengan syariah—yang dalam hal ini identik dengan “lebih panjang, lebih tertutup dan tidak boleh membentuk tubuh”, yang artinya tidak boleh bercelana panjang.
Baca juga: Jilbab, Hijab, Cadar, dan Niqab: Memahami Kesejarahan Penutup Tubuh Perempuan
Dengan pilihan bergamis dan berhijab panjang, maka saat berkendara motor, posisi duduk yang paling mungkin adalah miring dan tidak mengangkang. Pada 2013, pemerintah Lhokseumawe, Aceh, sempat mengeluarkan peraturan daerah untuk melarang perempuan duduk mengangkang saat membonceng motor. Konstruksi keyakinan yang melandasi pakaian panjang perempuan seperti ini memiliki konsekuensi serius yang membahayakan keselamatan.
Pertama, duduk dalam posisi miring ketika membonceng motor sebetulnya berisiko karena berkurangnya keseimbangan dibandingkan duduk mengangkang. Kedua, dan ini yang sangat penting, sudah banyak terjadi kasus kecelakaan perempuan yang dipicu pakaian panjang yang mereka kenakan. Baju dan hijab panjang amat rentan tersangkut ke rantai, gir, jeruji atau roda sepeda motor yang menyebabkan kecelakaan yang kerap merenggut nyawa.
Pada November 2019, Mirda, perempuan 45 tahun asal Talibungi, Kelurahan Lappa, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan tewas setelah mengalami kecelakaan dengan kondisi leher tercekik dan jatuh, akibat jilbab yang digunakan tersangkut dirantai atau terlilit gear motor.
Pada Maret 2019, Mutmainna, mahasiswi Universitas Puangrimaggalatung (UNIPRIMA) Sengkang, Sulawesi Selatan, tewas karena kecelakaan sepeda motor di Jalan Poros Sengkang-Bone. Mutmainna, 24, yang berboncengan dengan temannya terjatuh dari kendaraan lantaran baju gamis yang dikenakannya terlilit di terali ban motor.
Masih banyak lagi berita kecelakaan motor yang kerap dipicu oleh pakaian panjang perempuan.
Ketika pakaian panjang menjadi standar perilaku dan gaya hidup saleh, tanpa memperhitungkan kesenjangan kelas, beragamnya konteks kebutuhan dan latar belakang perempuan, saat itulah nyawa dan keselamatan perempuan kerap menjadi taruhan.
Pakaian Panjang Perempuan dan Perbedaan Kelas
Seorang kawan saya asal Brebes, Jawa Tengah, mengatakan, di kampungnya, hanya perempuan dari kalangan kaya saja yang sehari-harinya bisa mengenakan pakaian panjang berjuntai seperti yang kini dicontohkan para hijaber syar’i.
“Mayoritas perempuan di kampung saya adalah perempuan petani yang sehari-hari menggarap sawah. Mana mungkin mengenakan pakaian panjang seperti itu,” ujarnya.
Ucapan ini menarik dan merupakan sebuah ilustrasi yang nyata. Kerudung dan gamis panjang mungkin paling nyaman, dan yang terpenting, aman dikenakan oleh para perempuan yang memiliki keleluasaan naik turun mobil dalam aktivitas keseharian mereka. Para perempuan ini juga tidak perlu bekerja keras secara fisik seperti perempuan pekerja kelas bawah seperti petani penggarap, asisten rumah tangga, buruh pabrik, dan pedagang pasar tradisional.
Ucapan kawan saya tadi kemudian juga mengingatkan saya pada sejumlah kecelakaan kerja yang terjadi pada perempuan pekerja akibat pakaian dan kerudung yang mereka kenakan. Seperti kecelakaan pada Juli 2011 yang menewaskan Neneng, seorang penjual es tebu di Kediri, Jawa Timur. Pada saat mesin peras tebu dinyalakan, hijab Neneng tersangkut putaran roda dan lehernya terlilit kain hingga tercekik.
Pada 28 Desember 2011, Sayeni, buruh pabrik tekstil PT Embee, Cirebon meninggal karena kerudungnya terjerat putaran mesin dari depan. Hanya selisih sekitar seminggu, Marwah Komaladewi buruh dari pabrik yang sama, juga mengalami kecelakaan kerja ketika bertugas sebagai operator mesin. Kerudung Marwah tersangkut mesin pemintal benang mengakibatkan ia mengalami luka robek di bagian mulut dan beberapa jarinya tergilas mesin spinning.
Baca juga: Norma Sosial Paksa Siswi Non-Muslim di Bangkinang, Riau, Berhijab
Kesalehan vs Risiko Nyawa
Para perempuan mengenakan pakaian panjang–sadar maupun tidak—karena mematuhi konstruksi nilai yang telah ditetapkan untuk mereka. Suatu konstruksi yang dibangun oleh interpretasi ajaran agama dan norma-norma yang mereka warisi dari generasi terdahulu, atau adopsi dari lingkungan mereka, sehingga kerap diyakini sebagai suatu keniscayaan. Dalam konteks perempuan pekerja kelas bawah, penggunaan pakaian panjang dan kerudung sebagai ukuran moralitas dan kesalehan terbukti membahayakan nyawa.
Perintah mengenakan hijab bagi perempuan di zaman Nabi Muhammad pun sebetulnya tidak lepas dari masalah perbedaan dan pembedaan kelas. Syekh Ali al-Shabuni dalam Rawai’ al-Bayan mengatakan, perempuan budak yang sering keluar rumah untuk bekerja tidak diperintahkan berhijab karena bisa memberatkan mereka. Perintah mengenakan hijab hanya diperuntukkan kepada perempuan merdeka yang jarang keluar rumah. Dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan budak dinilai tidak berharga dan mudah menjadi sasaran pelecehan kaum lelaki. Penggunaan hijab bagi perempuan merdeka ditujukan sebagai identifikasi, agar tidak terjadi perlakuan yang sama terhadap perempuan budak atau pekerja.
Ketika pakaian panjang menjadi standar perilaku dan gaya hidup saleh, tanpa memperhitungkan kesenjangan kelas, beragamnya konteks kebutuhan dan latar belakang perempuan, saat itulah nyawa dan keselamatan perempuan kerap menjadi taruhan.
Jadi, sekali lagi, bisakah kita berhenti mengaitkan pakaian perempuan dengan urusan moral dan kesalehan?
Baca juga: Hijab dan Kita yang Tak Pernah Diberi Pilihan
Pakaian seharusnya menunjang, bukan menghambat ruang gerak perempuan yang mengenakannya. Keselamatan perempuan seharusnya mutlak menjadi prioritas, dan tidak dikorbankan hanya untuk memenuhi standar moralitas dan kesalehan. Mari kita berhenti menggunakan dalil-dalil agama, norma, dan adat istiadat untuk mengatur pakaian perempuan, dan fokus pada hal yang paling utama, yaitu keselamatan.
Jika Anda dapat berkontribusi dengan satu atau lain cara untuk memengaruhi aturan dan kebijakan terkait cara berpakaian perempuan, tolong lakukanlah, tempatkanlah isu keselamatan sebagai prioritas utama.
Jika Anda melihat ada risiko-risiko kecelakaan terkait pakaian panjang yang dikenakan perempuan, kapan pun itu, tolong lakukan sesuatu, apa saja. Anda bisa mencegah kecelakaan dan menyelamatkan nyawa.
Jika Anda mengenakan pakaian panjang dan merasa mesti melakukannya karena alasan apa pun juga, tolong ingat satu hal: Apa pun alasan itu tidak akan lebih penting dari keselamatan dan nyawa Anda.
Sebagian orang berkeyakinan bahwa hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan. Konon, begitulah pula jawaban sang pembina pramuka SMP 1 Turi Sleman ketika ada warga yang mengingatkannya untuk tidak memerintahkan siswa-siswinya menyusuri sungai di musim hujan, sambil mengenakan rok panjang. Banyak orang bisa membantah, “Ah, segala kecelakaan yang terjadi itu tidak ada hubungannya dengan pakaian panjang yang dikenakan perempuan.”
Kepada mereka, saya ingin mengatakan, berhentilah menyalahkan Tuhan yang telah menganugerahi kita kehidupan. Sudah waktunya kita saling menjaga keselamatan satu sama lain, bukannya menghakimi dan membebankan seluruh persoalan moral pada tubuh perempuan.