Pasal Penghinaan Presiden hingga Aborsi, yang Problematik dari RKUHP
RKUHP sempat ditolak besar-besaran rakyat Indonesia 2019 lalu, tapi DPR akan targetkan sah Juli nanti. Apa saja yang telah diubah?
Wacana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali jadi percakapan nasional, setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD membawa-bawanya lagi pertengahan Mei kemarin.
“Di RKUHP di pidana, di RKUHP sudah masuk bahwa LGBT itu dalam cara-cara tertentu dan ekspos tertentu, dilarang dan ada ancaman pidananya,” tuturnya, dikutip dari CNN Indonesia.
Saat itu, Mahfud tengah menanggapi isu LGBT yang kembali naik setelah youtuber Deddy Corbuzier menurunkan podcast-nya bersama Ragil Mahardika. Namun, Anggota DPR Komisi III Arsul Sani dari Fraksi PPP yang juga anggota panja RKUHP menegaskan kepada CNN Indonesia, bahwa yang dipidanakan adalah perbuatan cabul, bukan LGBT.
“Yang disebut dengan pasal pidana LGBT itu sebetulnya enggak pas istilahnya. Yang pas itu, pasal perbuatan cabul yang dilakukan sesama jenis,” katanya.
Di tengah kisruh-kisruh itu, DPR menargetkan akan mengesahkan RKUHP pada akhir masa Persidangan V DPR Tahun Sidang 2021-2022, awal Juli ini. “Komisi 3 akan menyelesaikan paling lambat akhir masa sidang ini. Sebenarnya proses sudah selesai di Panja udah, tinggal diparipurnakan,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi, kepada CNN Indonesia, Kamis (19/5).
RKUHP ini adalah salah satu penyebab demo mahasiswa besar-besaran 2019 lalu. Isinya dianggap memuat sejumlah pasal kontroversial. Akibat protes tersebut, Presiden Joko Widodo meminta pembahasan RKUHP ditunda. Menurut, anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan, meski sempat ditunda pada 2019 silam, proses RKUHP tak akan dimulai dari awal sebab prosesnya melanjutkan pembahasan sebelumnya.
Hal itu diperkuat pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, 19 Mei kemarin pada CNN Indonesia. Ia menyebut RKUHP yang akan disahkan akan menggunakan draf terakhir hasil sidang Pleno di Badan Legislasi 2019 lalu. Menurutnya, draf RKUHP tidak mungkin diubah lagi karena panitia khusus (pansus) yang ditugaskan membahas rancangan regulasi tersebut sudah dibubarkan.
“Iya [menggunakan draf terakhir]. Sudah disepakati. Kalau ada perubahan mesti rapat lagi. Pansusnya sudah bubar itu,” kata Bambang.
Sayangnya, DPR tak merilis naskah terbaru RKUHP yang sudah direvisi, sehingga mustahil untuk melakukan cek fakta dan menganalisis perubahannya.
Namun, dalam rapat kerja bersama Komisi Hukum DPR, 25 Mei kemarin, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyebut ada 14 pasal kontroversial yang telah dibahas ulang oleh DPR dan Pemerintah. Ia mengaku, pembahasan ulang tersebut telah mempertimbangkan catatan berbagai pihak, mulai dari masyarakat hingga pakar hukum tata negara.
Lantas, apa saja poin-poin yang telah direvisi DPR dari draf terakhir 2019?
Baca juga: Wacana ‘Pidana LGBT’ di RKUHP, Bagaimana Nasib Mereka Kini?
Dihapus
1. Aturan tentang Kriminalisasi Tukang Gigi
Salah satu pasal yang dihapus dari draf terakhir RKUHP 2019 adalah Pasal 276 ayat (1) dan (2), yang sempat menyeret profesi tukang gigi ke penjara. Pasal ini diputuskan untuk dihapus “karena menjalankan profesi dokter, dokter gigi, dan tukang gigi tanpa ijin tidak dikenakan sanksi penjara menurut Mahkamah Konstitusi tentang Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diperkuat dengan Putusan MK 40/PUU-X/2012.”
Sebelumnya, RKUHP memuat pasal yang berbunyi:
“Setiap orang yang menjalankan pekerjaan menyerupai dokter atau dokter gigi sebagai mata pencaharian baik khusus maupun sambilan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V.”
Isi tersebut menuai protes dari Perkumpulan Tukang Gigi Nasional yang ikut turun ke jalan bersama mahasiswa menolak RKUHP, 2019 lalu. Sekira 9 ribu orang anggota mereka merasa pekerjaannya terancam dan hak-haknya dilanggar pasal tersebut.
2. Pasal Advokat yang Curang
Dalam draft 2019, RKUHP memiliki pasal 282 yang berisi ancaman pidana 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V untuk advokat yang terbukti curang. Pasal in juga sempat diprotes Peradi Suara Advokat Indonesia (SAI), seperti dilansir dari Hukum Online. Juniver Girsang, Ketua Peradi SAI menilai pasal tersebut melanggar UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, putusan MK, dan Kode Etik Advokat.
Baca juga: RKUHP Era Milenial Rasa Kolonial Harus Ditunda: Aktivis
Tetap Ada, tapi dengan Sedikit Perubahan
Meski sempat diprotes besar-besaran 2019 lalu, beberapa poin kontroversi dalam RKUHP tetap ada dan dimasukkan dalam draf yang rencananya akan disahkan Juli ini. Beberapa di antaranya memang telah mengalami perubahan.
1. Pasal Living Law (Hukum yang Hidup dalam Masyarakat)
Pasal 2 ini mengakui hukum pidana adat sebagai “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Artinya, meski tidak diatur dalam RKUHP, seseorang yang dianggap melanggar hukum adat di suatu daerah di Indonesia dapat dikenakan sanksi hukum pidana adat tersebut. Dalam Pasal 96 RKUHP, pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda.
Sehingga, terpidana adat yang tidak menjalani hukuman adat tersebut akan dihukum pidana denda kategori II.
Pasal ini menuai kecaman sejak 2019 lalu. Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu menilai ketentuan living law dalam pasal 2 RKUHP tidak diatur secara jelas. Akibatnya pasal tersebut justru berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi. “Tidak jelas antara hukum yang hidup di masyarakat dengan hukum adat rentan menimbulkan overkriminalisasi,” ujar Erasmus kepada Kompas, 2019 lalu.
Saking karetnya pasal ini, perempuan dan kelompok rentan seperti minoritas gender dan disabilitas bisa jadi pihak yang paling rawan jadi sasaran kriminalisasi.
2. Pidana Mati
Dalam RKUHP, ada 6 pasal yang membahas pidana mati, di antaranya: Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102.
Berbeda dengan KUHP yang ada sekarang yang menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok, RUU KUHP menempatkan pidana mati sebagai pidana yang paling terakhir dijatuhkan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.
Artinya, terpidana mati punya kesempatan untuk diberikan komutasi atau perubahan hukuman dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup jika dalam masa percobaan sepuluh tahun menunjukkan sikap yang baik.
Terdengar seperti sebuah kemajuan? Padahal tidak. Meski mekanisme pemberian hukuman mati berubah dalam RKUHP, tapi Indonesia masih mengakui jenis hukuman yang sudah ditolak internasional ini.
Amnesty International tegas menjadikan pasal ini sebagai salah satu alasan untuk menolak pengesahan RKUHP. “Hukuman mati seharusnya dihapuskan secara total karena merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup. Indonesia sudah meratifikasi kovenan internasional tentang hak sipil dan politik. Dalam kovenan tersebut dinyatakan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi. Banyak negara-negara yang sudah mulai meninggalkan hukuman mati,” tulis mereka di situs resminya, 2020 lalu.
3. Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Salah satu pasal paling kontroversial dan menuai penolakan massal adalah Pasal 218, yang memuat tentang pemidanaan penghina presiden dan wakil presiden. Pasal ini dianggap berpotensi menjadi ‘karet’, bahkan bisa menjadi senjata pemerintah untuk mengkriminalisasikan masyarakat hanya karena mengkritik kebijakan presiden.
Lucunya, Mahkamah Konstitusi sudah pernah mematikan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden ini pada 2006 lalu. Ketua MK waktu itu menilai pasal ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Belum lagi, dalam sejarahnya, pasal penghinaan pada penguasa negara ini memiliki semangat kolonialisme karena diadaptasi KUHP dari hukum Belanda yang melarang pribumi menghina Ratu Belanda.
Dalam draf terakhir RKUHP yang akan disahkan Juli ini, pasal itu coba dihidupkan kembali. Bedanya, pasal ini berubah sifatnya jadi delik aduan. Sehingga, pengaduan dilakukan oleh presiden atau wakil presiden secara tertulis. Namun, tetap bisa dilakukan pihak lain “jika dilaporkan demi kepentingan umum atau pembelaan diri.”
Pidana sampai 3,5 tahun jadi indikasi bahwa penguasa negara tidak ingin dikritik, dan sengaja membuat rakyat untuk enggan mengkritik.
4. Pasal Dukun Santet
Dalam RKUHP versi draf 2019, ada frasa “ilmu hitam” dalam pasal 252. Pasal ini mencoba mengatur pekerjaan “orang-orang yang menyatakan diri punya kekuatan gaib”, seperti profesi dukun santet.
Namun, dalam rapat kerja bersama Komisi Hukum DPR, 25 Mei kemarin, Wamenkumham menyebut frasa “ilmu hitam” telah dihapus untuk mencegah kerancuan. Pasal ini tetap dimaktumkan dalam RKUHP, karena berusaha mencegah upaya main hakim sendiri pada para dukun santet, atau orang yang menyatakan diri punya kekuatan gaib dan melakukan tindak pidana.
5. Contempt of Court (Penghinaan terhadap Lembaga Peradilan)
Aturan tentang Contempt of Court (Penghinaan terhadap Lembaga Peradilan) tercantum dalam Pasal 281 RKUHP versi draf 2019. Berdasarkan laporan Wamenkumham 25 Mei kemarin, pasal Contempt of Court kini ada dalam Pasal 280.
Reformulasi ini, menurut Wamenkumham, ditujukan untuk mencegah dilakukannya live streaming atau siaran langsung pada saat sidang diselenggarakan, demi ketertiban umum, dan untuk menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.
Hal ini bertujuan untuk mencegah para saksi yang belum didengar keterangannya mengetahui keterangan yang telah disampaikan oleh saksi sebelumnya. Ketentuan ini sama sekali tidak mengurangi kebebasan wartawan untuk menulis dan mempublikasikan berita setelah sidang pengadilan selesai diselenggarakan.
6. Pasal Unggas yang Merusak Kebun yang Ditaburi Benih
Aturan ini sebelumnya hadir di RKUHP versi draf 2019 dalam Pasal 278, kini diganti dalam Pasal 277. Perbedaannya, di versi baru ini, ditambahkan frasa “menimbulkan kerugian”, sehingga menjadi delik materiil.
Ketentuan pasal ini merupakan materi yang sebelumnya telah diatur dalam KUHP lama, dan saat ini di wilayah pedesaan masih diperlukan untuk melindungi para petani.
Kekhawatiran sebagian orang tentang pidana yang timbul dari pasal ini ternyata tidak ada pidana badan (kurungan), tapi hanya sebatas pidana denda. Dengan melihat fakta ini maka yang terjadi pada RKUHP adalah penyesuaian besaran pidana denda.
Di KUHP yang berlaku saat ini ada pidana denda terkait dengan burung atau unggas dan ternak yang merusak tanaman, tapi tidak pernah diributkan. Penyesuaian jumlah denda sangat masuk akal karena dalam KUHP yang berlaku saat ini denda hanya Rp 225 untuk pasal burung dan Rp 375 untuk ternak.
Maka, tidak perlu ada kekhawatiran akan ada pidana kurungan karena yang diatur adalah besaran denda karena denda di KUHP yang berlaku tidak layak diterapkan saat ini.
7. Penodaan Agama
Ketentuan terkait tindak pidana terhadap agama diatur pasal 304-309 dalam draf RKUHP 2019. Aturan-aturan tersebut sempat dikritik Aliansi Nasional Reformasi KUHP, di antaranya karena: (a) isinya jauh dari standar pasal 20 ICCPR soal konteks pelarangan propaganda kebencian; (b) hanya melindungi agama yang “dianut” di Indonesia; (c) serta belum memuat unsur penting, yakni perbuatan “dengan sengaja” terkait tindak pidana terhadap agama.
Aturan itu kemudian direformulasi dalam draf terbaru versi yang dibacakan 25 Mei kemarin. Penjelasan Pasal 304 diselaraskan dengan rumusan pasal karena dalam penjelasan masih menggunakan kata “penghinaan”.
8. Pemidanaan Soal Aborsi
Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470 dalam RKUHP versi 2019. Misalnya, pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun bui. Orang yang menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5 tahun, sesuai isi pasal 470 RUU KUHP. Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya.
Pasal-pasal bermasalah soal aborsi itu dinilai rentan merugikan perempuan korban perkosaan, penyuluh kesehatan reproduksi, dan petugas KB.
Dalam versi yang diumumkan 25 Mei kemarin, poin-poinnya telah direformulasikan. Misalnya, dalam Pasal 414 sampai 416, terdapat pengecualian jika dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan. Aborsi juga diperkenankan untuk usia anak, hanya saja “tidak ditujukan buat orang dewasa”. Namun, dalam Pasal 467 ayat (2), aborsi diperbolehkan untuk “kehamilan disebabkan karena perkosaan yang usia kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu menurut standar WHO.”
Namun, aturan ini masih merugikan perempuan korban perkosaan (terutama yang memutuskan menggugurkan ketika kehamilan lebih dari 12 minggu), sebab pasal tentang aborsi dan perkosaan telah dicabut dari draf usulan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan April lalu.
9. Pasal tentang Gelandangan
Pasal 431 tentang gelandangan dalam RUU KUHP adalah satu satu yang tidak diganti dari versi 2019. Pasal ini mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp1 juta. Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu, pada Tirto 2019 lalu, mendesak penghapusan pasal ini sebab ia warisan kolonial yang menilai gelandangan sebagai: Orang tidak berguna akibat kesalahan dalam hidupnya.
10. Pasal Zina
Pasal Zina yang sebelumnya diatur dalam Pasal 417 dalam RKUHP versi 2019, kini diatur dalam Pasal 415. Tak ada perubahan berarti. Ia masih berbentuk delik aduan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Klausul ini dikritik Amnesty International dan Aliansi Nasional, karena sangat berpotensi memunculkan tindakan persekusi dan penyalahgunaan wewenang. Yang paling penting, pasal tersebut dapat melanggar hak atas privasi yang dengan jelas dilindungi dalam hukum HAM internasional.
11. Pasal Kohabitasi (Tinggal Bersama Pasangan Belum Menikah)
Pasal kohabitasi versi 2019 diatur dalam Pasal 418. Dalam versi yang direvisi dan akan disahkan Juli nanti, ia tercantum dalam Pasal 416 dengan sedikit sekali perubahan. Pasal ini ingin mempidanakan setiap orang yang hidup bersama seperti suami istri di luar perkawinan. Dalam versi yang direvisi, yang berhak mengadu dibatasi hanya oleh suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan atau orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Kepala desa, yang dalam versi 2019 berwenang melaporkan, kini dihapus.
Namun, kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa paksaan) sebetulnya mengancam privasi warga. ICJR khawatir delik aduan bisa memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan. Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses dokumen perkawinan resmi.
12. Pasal Perkosaan
Dalam versi yang direvisi 25 Mei lalu, definisi perkosaan mengalami perluasan. Jika dalam KUHP kita perkosaan hanya terjadi jika ada penetrasi lewat alat kelamin, maka dalam versi RKUHP, definisi itu diperluas sebagai berikut:
Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan cabul berupa: a) memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain; b) memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya sendiri; atau c) memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.
Istilah “sesama jenis” yang sebelumnya diatur dalam Pasal 420 versi RKUHP 2019 telah dihapus.
Baca juga: Aliansi Nasional: RKUHP Masih Berpotensi Kriminalisasi Kelompok Rentan
Tak Perlu Buru-buru Disahkan
Banyaknya kontroversi ini bikin rakyat waswas dengan upaya DPR dan Pemerintah yang terkesan buru-buru ingin mengesahkan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengklaim belum ada perubahan substansia yang ada dalam revisi terbaru RKUHP.
Ketua KontraS Fatia Maulida, kepada Kompas TV menyebut, RKUHP memiliki gejala seperti Undang-undang Omnibus Law (Cipta Kerja). Sebab tidak memberikan akses bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk memberikan masukan. Menurutnya, masih ada banyak pasal-pasal bermasalah yang perlu dibahas lagi dan diberikan waktu lebih panjang.
Misalnya, pasal yang membahas pidana mati, pencemaran nama baik bagi penguasa negara, penistaan agama, makal, hingga soal demonstrasi.
Senada dengan Fatia, Bivitri Susanti selaku pakar hukum tata negara, juga menyampaikan bahwa urgensi mengesahkan RKUHP perlu ditunda. Kepada Kompas TV, ia mengakui bahwa progres pembahasan RKUHP di DPR perlu diapresiasi karena Indonesia perlu beranjak dari KUHP hari ini yang masih bernapas kolonialisme.
“Jadi jangan ditutup dulu (pembahasan RKUHP-nya),” kata Bivitri. Ia menyayangkan sejumlah pihak di DPR dan Pemerintahan yang ingin mengesahkan RKUHP secepatnya sampai mengeluarkan pernyataan agar rakyat yang tak setuju mengajukan uji materi ke MK, setelah RKUHP disahkan Juli mendatang.
“Apakah kita butuh KUHP? Apakah kita setuju ada KUHP nasional? Setuju! Tapi, saya kira prosesnya itukan tidak bisa dihitung dari tahun 84 (tahun rezim Orde Baru mencetuskan reformasi KUHP),” kata Bivitri di Kompas TV.
“Jangan kalau tidak setuju (malah menyarankan) ke MK. Saya kira bukan begitu caranya. Karena sebenarnya kita masih ada waktu untuk membincangkannya secara deliberatif.”