Wacana ‘Pidana LGBT’ di RKUHP, Bagaimana Nasib Mereka Kini?
Dimasukkannya pasal pencabulan LGBT dalam RKUHP adalah contoh pelanggaran HAM. Preferensi seksual warga mestinya dilindungi negara.
Kegelisahan kembali meliputi transpuan di sebuah kota di Sumatera, ketika stasiun TV menayangkan berita ancaman kriminalisasi Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Pasalnya, informasi yang terus beredar belakangan semakin memperkuat stigma, bahwa orientasi seksual selain heteroseksual adalah penyimpangan.
“Kok gini, ya?” Kevin, transpria dan Program Manajer Jaringan Transgender Indonesia (JTID), menirukan ekspresi teman-teman transpuan lainnya usai menonton berita. Keamanan yang semakin terancam, membuat mereka panik dan takut. Apalagi belakangan, sejumlah intelijen datang menghampiri, dan menunggu di tempat mereka tinggal tanpa alasan jelas.
“Cara mereka bersosialisasi kan ngumpul di salon, dan jumlahnya lumayan banyak. Jadi cukup kelihatan (kalau mereka transpuan),” cerita Kevin saat dihubungi Magdalene, (1/6).
Kegelisahan Kevin ini bermula dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD pada (18/5) lalu. Saat menghadiri acara Simposium Nasional Hukum Tata Negara di Bali, ia menyinggung ancaman pidana untuk LGBT yang sudah masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
“Di RKUHP di pidana, di RKUHP sudah masuk bahwa LGBT itu dalam cara-cara tertentu dan ekspos tertentu, dilarang dan ada ancaman pidananya,” tuturnya dikutip dari CNN Indonesia.
Sebenarnya pada 2017, lanjutnya, pemerintah telah menyatakan sikap terhadap LGBT. Namun, sejumlah LSM berdemonstrasi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar LGBT tidak dilarang. Alhasil pengesahannya tertunda hingga kini.
Namun, saat wacana kriminalisasi itu diangkat kembali, situasi ini kian menekan kawan-kawan LGBT. Kevin menyebutkan, untuk sementara waktu, para transpuan di kotanya terpaksa harus mengurangi waktu berkumpul. Bahkan, ada yang mengungsi ke kota lain, dan mencari bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai persiapan melindungi diri. Kondisinya kacau karena pemberitaan di luar sana yang masih simpang siur.
“Sebenarnya kalau ngumpul, teman-teman cuma berdiskusi atau ngobrol. Tapi ada juga yang berkegiatan di salon, atau mungkin punya warung,” jelas Kevin.
Baca Juga: Tiga Pelajaran Penting dari Ragil Mahardika yang Diabaikan Media
Sudut Pandang Negara yang Heteronormatif
Dalam pernyataannya, Mahfud tidak menjelaskan secara gamblang cakupan LGBT yang akan dikriminalisasikan. Namun, Anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menegaskan kepada CNN Indonesia, yang dipidanakan adalah perbuatan cabul, bukan LGBT.
“Yang disebut dengan pasal pidana LGBT itu sebetulnya enggak pas istilahnya. Yang pas itu, pasal perbuatan cabul yang dilakukan sesama jenis,” katanya.
Yang dirujuk Mahfud tertulis dalam Pasal 421 RKUHP. Perbuatan itu mencakup perilaku yang melanggar norma kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan lain yang tidak senonoh, dan selalu berkaitan dengan nafsu birahi atau seksualitas. Adapun makna pencabulan diperluas, dengan menyebutkan perbuatan tersebut dilakukan terhadap orang lain yang berbeda, atau sama jenis kelaminnya.
Magdalene mencoba mengaji draf yang sebelumnya pernah beredar pada 2019. Lalu bermaksud membandingkannya dengan draf teranyar, tapi sayangnya, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyebutkan kepada Tempo.co, perubahan draf itu belum dibuka pemerintah secara transparan. Untuk meluruskan hal ini, Magdalene menghubungi sejumlah anggota legislatif, termasuk Luluk Hamidah, Rieke Diah Pitaloka, hingga Arsul Sani. Namun, tidak satu pun memberikan tanggapan.
Kendati demikian, Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra mengatakan, pidana sesama jenis juga seharusnya tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, peraturan itu bersifat diskriminatif.
“Orientasi seksual itu kan preferensi. Tidak dibenarkan kalau negara membatasi, karena ini sangat privat,” terangnya pada Magdalene.
Nantinya, jika pilihan itu semakin dibatasi, negara akan semakin melanggengkan homofobia di masyarakat dengan pemahaman heteronormatif yang dianut.
Masalahnya, saat ini sebagian masyarakat masih mengategorikan heteroseksual sebagai standar “normal”. Fakta itu dapat dilihat melalui hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Pada 2018, 41,1 persen responden menilai LGBT tidak punya hak hidup di Indonesia.
Karena itu, apabila pemahamannya diteruskan oleh pemerintah, Daniel menyebutkan ada kemungkinan pasal-pasal mengkriminalisasikan LGBT ditetapkan.
“Kalau legislator kita bersama pemerintah kemudian melanggengkan cara pandang itu di masyarakat, artinya sebagai suatu bangsa, kita terjebak dalam satu paradigma kerangka moral bernegara,” terang Daniel.
Baca Juga: Memohon Empati dan Akal Sehat untuk LGBT
Realitasnya, sejumlah anggota legislatif berpendapat belakangan ini LGBT dikampanyekan secara masif. Beberapa di antara mereka bahkan menilai upaya Mahfud MD untuk mengkriminalisasi perlu didukung. Salah satunya ialah Bukhori Yusuf, anggota Komisi VIII DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dalam pernyataan tertulis yang dilansir CNN Indonesia, ia menyatakan RKUHP perlu segera disahkan, lantaran telah memuat aturan pidana yang mencakup LGBT. Ia juga melihat RUU ini dapat mengisi kekosongan hukum soal LGBT.
Yang dikhawatirkan apabila wacana pidana LGBT disahkan, nantinya mereka akan mendiskriminasi, mengecualikan LGBT, melakukan favoritisme, dan membatasi sehingga mereka tidak mendapatkan haknya. Padahal, realitasnya saat ini masyarakat heteroseksual jauh berprivilese. Sementara kawan-kawan LGBT masih tidak memiliki tempat.
Hal itu terlihat dari keterbatasan mereka dalam mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan yang layak, pengurusan dokumen negara, hingga memiliki ruang aman.
Mungkin kamu masih ingat, betapa homofobia masyarakat yang kompak meminta Deddy Corbuzier menurunkan podcast-nya bersama Ragil Mahardika. Kontennya dianggap bikin gaduh dan memberikan dukungan terhadap LGBT, katanya. Karena tekanan publik yang terbilang masif, mantan pesulap itu mengabulkan permohonan mereka.
Tengok juga teman-teman transpuan yang kebanyakan bekerja di salon dan mengamen. Kenyataannya, mereka enggak punya banyak pilihan dalam menentukan lapangan pekerjaan. Pasalnya, kebanyakan pekerjaan masih menganut konsep heteronormativitas dalam rekrutmen, sehingga menutup pintu bagi orang-orang yang identitasnya di luar gender biner.
Terlepas dari keterbatasan itu, Daniel menegaskan, kekeliruan penyebutan oleh Mahfud MD untuk mengkriminalisasi LGBT, juga semakin menciptakan stigma di masyarakat. Padahal, seharusnya negara cukup mengatur perbuatan seksual dalam ranah tindakan konsensual, dan tidak dilakukan seseorang yang belum cukup usia.
“Begitu negara masuk (ke ranah privasi), melanggengkan pemahaman yang dianggap benar oleh masyarakat, di saat itu juga negara sudah melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) secara sistematis karena melakukan opresi,” tegasnya.
Baca Juga: Media dan Sistem Peradilan Tak Adil pada Tersangka LGBT
Bagaimana Ruang Aman Bisa Diciptakan?
Lewat keberpihakannya terhadap heteronormativitas, dapat dikatakan negara tidak menghargai kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat. Dengan kata lain, mereka memberlakukan syarat dan ketentuan dalam kemerdekaan subjek hukum dewasa.
Padahal, seharusnya negara menekankan, setiap masyarakat berhak memiliki hak-hak dasarnya—termasuk menentukan identitas gender dan orientasi seksual, tanpa tekanan atau rasa takut.
“Ini bukan masalah mendukung hak LGBT atau bukan, tapi mendukung kebebasan dasar seseorang supaya dihargai negara,” kata Daniel. “Tentu jadi tanggung jawab kita semua, dan ini bahaya kita bersama.”
Karena itu, menurutnya ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengupayakan hak-hak dasar LGBT sebagai warga negara.
Pertama, perlawanan terhadap stigma. Masalahnya, perspektif masyarakat tentang LGBT masih sangat negatif. Contohnya, kita sering mendengar atau melihat berita soal pembawa bencana yang dikaitkan dengan tafsir keagamaan, seperti Sodom dan Gomora.
Kenyataannya, perkara gender dan kemanusiaan tidak dapat dilihat sebagai hitam dan putih, benar atau salah. Ujung-ujungnya justru tidak memberikan rasa kemanusiaan yang sama terhadap LGBT, kemudian semakin memberikan pengecualian seolah mereka tidak berhak diperlakukan pantas di masyarakat.
Kedua, menghapuskan diskriminasi di masyarakat, baik oleh masyarakat maupun aktor negara. Misalnya memudahkan akses layanan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan pengurusan dokumen negara. Hak-hak dasar yang seharusnya terpenuhi tanpa pengecualian.
Diskriminasi akses ini sendiri pernah diterima oleh Kevin ketika membuka akun di bank. “KTP-ku masih nama lama, walaupun fotonya udah baru yang sekarang. Mereka tuh mempersulit verifikasinya gitu, jadi banyak tahapnya,” akunya.
Kemudian, setelah stigma dan diskriminasi dilawan dan dihentikan, hal terakhir yang dibutuhkan adalah jaminan hukum yang tidak mendiskriminasi.
“Jaminan hukumnya bisa kayak begini karena pemahaman di masyarakat masih salah kaprah. Lalu praktik diskriminasinya dibenarkan sama masyarakat,” jelas Daniel.
Ketiganya harus dijalani baik offline maupun online, karena sampai saat ini, kawan-kawan LGBT masih terbatas dalam mengekspresikan diri di kedua ruang tersebut. Karena itu, ia menilai jaminan hukum yang inklusif dan adil untuk setiap orang, sangat penting untuk menjadi landasan.
Namun, apakah melakukan ini semua cukup untuk teman-teman LGBT? Saya bertanya pada Kevin, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka?
“Banyak, isih, tapi semudah mengakui keberadaan kita (LGBT) aja kok, sama kayak individu lainnya tanpa harus melihat gender,” jawabnya.