Apa itu Wibu: dari Sejarah Munculnya Sampai Stigma Pahit yang Nempel
Tahu enggak, sih? Wibu itu kata sindiran penuh stereotip buat penggemar budaya pop Jepang. Dari mana sih munculnya?
Aku masih ingat kejadian itu. Kejadian satu setengah tahun lalu, ketika aku masih mengajar anak-anak Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di sebuah tempat bimbel di Depok.
Siang itu, seperti hari-hari sebelumnya aku berjalan kaki ke tempat bimbel. Karena cuaca hari itu sangat panas, aku memutuskan untuk mengajar dengan menggunakan kaos bergambar karakter dari anime Jujutsu Kaisen. Anime yang saat itu memang sedang populer hingga Uniqlo mengeluarkan seri khusus kaosnya.
Aku memang termasuk mereka yang punya kecintaan khusus pada budaya populer Jepang. Aku suka memakai kaos bergambar anime. Begitu pun mengoleksi photocard atau gantungan kunci bergambar karakter anime kesukaanku. Orang-orang di sekitarku seperti keluarga hingga teman juga tak pernah menyindir kesukaanku ini. Tapi hari itu untuk pertama kalinya aku mendapatkan ejekan dari muridku sendiri.
“Ih kak Jasmine wibu ya? Pake kaos begitu ih!”
Begitu ucap salah satu murid laki-lakiku. Aku sontak kaget dan bertanya balik padanya apa yang ia tahu tentang julukan itu. Jawabannya saat itu cukup buatku kaget. Katanya wibu itu kumpulan orang-orang “aneh” yang terobsesi dengan budaya Jepang.
Julukan wibu yang berkonotasi negatif ini juga dialami oleh “Giselle” (26) dan Rie (30). Dia cerita padaku, kakak iparnya suka menyindir dengan julukan wibu. Menurut kakaknya, wibu suka terobsesi berlebihan pada budaya Jepang, sampai jadi anti sosial karena lebih memilih enggak gaul.
“Sering bilang ke keponakannya ‘Tuh main sama tante wibu (Giselle)’. Dia suka nyinyirin orang wibu gitu, kaya wibu freak lah, segala macam. Kadang saking gedeg-nya sama dia, gue doain anaknya jadi wibu,” cerita Giselle.
Tak jauh berbeda dengan Giselle, Rie juga mengalami hal sama. Ia sering dikata-katai teman-temannya sendiri.
Rie bercerita kepadaku, setiap berkumpul bersama teman-temannya, mereka suka sekali mengejek dan menertawakan para wibu. Kecintaan Rie terhadap One Piece dan Zoro sebagai karakter favoritnya pun, jadi bahan ejekan.
“Acara TV atau berita kan suka memberitakan cowok menikah sama karakter favoritnya terus orang-orang Jepang sampe sujud ke shinkansen yang ada gambar karakter favorit mereka. Nah berita kayak gini dibawa terus pas kumpul. Sampe mereka ngetawain ini as a freak thing dan bilang ke aku, ‘You enggak bakal gini kan?’”
Baca Juga: The Problems with ‘Kawaii’ Girls
Istilah Wibu Yang Lahir sebagai Slang yang Merendahkan
Pengalamanku, Giselle, dan Rie memperlihatkan bagaimana julukan wibu nyatanya memang punya stigmanya sendiri di masyarakat. Secara umum stigma ini mengacu pada beberapa stereotip bahwa wibu adalah individu yang aneh, anti-sosial, dan fanatik pada suatu hal yang enggak seharusnya mereka sukai. Ya, mereka suka animasi dan komik. Dua hal yang dipandang masyarakat hanya boleh dikonsumsi oleh anak-anak.
Jujur, buat seseorang yang bahkan masuk jurusan Sastra Jepang karena kesukaanku terhadap budaya populer Jepang, stigma ini sangat mengganggu. Bahkan cenderung membuatku kesal. Aku jadi penasaran sejak kapan sih stigma wibu ini ada dan jadi julukan yang dilontarkan untuk memandang rendah individu lain?
Untuk mencari jawabannya, aku pun mencoba menelusuri sejarahnya.
Dalam Japanese Animation in America and Its Fans yang ditulis Jesse Christian Davis, dijelaskan bahwa sejarah munculnya istilah wibu tak bisa dipisahkan dari terciptanya slang wapanese (singkatan dari white Japanese atau wannabe Japanese). Muncul pada 2002, era di mana internet mulai jadi bagian dari hidup masyarakat dunia dan forum diskusi daring jadi taman bermain baru bagi banyak orang.
Pada awalnya, slang ini digunakan untuk merendahkan orang-orang kulit putih yang terobsesi dengan budaya populer Jepang, termasuk di dalamnya anime dan manga. Namun, seiring berjalannya waktu slang ini kemudian digantikan dengan istilah weeaboo yang pertama kali muncul dari komik “The Perry Bible Fellowship” yang ditulis oleh Nicholas Gurewitch.
Gurewitch sebenarnya tak pernah secara eksplisit menjelaskan arti dari weeaboo sendiri. Tetapi pada 2005 seorang moderator di sebuah forum situs 4chan menggunakan istilah ini untuk menggantikan slang wapanese yang sudah lama digunakan. Bedanya dengan wapanese yang secara spesifik mengacu pada orang kulit putih, slang weeaboo mengalami perluasan makna. Weeaboo (yang dalam bahasa Indonesia menjadi Wibu) dalam hal ini mengacu pada individu yang bukan orang Jepang tetapi sangat mencintai kebudayaan Jepang bahkan cenderung mengapropriasinya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Karenanya dalam penelitian Jacob Lacuesta, akademisi dari San Francisco State University dinyatakan weeaboo tak lain adalah individu yang mengalami disforia rasial. Para weeaboo ini berada dalam suatu keadaan di mana mereka tidak puas dengan kualitas hidup mereka sendiri.
Mereka memandang Jepang adalah dunia impian mereka, sehingga mereka merasa perlu memberikan “penghormatan” pada hal-hal yang mereka sukai. Mengadopsi gaya hidup orang Jepang seperti apa yang mereka lihat di anime jadi salah satu usaha mereka terintegrasi dalam subkultur ini.
Mulai dari menggunakan bahasa campuran bahasa Jepang dengan bahasa ibu mereka, mengadopsi fesyen orang-orang Jepang atau memakai atribut dari anime yang mereka suka, datang ke acara-acara festival Jepang, hingga pergi ke Jepang langsung. Melakukan napak tilas ke tempat-tempat yang punya nilai budaya dan historis dalam budaya populer Jepang, seperti distrik Akihabara misalnya. Ekstremitas mereka inilah yang terkadang membuat mereka merasa seperti orang Jepang.
Baca Juga: ‘Jouhatsu’, Ketika Seseorang Sengaja Menghilang dari Muka Bumi
Asosiasi Stigma Otaku dan Wibu di Indonesia
Kini kita telah mengetahui asal mula munculnya istilah wibu, tapi ada satu hal lagi yang perlu kita bahas dari istilah ini. Secara spesifik di Indonesia. Hal ini tak lain karena konstruksi identitas wibu di Indonesia selalu diasosiasikan dengan otaku.
Hiroki Azuma, kritikus budaya Jepang menjelaskan otaku adalah istilah umum yang mengacu pada mereka yang menikmati bentuk subkultur yang terkait erat dengan anime, video game, komputer, fiksi ilmiah, film efek khusus, action figurines, dan sebagainya. Sederhananya, istilah otaku digunakan untuk mendefinisikan orang-orang yang betul-betul mendalami suatu subkultur atau hobi. Apa pun itu.
Melihat dari definisi ini istilah otaku memang tak punya konotasi negatif karena semua orang punya potensi menjadi bagian darinya. Namun, istilah ini pada 1990-an hingga 2000-an awal mulai mengalami pergeseran makna tak hanya di masyarakat Jepang tapi dunia. Hal ini ditandai oleh kasus penculikan dan pembunuhan oleh Tsutomu Miyazaki.
Dalam buku Otaku and the Struggle for Imagination in Japan (2019) dijelaskan pada 23 Juli 1989, laki-laki berusia 26 tahun ini melakukan penculikan dan pembunuhan empat anak perempuan berusia empat sampai tujuh tahun. Ketika polisi menggeledah bungalo miliknya, polisi menemukan kumpulan koleksi kaset video porno dan film sub genre slasher yang sayangnya diframing media sebagai anime dan manga.
Pemberitaan media ini lantas memicu kepanikan moral yang meluas terhadap otaku di Jepang. Dari kejadian ini otaku perlahan dilekatkan dengan stigma negatifnya dengan pemberitaan seputar otaku selalu berpusat pada perilaku ekstrem individunya.
Stigma inilah yang kemudian meluas hingga ke Indonesia. Dalam penelitian Pengaruh Globalisasi Terhadap Penyalahgunaan Istilah Weeaboo dan Otaku Bagi Kaum Muda Indonesia di Jawa dan Bali, dijelaskan di julukan otaku mulai populer utamanya di kalangan pecinta budaya populer Jepang pada 2000-an. Tahun-tahun di mana banyak stasiun televisi nasional Indonesia menayangkan versi dubbing anime-anime populer.
Pada tahun-tahun ini istilah otaku mulai masuk dengan sisa residu negatif dari kasus Miyazaki yang kemudian lebih umum dikenal untuk mengidentifikasi orang-orang yang terobsesi terhadap budaya populer Jepang. Sampai pada level mereka rela mendedikasikan hidup mereka padanya. Obsesi yang dianggap berlebihan apalagi dengan pemberitaan otaku yang menikahi karakter 2D dan melakukan hal ekstrem lain secara perlahan menciptakan stereotip otaku.
Mereka inilah orang-orang yang anti sosial, suka menyendiri di rumah tenggelam dalam hobinya, dan jorok. Tapi belakangan ini istilah otaku di Indonesia mulai digantikan dengan wibu. Hal ini dikonfirmasi oleh Diah (28) dan Sarah (27), dua temanku yang mengidentifikasi diri mereka sebagai wibu.
Diah yang juga merupakan lulusan Sastra Jepang mengatakan jika satu dekade lalu istilah otaku lebih dikenal. Namun, kini istilah wibu jadi lebih populer untuk menggambarkan orang-orang yang punya obsesi terhadap anime dan manga. Ia bahkan harus beradaptasi dengan pergeseran makna dan pandangan baru tentang wibu ini. Sarah pun mengatakan hal yang kurang lebih sama.
“Kayaknya sejak aku kuliah, kira-kira 2014 ke atas kata wibu mulai lebih banyak dipake deh. Sebenernya arti otaku sama wibu beda sih ya tapi kalau konteksnya dipake di Indonesia. Itu jadi julukan yang sama artinya. Konotasinya sama. Negatif,” jelas Sarah.
Tapi apakah benar wibu itu seburuk apa yang masyarakat stigmakan masyarakat? Jawabannya tentu tidak. Layaknya fandom K-Pop yang didominasi perempuan yang punya stigmanya sendiri, stigma yang ditempelkan kepada wibu tak lebih hanyalah generalisasi dari segelintir orang saja.
Baca Juga: ‘Kawaii’: Subkultur Jepang yang Membelenggu tapi Membebaskan
Dalam penelitian Anime as Japanese Intercultural Communication: A Study of the Weeaboo Community of Indonesian Generation Z and Y terlihat keragaman demografi wibu yang terdiri dari berbagai individu dari ragam identitas dan latar belakang sosial pendidikan. Banyak dari mereka punya pekerjaan yang stabil dan punya pasangan di kehidupan nyata. Sangat berbeda dengan apa yang distigmakan pada mereka kalau mereka hanya mau dengan karakter 2D dan menikahinya. Atau sangking terobsesinya dengan anime dan manga jadi antisosial dan mengurung diri di kamar without any proper job to fill the stomach.
Dengan mewawancarai 40 orang Indonesia dari berbagai rentang usia 15 sampai 42 tahun, Debra dan Z. Hidayat juga memperlihatkan para wibu justru memiliki sense of belonging yang kuat. Mereka membangun jejaring mereka sendiri dan menginisiasi berbagai komunikasi intens antar sesamanya di ruang daring atau luring. Mereka mengafirmasi kesukaan tiap individu dengan saling bertukar perbincangan seputar hobi mereka bahkan informasi juga pengetahuan di luar kecintaan mereka terhadap budaya populer Jepang.
Shinta (28), lulusan Sastra Jepang yang kini bekerja sebagai penerjemah juga mengkonfirmasi hal ini. Dalam perbincanganku bersamanya, dia mengungkapkan jauh dari apa yang distigmakan masyarakat, ia atau teman-temannya misalnya tidak seterobsesi itu sampai setiap saat hanya mengkonsumsi anime dan manga dan enggan bersosialisasi.
“Ya aku sosialisasi sama temen-temen yang lain juga. Kalau bahas sesuatu kita (Shinta dan teman-temannya) juga bisa tiba-tiba ngomongin hal lain. Misalnya serial TV Amerika, manhwa atau danmei juga. Pasti aku sesuaikan juga topik yang aku omongin ke setiap relasi yang ada”
Kata-kata Shinta pada akhirnya mengingatkanku pada kalimat terakhir yang Diah ucapkan padaku. Ia mengatakan tak ada salahnya menjadi wibu. Selama identitas yang kita ampu ini tak merugikan diri kita dan sendiri orang lain, kenapa tidak? Toh setiap orang punya seleranya masing-masing. Siapa kita yang punya hak untuk menghakimi seseorang untuk jadi bahagia?