Diserang Wibu Misoginis, Ini Pelajaran yang Bisa Saya Tarik
Setelah dirisak dan dilecehkan para laki-laki wibu atau penggemar budaya pop Jepang, reporter Magdalene bertekad melawan.
Bulan lalu, selama dua minggu hati saya gelisah dan saya paranoid dengan orang lain. Hal itu akibat ancaman dan caci maki yang dilancarkan para laki-laki wibu alias penggemar kartun dan animasi Jepang.
Awalnya adalah ketika saya menjadi pembicara dalam sebuah panel di Comifuro 2020, sebuah acara yang menjadi tempat menyalurkan minat dan bakat pembuat karya kreatif budaya pop. Selain pameran dan bazar, acara yang diadakan setahun dua kali itu juga menampilkan panel-panel diskusi bertema budaya pop.
Sebagai scomic nerd, aya langsung mendaftarkan diri menjadi panelis. Saya ingin membahas tentang penggambaran tokoh perempuan di komik isekai. Isekai merupakan genre fantasi dengan tokoh utama yang biasanya memiliki kehidupan biasa-biasa saja, namun kemudian berpindah ke dunia atau dimensi lain dan menjadi semacam pahlawan atau tokoh penting di sana.
Saya sangat kagum dengan perubahan dalam genre ini karena yang saya amati, sebagian besar cerita yang populer dalam genre isekai ini biasanya sangat misoginis dan seksis. Namun belakangan banyak tokoh perempuan yang badass dan berdaya muncul dalam genre ini.
Rasanya kaget dan bercampur senang ketika topik saya terpilih, hanya satu minggu sebelum acara digelar pada 22-23 Februari 2020. Sebagai persiapan, saya menyempatkan diri berdiskusi panjang dengan sahabat cowok saya, “Ipan”. Kami berdua memutuskan bahwa presentasi saya akan membahas alasan-alasan kenapa genre ini dipenuhi dengan cerita misoginis dan seksis.
Baca juga: Bangkit dari Kematian, Berantas Ketidakadilan: 7 Komik Isekai yang Wajib Dibaca
Secara singkat, ada dua hal yang saya tekankan dalam panel isekai saya. Pertama, orang-orang ingin mencari pelarian dan hiburan dari kehidupan mereka yang dirasa datar-datar saja. Ketika membaca cerita-cerita isekai, mereka bisa menjadi apa pun yang mereka mau: Jagoan, putri raja, ilmuwan, bahkan monster, tinggal pilih saja petualangan seperti apa yang ingin dilalui.
Kedua, saya menyoroti ketimpangan gender di dalam sistem masyarakat kita, di mana laki-laki dianggap “ditakdirkan” menjadi pemimpin, tidak boleh cengeng, harus kuat dan macho. Sementara itu, peran perempuan hanya menjadi pengikut saja.
Di antara cerita-cerita yang problematik tersebut, perubahan cerita dan karakter perempuan dalam genre Isekai ini patut diapresiasi, karena karakter-karakter perempuan ini benar-benar melawan ketimpangan yang mereka alami bukan dengan cara kembali menindas.
Tidak ada tempat aman bagi perempuan
Setelah panel saya selesai, diskusi pun dimulai dan untuk pertama kalinya dalam hidup saya selama 24 tahun, saya mendapat mansplaining super dari seorang penonton laki-laki. Hampir 15 menit lebih cowok itu menjelaskan hal-hal yang sebetulnya sudah saya paparkan sebelumnya. Dan tidak ada pertanyaan yang dia lontarkan. Beberapa kali panitia mencoba menghentikan si laki-laki ini namun gagal. Meski agak kesal, saya tersenyum sambil menyindir, “Mas kalau mau menjelaskan, silakan ke depan saja.”
Beberapa penanya sesudahnya, juga laki-laki, juga tampak hanya mengetes atau trolling. Cuma penanya perempuan yang betul-betul memperlihatkan rasa ingin tahu dan keresahan mereka.
Saya lega ketika acara selesai. Saya pikir yang terberat sudah lewat, tapi ternyata tantangan baru dimulai setelahnya. Tapi sore setelah acara, seorang teman mengirim pesan di Facebook.
Baca juga: 9 Manga Wajib Baca dengan Karakter Bapak Rumah Tangga
“Panelmu diomongin yang enggak-enggak sama banyak wibu laki-laki. Dan kamu dibilang SJW (social justice warrior, label peyoratif untuk orang yang peduli isu sosial) yang menyusup ke Comifuro,” ia menulis, sambil melampirkan beberapa tangkapan layar dari sebuah status Facebook seorang laki-laki.
Sebetulnya istilah weaboo atau wibu awalnya merupakan hinaan untuk orang-orang kulit putih penggemar budaya pop Jepang, yang menganggap budaya Jepang lebih hebat daripada budaya lainnya. Namun, pengertiannya kemudian bergeser pada siapa pun yang menganggap budaya Jepang lebih superior.
Awalnya saya santai saja, malah sedikit bangga karena panel saya ternyata disimak oleh orang-orang ini. Tapi besoknya, serangan mulai berdatangan. Komentar-komentar di unggahan si cowok wibu itu menuduh saya tidak memberikan kesempatan pada penonton laki-laki untuk berdiskusi. Meskipun mereka mengaku tidak datang ke panel saya itu.
Beberapa teman mulai khawatir dengan perkembangan ini, dan meminta saya untuk mengunggah video rekaman panel saya yang diambil oleh Ipan. Saya dan Ipan pun memutuskan untuk mengunggah video di akun Facebook Ipan. Hasilnya? Serangan berdatangan. Ada yang menganggap saya bodoh karena mereka bersikukuh, komik dan kartun itu sekadar hiburan belaka, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata. Ada banyak sekali cacian kasar. Dan ada ancaman membunuh. Sungguh wow.
Akun-akun pribadi saya di Facebook dan Instagram pun dibanjiri pesan bernada kasar dari mas-mas wibu. Beberapa hari kemudian, seorang teman memberitahukan bahwa ia mendengar kabar, foto saya tersebar di grup privat sebuah forum dan foto tersebut dimanipulasi sehingga terlihat seperti pornografi.
Baca juga: ‘Cardcaptor Sakura’, Anime yang Perkenalkan Saya pada Dunia Queer
Saat itu saya syok, takut dan marah terhadap laki-laki yang menyerang saya. Sebagian besar laki-laki di kolom komentar tersebut hanya menyerang saya secara pribadi, bukan mendebat atau mengkritik materi yang saya sampaikan. Saya sadar, materi presentasi saya tidak sempurna, tapi serangan dan teror ini jelas terjadi karena saya perempuan. Saya jadi takut di jalan tiba-tiba ada wibu yang menyerang saya secara fisik.
Tapi dalam kemarahan juga kesedihan ini, saya bersyukur banyak dukungan dari teman-teman. Ada juga kiriman pesan di Instagram dari seorang penonton perempuan yang berterima kasih atas presentasi saya. Ia merasa pemikirannya selama ini akhirnya disuarakan oleh seseorang.
Saya menyadari bahwa komunitas pencinta budaya pop Jepang ini dipenuhi oleh laki-laki misoginis dan merendahkan perempuan. Semakin mereka menyerang saya dengan kata-kata tidak pantas, semakin saya percaya bahwa hipotesis yang saya sampaikan di panel benar adanya.
Daripada dicekam dalam rasa takut dan waswas, saya mulai mengumpulkan keberanian lagi dan semakin getol untuk membicarakan budaya pop Jepang, Korea Selatan, dan Cina dalam perspektif gender. Jika genre Isekai bisa memberikan kesempatan kedua untuk kehidupan yang lebih baik dan tidak ada ketimpangan di dunia tersebut, kenapa tidak mulai membuat imajinasi itu jadi nyata?