Lifestyle

5 Alasan Kita Harus Berhenti Merecoki Pasangan Beda Agama

Sudah saatnya kita berhenti merecoki pasangan beda agama. Bukan urusan kita, oy!

Avatar
  • January 23, 2020
  • 4 min read
  • 1364 Views
5 Alasan Kita Harus Berhenti Merecoki Pasangan Beda Agama

Waktu aktris dan seniman Happy Salma menjalin hubungan dengan seorang laki-laki berdarah Bali beberapa tahun silam, masyarakat ramai membicarakannya. Fokus pembicaraannya bukan bagaimana mereka pasangan yang kece berat, tapi soal perbedaan agama antara keduanya.

Waktu mereka akhirnya menikah, berbagai infotainment beramai-ramai memberitakan perbedaan itu. Dimulai dari apakah Happy tetap memeluk agama Islam atau berpindah memeluk agama Hindu untuk mengikuti agama suaminya, respons keluarga dan sahabat, sampai kumandang ayat Al-Quran yang terdengar di resepsi pernikahan. Padahal, keputusan apa pun yang berkaitan dengan agama merupakan urusan pribadi individu yang tak seharusnya dicampuri oleh siapa pun.

 

 

Banyak lagi tokoh publik yang mendapat sorotan negatif karena berbeda agama dengan pasangannya. Apalagi jika ketahuan pindah agama dari muslim menjadi non-muslim, maka all hell will break loose. Sekali lagi, apa pentingnya urusan agama satu orang untuk jadi masalah orang satu Indonesia?

Bahkan jika pasangan yang berbeda agama adalah sahabatmu, atau kakak/adik, sepupu, itu juga bukan urusanmu dan seharusnya itu tidak menjadi isu. Mengapa? Simak alasan berikut ini, yang seharusnya bisa membuat kita semua berhenti merecoki pasangan yang berbeda agama.

  1. Agama adalah hak dan urusan personal

Memang agama masih jadi bagian penting bagi masyarakat Indonesia, dan itu sah-sah saja. Tapi banyak orang masih suka melupakan hakikat agama sebagai hak dan urusan setiap individu, termasuk keputusan untuk memilih berhubungan dengan pasangan yang memiliki keyakinan berbeda.

Baca juga: Ruang (Ny)Aman: Dilema Pernikahan Beda Agama

Agama adalah urusan personal manusia dengan Tuhan (atau dewa atau apa pun yang mereka sembah). Karena sifatnya yang personal, maka segala tanggung jawab, kewajiban, dan konsekuensi manusia dalam konteks agama menjadi masalah orang itu sendiri. Kenapa kita harus pusing memikirkan masalah yang bukan masalah kita? Kenapa kita harus mengurusi dosa (zina! gasp!) orang lain ketika dosa kita masih tak terhitung banyaknya? Terlebih, tak semua orang mau membicarakan urusan agamanya dengan orang lain. Bila terus diintervensi, lama-kelamaan perasaan tersinggung bisa saja muncul. Kalau pasangan itu saja tidak mempermasalahkannya, siapa kita untuk menghakimi?

  1. Agama bukan satu-satunya masalah di dalam hubungan

Hubungan memiliki kompleksitas masing-masing karena merupakan pertalian dua arah. Ada banyak tantangan untuk membuat dua orang bisa berjalan beriringan. Begitu juga dengan hubungan antara kekasih yang memiliki perbedaan keyakinan.

Perlu dipahami bahwa perbedaan keyakinan bukanlah satu-satunya masalah yang harus dihadapi pasangan itu. Ada soal kesamaan prinsip memaknai komitmen, pandangan hidup, belum lagi ego dan sifat masing-masing. Kalau prinsip keduanya berseberangan dan tak disertai dengan kemauan untuk berkompromi, hal itu akan menghambat keduanya untuk merasa nyaman di dalam hubungannya.

Masalah prinsipiil seperti inilah yang perlu terlebih dahulu diselesaikan karena menyangkut kesehatan dan kewarasan kedua belah pihak, ketimbang masalah agama yang merupakan urusan yang sangat pribadi. Apa pun agamanya, manusia tetaplah manusia yang memiliki ego masing-masing. Kelak, yang bisa membuat sebuah hubungan bertahan adalah kekuatan komitmen dan kesamaan visi, bukan hanya persamaan cara beribadah.

  1. Tak semua orang memproyeksikan hubungannya berakhir dalam pernikahan

Kalau masyarakat mau membuka pikirannya dan belajar menghargai agama sebagai hak dan masalah individu, bisa dipahami bahwa masalah terbesar pasangan yang berbeda keyakinan barulah timbul apabila pasangan itu memutuskan untuk menikah. Masalah itu muncul karena sistem hukum Indonesia yang tidak mengakomodasi pernikahan beda agama. Bila masalah administrasi ini tak bisa diselesaikan, sebagai warga negara, pasangan ini terpaksa harus mengalami berbagai permasalahan kependudukan.

Baca juga: Kumpul Kebo sampai TTM: Dilema Relasi Tanpa Nama

Tapi tidak semua pasangan memproyeksikan hubungan mereka untuk berakhir di pernikahan. Bisa jadi terdapat banyak hambatan dalam membangun kecocokan, hingga hambatan personal, yang membuat pernikahan rasanya terlalu sulit untuk dibayangkan. Atau mungkin memang tidak ke arah sana saja. Jadi tidak usahlah mengkhawatirkan dan meributkan pasangan yang berbeda agama. Biarkan saja pasangan itu menjalani hubungannya.

  1. Tekanan pribadi ditambah tekanan keluarga dan masyarakat

Ada pasangan berbeda keyakinan yang tidak mempermasalahkan perbedaan itu, tapi ada juga yang menganggapnya sebagai masalah. Sudah harus menghadapi pertentangan dengan diri sendiri, tak perlulah keluarga dan masyarakat menambah-nambah beban itu dengan berbagai omongan yang menyudutkan.

Setiap pasangan yang berbeda keyakinan sejak awal telah menyadari adanya perbedaan yang bisa saja menjadi hambatan di kemudian hari. Hal itu seharusnya membuat masyarakat menyadari adanya beban tambahan yang harus mereka hadapi. Hal yang bisa dilakukan adalah memberikan dukungan moral untuk menguatkan diri mereka dalam menjalani apa pun jalan yang dipilih. Kita tak pernah tahu apa yang dihadapi tiap pasangan, termasuk mereka yang memiliki perbedaan keyakinan. Jangan sampai kita memperburuk kondisi mereka dengan berbagai omongan dan tuduhan sepihak yang tak beralasan.

  1. Red flags yang lebih patut dikhawatirkan

Jika pasangan yang berbeda agama kebetulan kamu kenal, alih-alih kamu meributkan keyakinan mereka, ada hal-hal lain yang lebih penting kita khawatirkan dari pasangan pada umumnya. Bantu mereka, tanpa kepo atau terlalu ikut campur, jika kamu melihat red flags seperti tanda-tanda perilaku yang abusive. Mungkin saking temanmu juga terpaku pada perbedaan agama, dia luput dengan hal-hal lain yang seharusnya jadi perhatian.



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *