Tok! UU KUHP Sah, Selanjutnya Apa?
Semua orang bisa kena saking banyaknya pasal problematis dalam UU KUHP. Apa kita bisa menggugatnya?
Tepat hari ini, (6/12), DPR resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di rapat paripurna ke-11. Dalihnya adalah pembaruan hukum pidana, mengingat UU tersebut sudah berumur 50 tahun sejak pertama kali dibahas di era Presiden Suharto. UU ini juga berulang kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) meski kerap berujung mangkrak.
“RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi, terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana dan menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini,” ujar Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, dilansir dari CNBC Indonesia.
Ucapan Bambang sempat disambut interupsi oleh anggota fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang bermaksud memberikan catatan. Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad buru-buru memotong, “Kami akan menanyakan, apakah RUU KUHP dapat disetujui menjadi Undang-Undang?”
“Setuju,” koor serempak anggota DPR.
DPR sendiri mengakui, UU itu takkan bisa memuaskan semua pihak. Namun, mereka bilang, revisi UU KUHP telah cukup mengakomodasi masukan dari berbagai elemen masyarakat. Ini termasuk Lembaga Bantuan Hukum, Dewan Pers, akademisi, juga aktivis lainnya. Karena itulah, kata DPR, UU tersebut perlu dirayakan sebagai upaya menegakkan supremasi hukum dan kebermanfaatan.
Baca juga: Revisi KUHP Terbaru: Masih Ada Pasal Penghinaan Pemerintah dan Kohabitasi
Panen Penolakan
Magdalene menerima undangan untuk ikut dalam aksi ”Berkemah di Depan Rumah Wakil Rakyat karena Demokrasi Darurat”, (6/12) dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
“RKUHP merupakan satu dari serentetan produk hukum bermasalah yang lahir di rezim Jokowi. Proses pembentukan aturan ini sama dengan aturan bermasalah lainnya: Tidak partisipatif dan tidak transparan. Pengesahan RKUHP ini secara nyata telah membawa Indonesia menjadi negara antidemokrasi dan melanggengkan praktik korupsi.” demikian bunyi rilis tersebut.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP sendiri telah berulang kali menggelar aksi penolakan. Kemarin, (5/12), mereka juga melakukan aksi tabur bunga di depan gedung Nusantara. Alasan terbesar penolakan Aliansi adalah karena RKUHP itu dinilai memuat sejumlah pasal karet yang berpotensi merugikan masyarakat. Bahkan, bisa membuat banyak kelompok rentan, termasuk perempuan dipenjara karenanya.
Berdasarkan pemantauan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pasal-pasal yang bermasalah di antaranya, rawan membungkam kebebasan pers, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat masyarakat, diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok marginal, mengancam keberadaan masyarakat adat, dan memiskinkan rakyat.
Dalam rilis resmi mereka, ada 12 alasan kenapa publik harus ramai-ramai menolak UU KUHP:
- Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat
Frasa “hukum yang hidup di masyarakat” berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Selain itu, keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: Polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.
- Pasal terkait pidana mati
Banyak negara di dunia telah menghapus pidana mati karena merampas hak hidup manusia sebagai karunia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun, bahkan oleh negara. Selain itu, banyak kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui ketika korban telah dieksekusi.
Baca juga: Wacana ‘Pidana LGBT’ di RKUHP, Bagaimana Nasib Mereka Kini?
Keberadaan pasal terkait pidana mati di RKUHP juga mendapat sorotan Internasional. Dalam Universal Periodic Review (UPR) setidaknya terdapat 69 rekomendasi dari 44 negara baik secara langsung maupun tidak langsung menentang rencana pemerintah Indonesia untuk mengesahkan RKUHP, salah satunya rekomendasi soal moratorium atau penghapusan hukuman mati.
- Pasal menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah. Pasalnya, tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era Orde Baru.
- Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara
Pasal ini berpotensi digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan lembaga negara. Ini mengingat idak ada penjelasan terkait kata “penghinaan”.
- Contempt of court
Tidak ada penjelasan yang terang mengenai frasa “penegak hukum”, sehingga pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa. Sebagaimana diketahui, terjadi banyak kasus di persidangan yang menunjukkan, hakim berpihak kepada penguasa. Selain itu, pasal ini juga mengekang kebebasan pers karena larangan mempublikasi proses persidangan secara langsung.
- Kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan
Tidak ada penjelasan terkait “hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini berpotensi memunculkan persekusi dan melanggar ruang privat masyarakat.
- Penghapusan ketentuan yang tumpang tindih dalam UU ITE
Seharusnya yang dilakukan adalah mencabut seluruh ketentuan pidana dalam UU ITE yang duplikasi dalam RKUHP, tidak hanya pada Pasal 27 ayat (1), 27 ayat (2), dan 28 ayat (2) UU ITE, seperti (a) Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU ITE; (b) Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE; (c) Pasal 29 UU ITE.
Selain itu, frasa “melakukan melalui sarana teknologi” sebagai pemberat menjadikan hal ini berbahaya. Orang syang terkena ancaman pidana fitnah, bisa mendapat tambahan pidana gara-gara frasa ini.
- Larangan unjuk rasa
Pasal ini seharusnya memuat definisi yang lebih ketat terkait “kepentingan umum”. Sebab, frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa memidana masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa untuk menagih haknya. Selain itu, frasa “pemberitahuan” seharusnya perlu diperjelas dan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang dan tidak ada pembatasan tiga hari sebagaimana janji pemerintah.
- Negara cuci tangan pada pelanggaran HAM berat
Dalam naskah terakhir dari RKUHP, negara menerapkan asas non-retroaktif, artinya kejahatan di masa lalu tidak dapat dipidana dengan peraturan baru ini. Dengan diaturnya pelanggaran HAM berat di RKUHP menandakan, segala pelanggaran HAM berat masa lalu dan semua pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum disahkannya RKUHP tidak dapat diadili.
Selain itu, masa kadaluarsa yang diatur di RKUHP juga terlalu singkat. Padahal, ucap Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pelanggaran HAM berat mustahil untuk diselesaikan dalam waktu singkat. Apalagi para pelakunya merupakan orang yang memiliki kuasa dan sumberdaya lebih untuk menghambat proses hukum.
- Memidana korban kekerasan seksual
Adanya pasal yang mengatur kohabitasi berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.
- Meringankan ancaman bagi koruptor
Dalam draf RKUHP terakhir, ancaman terhadap koruptor terlalu ringan dan tidak memberikan efek jera terhadap koruptor. Padahal, tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang berdampak luas bagi masyarakat.
- Korporasi sulit dijerat
Draft RKUHP terakhir telah menambahkan syarat pertanggungjawaban korporasi. Namun, pertanggungjawaban korporasi masih dibebankan kepada pengurus. Kecil kemungkinannya korporasi bertanggung jawab sebagai entitas.
Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden hingga Aborsi, yang Problematik dari RKUHP
Pengaturan seperti ini justru rentan mengkriminalisasi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini juga rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.
Apakah Kita Bisa Menggugat UU KUHP?
UU KUHP baru akan berlaku efektif tiga tahun berselang. Selama tiga tahun ke depan, pemerintah sedianya bakal aktif melakukan sosialisasi kepada penegak hukum, institusi pendidikan, juga masyarakat umum.
Jadi jika masih banyak dijumpai aksi penolakan, Bambang Wuryanto mempersilakan rakyat yang tak puas untuk mengambil jalur hukum.
“Tidak perlu demo. Detil-detilnya bisa kita diskusikan per pasal, tapi secara umum sudah kita diskusikan,” ujarnya dalam konferensi pers usai pengesahan UU KUHP, dilansir dari BBC Indonesia.
Sebagai warga masyarakat, kita memang berhak menggugat produk regulasi yang bermasalah ke Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan terkait mekanisme judicial review (uji materi) tersebut. Adapun yang menggugatnya boleh perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, dan lembaga negara.
Dalam sejarahnya, beberapa produk UU memang pernah diuji materikan kepada Mahkamah Konstitusi. Di antaranya UU Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Pemerintah Daerah, Pemilihan Umum, UU MD3, UU Ketenagakerjaan, UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Advokat. Yang terbaru adalah UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Narkotika, terutama terkait legalisasi ganja medis.
Namun, menurut Citra Referendum, pengacara publik dari LBH Jakarta, langkah uji materi ini tak menjadi prioritas Aliansi Nasional Reformasi KUHP sejauh ini.
“Ini belum jadi pilihan strategis karena MK sudah dikooptasi. Pertama UU MK sudah direvisi. Kedua, ada bukti UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yang mana seharusnya inkonstitusional saja. Ketiga, Ketua MK ini juga adik iparnya Presiden Jokowi. Jadi kita tahu keputusan MK sangat negosiatif saat ini. Apalagi jalur MK ini diarahkan oleh DPR dan pemerintah, sehingga kita tahu kemungkinan besar, nasibnya enggak jauh beda dengan UU Cipta Kerja,” ungkap Citra pada Magdalene, (6/12).
Sebagai gantinya, lanjut dia, sebenarnya sekarang ini masyarakat lebih difokuskan untuk melakukan aksi protes di berbagai wilayah di Indonesia saja. Alih-alih mengajukan uji materi ke MK dalam waktu dekat.