Gender & Sexuality

Perempuan di Sumbar Jadi Kepala Daerah Cuma Ilusi?

Perempuan di Sumatera Barat berdiri di antara budaya matrilineal dan patriarkal, yang mengganjal saat maju menjadi kepala daerah.

Avatar
  • July 13, 2020
  • 5 min read
  • 1134 Views
Perempuan di Sumbar Jadi Kepala Daerah Cuma Ilusi?

Saat Emma Yohana, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), mencalonkan diri menjadi Wali Kota Padang pada 2013, ia terganjal kampanye hitam dari sekelompok orang. Mereka meminta publik agar tidak memilih Emma karena “perempuan tidak bisa jadi imam.”

“Beberapa kali saya terhambat karena pemahaman soal imam itu. Padahal kita tidak dalam rangka ibadah salat, tetapi ibadah yang lain,” ujar Emma dalam webinar “Ilusi perempuan Minang jadi Kepala Daerah” yang diselenggarakan lembaga survei Spektrum Politika (2/7).

 

 

Walaupun Sumatra Barat menganut sistem matrilineal, hal ini ternyata kurang berpengaruh dalam mendorong kemenangan perempuan dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di provinsi tersebut. Pada Pilkada untuk periode 2016-2021, dari tujuh kota dan 12 Kabupaten yang ada di Sumatra Barat, wali kota dan bupati terpilih seluruhnya adalah laki-laki.

Dosen Universitas Negeri Padang, Selinaswati, yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Deakin University, Australia, pernah melakukan penelitian berjudul “Women in Politics in Matrilineal Society (a Case Study of West Sumatra”, Indonesia) yang diterbitkan pada 2014. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa para politisi perempuan yang menjadi responden sebetulnya mampu mengembangkan strategi dari status tradisional mereka.

Sistem matrilineal menguntungkan responden dalam hal menjangkau konstituen perempuan yang dituakan dan merupakan pengambil keputusan, juga dalam mengakses aset tradisional seperti rumah gadang yang bisa mereka gunakan untuk kegiatan politiknya. Namun keuntungan ini ternyata belum berhasil menambah jumlah perempuan yang terpilih dalam pilkada. Para responden masih merasa kewajiban terhadap rumah dan keluarga harus diutamakan. Dalam masyarakat juga tercipta persepsi bahwa perempuan kurang mampu menjadi politisi ketimbang laki-laki.

Baca juga: Bola untuk Keterwakilan Perempuan Ada di Partai Politik

Politik kekerabatan

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, konsep matrilineal di Sumatra Barat hanya berlaku di ranah sosial kulturalnya tetapi tidak masuk ke wilayah politik.

“Kalau kita lihat kan politiknya cenderung konservatif, apalagi ditambah polarisasi politik setelah Pilpres 2019. Terjadi dikotomi yang sangat kuat dalam konteks isu agama,” ujar Titi kepada Magdalene (8/7).

Ia menambahkan, agama dan kepemimpinan perempuan cenderung tidak menjadi isu hanya jika calon pemimpin perempuan merupakan bagian dari politik kekerabatan atau dia memiliki basis massa yang besar.

“Misalnya dia istri bupati sebelumnya dan memiliki posisi strategis di dalam partai. Atau memiliki basis massa yang besar sebagai ketua organisasi keagamaan,” ujar Titi.

Aktivis perempuan Yefri Heriani, yang mendirikan organisasi Nurani Perempuan di Sumatra Barat, mengatakan masih banyak stigma yang ada dalam masyarakat terhadap ide perempuan menjadi pemimpin.  

“Prasangka-prasangka itu yang membuat garis start perempuan tidak sama dengan laki-laki. Padahal di Sumatra Barat banyak contoh perempuan dalam kelompok kecilnya dapat memimpin dengan baik,” ujarnya dalam webinar Spektrum Politika.

Yefri menambahkan, salah satu bukti keberhasilan perempuan Minang dalam memimpin sebuah kelompok masyarakat dapat dilihat dari sejumlah perempuan yang terpilih menjadi wali nagari atau kepala desa. Namun jumlahnya masih tertinggal dari laki-laki di 923 nagari yang ada di provinsi tersebut. Misalnya saja pada Pemilihan Wali Nagari periode 2020-2026 di Kabupaten Solok, dari 55 wali nagari terpilih hanya ada dua perempuan.

Padahal, menurut Yefri, penting sekali bagi perempuan untuk masuk ke dalam ranah politik, untuk menyuarakan aspirasi yang selama ini tidak pernah disampaikan oleh politisi laki-laki.

“Dari pengamatan kami, ketika perempuan-perempuan ini diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin, banyak isu perempuan yang muncul ke permukaan dan disuarakan oleh mereka,” ujar Yefri, yang juga merupakan Ketua Ombudsman Sumatra Barat. 

Baca juga: Suara Perempuan dalam Panggung Politik Harus Hadir

Kebijakan afirmasi

Emma melihat bahwa stigma bahwa perempuan cukup di rumah saja membuat perempuan tertinggal di ranah politik.

“Maka dari itu, aktivis perempuan memperjuangkan kebijakan affirmative action yaitu kuota 30 persen untuk perempuan, untuk mengejar ketertinggalan ini,” kata Emma.

Sayangnya, kebijakan afirmasi 30 persen kuota untuk perempuan tersebut tidak berlaku dalam proses pencalonan kepala daerah, padahal itu sangat membantu perempuan saat mencalonkan diri, ujar Titi.

Alhasil, dalam situasi politik Indonesia yang tidak inklusif ini, calon perempuan memang harus membangun betul-betul tiga  modal utama, yaitu modal elektabilitas, politik, dan finansial.

Hasil riset Perludem pada Pilkada 2018 menunjukkan, hanya ada 31 perempuan dari total 342 orang yang terpilih menjadi kepala daerah (14 orang) dan wakil kepala daerah (17 orang). Hal ini memperlihatkan partisipasi perempuan pada tingkat pilkada masih cenderung stagnan, ujar Titi.

Para perempuan yang terpilih tersebut didominasi oleh perempuan yang memiliki jaringan kekerabatan (54,84 persen), kader partai (48,39 persen), eks dan anggota legislator (41,94 persen), dan petahana (29,03 persen). Menurut Titi, latar belakang perempuan yang terpilih menjadi kepala daerah ini tidak berdiri secara tunggal dan berkelindan satu sama lain.

“Jadi kalau perempuan itu bukan pribadi yang kuat dari segi posisi tawar politik, secara sosial, dan kuat secara finansial, sulit bagi dia untuk dilirik oleh partai,” ujar Titi.

Ketika perempuan-perempuan ini diberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin, banyak isu perempuan yang muncul ke permukaan dan disuarakan oleh mereka.

Perbaiki sistem partai dan edukasi politik

Emma mengatakan bahwa faktor yang paling perempuan untuk mencalonkan diri adalah modal finansial. Jika partai politik masih belum mengubah sistem perekrutan calon yang akan diusung untuk maju pada Pilkada, maka sulit bagi perempuan untuk terjun menjadi kepala daerah, ujarnya.

“Kalau sudah miliaran kita mau cari ke mana? Itu baru tahapan mendaftar loh,” kata Emma.   

Titi mengatakan bahwa partai politik juga harus membenahi tata kelola internal partai yang masih . mengedepankan elite sebagai penentu proses kontestasi.

“Sistem di internal partai harus diperbaiki, termasuk perekrutan kader partai perempuan. Dan tentu edukasi politik dari parpol perlu berjalan ke masyarakat,” ujarnya.

Edukasi politik ini harus dijalankan oleh partai politik karena sebetulnya di luar sana banyak perempuan yang memiliki basis massa seperti misalnya Ketua Fatayat atau Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama (NU).

“Banyak perempuan yang memiliki basis massa besar dan sangat berpotensi tetapi mereka minim edukasi politik. Padahal jika diberikan edukasi politik yang komprehensif perempuan ini juga bisa maju secara independen,” kata Titi.

Yefri Heriani dari Nurani Perempuan mengatakan, selain edukasi kepada masyarakat, yang perlu diperhatikan bersama adalah komitmen partai dalam memberdayakan kader-kader perempuannya.

“Perempuan selama ini kan ditarik-tarik untuk menjadi kader partai tetapi tidak dibarengi dengan penguatan edukasi politik agar mereka bisa maju dalam kancah pilkada maupun pemilu legislatif,” ujarnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *