Lifestyle

‘OK Boomers’: Mengenalkan Kesetaraan Gender pada Ayah

Menginjak usia 51, ayah saya akhirnya terbuka matanya dan mau turun tangan dalam membantu pekerjaan rumah tangga.

Avatar
  • January 8, 2021
  • 4 min read
  • 912 Views
‘OK Boomers’: Mengenalkan Kesetaraan Gender pada Ayah

Saya lahir dan tumbuh besar dalam keluarga yang boleh dibilang sangat patriarkal. Papa saya tidak pernah terlibat dalam tugas rumah tangga, termasuk mengasuh, merawat, dan mendidik saya dan adik saya. Dia bahkan enggan untuk mengerjakan atau setidaknya membantu pekerjaan domestik, dan melimpahkan semuanya pada istrinya.

Tidak heran jika kemudian Papa menjadi sosok yang begitu asing bagi saya pribadi, karena dia absen dalam masa tubuh kembang saya dan adik laki-laki saya sedari kecil. Tidak terlintas satu pun memori bersama Papa waktu kami kecil karena semunya diurus Mama. Layaknya para ibu pada umumnya, Mama memikul banyak beban secara bersamaan sebagai ibu bekerja dan istri.

 

 

Cerita saya ini mungkin adalah cerita klise yang dialami oleh banyak anak di Indonesia. Namun, saking klisenya, kita terkadang luput menyadari bahwa pengalaman yang kita alami ini adalah bagian dari bentuk ketidakadilan gender yang kerap terjadi pada perempuan.

Saya pun baru menyadari hal ini ketika mengambil program S2 Kajian Gender. Di pertemuan pertama mata kuliah sensitivitas gender, dosen saya memutar sebuah film pendek berjudul The Impossible Dream. Film ini menggambarkan realitas perempuan yang mengalami beban ganda. Mereka dibebankan banyak pekerjaan dan peran domestik secara sepihak tanpa mendapat uluran tangan dari suaminya sendiri.

Baca juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu

Para ibu mengerjakan segala pekerjaan domestiknya seorang diri, dari mulai membangunkan anak-anak mereka, mengganti popok, memasak, mengepel, hingga pergi bekerja. Namun, mereka tetap harus mengantar anak ke sekolah ataupun membeli kebutuhan rumah tangga mereka di tengah perjalanan pulang mereka.

Saya kemudian memperlihatkan video itu kepada Mama, dan dia berkomentar, “Mbak, itu Mama banget.” Pernyataan singkat itu sangat menggugah saya dan membuat saya tergerak untuk mengirimkan video tersebut kepada Papa. Menariknya, pada rapat keluarga berikutnya, untuk pertama kalinya Papa dengan jujur dan terbuka mau membahas soal pembagian peran gender dalam keluarga kami.

Pendidikan Kesetaraan Gender dalam Keluarga

Papa mengatakan bahwa ajaran orang tuanya dulu begitu membekas di dalam dirinya. Keengganan Papa untuk ikut terlibat dalam ranah domestik ini adalah hasil didikan Eyang yang membebaskan anak laki-lakinya dalam melakukan pekerjaan rumah tangga.

“Katakanlah Papa kuno, tapi Papa sampai detik ini percaya kalau peran istri ya seperti itu. Dia yang masak di rumah, ngerjain pekerjaan rumah, ngurus anak. Kalau suaminya pulang, ya istri harus menyiapkan makan suaminya. Kalau apa-apa dilakukan sendiri oleh suami, ya Papa pikir, buat apa punya istri kalau gitu? Itu yang Papa percayai dari ajaran orang tua Papa ya,” begitu katanya jujur.

Saya dan Mama tersentak mendengarnya, tapi juga memakluminya. Mama kemudian menanggapi dengan menceritakan apa yang sebenarnya dia rasakan selama ini ketika melakukan segalanya seorang diri. Mama mengeluarkan unek-unek yang selama ini disimpannya selama bertahun-tahun.

Baca juga: Ibu Rumah Tangga: Pekerjaan yang Selalu WFH

Saya menimpali cerita Mama dan penuturan Papa dengan solusi yang bisa dilakukan bersama sebagai keluarga. Saya mengatakan pada Papa dan adik laki-laki saya, bahwa mulai saat ini, sebisa mungkin kami semua membantu Mama mengerjakan pekerjaan domestik. Entah itu mencuci piring, menyapu, mengepel, atau membantu Mama memasak di dapur.

Saya mengusulkan bahwa jika hal-hal tersebut bisa dilakukan sendiri, maka lakukanlah, jangan menunggu Mama mengerjakannya. Mama hidup bukan hanya untuk mengurusi pekerjaan domestik, Mama masih punya peran dan tanggung jawab lain sebagai seorang guru.

Saya meminta Papa dan adik laki-laki saya untuk mengurangi beban yang dipikul Mama selama ini dengan membiarkannya berjuang sendirian. Saya juga mengatakan bahwa Mama bukanlah Supermom yang bisa melakukan ini itu secara bersamaan, sendirian tanpa merasakan rasa lelah sedikit pun.

Mama adalah manusia, dia adalah seorang ibu yang biasa-biasa saja yang dapat melakukan kesalahan dan merasakan rasa lelah. Jadi saya meminta mereka berdua untuk membantu Mama sebisa mungkin dan memaklumi Mama jika dirinya tidur lebih cepat karena kelelahan.

Baca juga: Resep Pernikahan Bahagia: Peran Gender yang Fleksibel

Pembagian Tugas Rumah Tangga Ternyata Bisa Diupayakan

Dari rapat keluarga itu, terjadilah perubahan besar terjadi di dalam keluarga kecil saya.

Papa dan adik laki-laki saya sekarang sudah mau mulai membantu Mama saya melakukan pekerjaan rumah tangga. Papa sudah tidak lagi sungkan mencuci tumpukan piring kotor, membantu Mama memasak, mengepel, bahkan dia sekarang adalah seorang spesialis penggoreng kerupuk dan pengupas buah mangga di rumah. Adik saya, walaupun belum begitu banyak berubah, paling tidak sudah mulai mencuci piringnya bekas makannya dan membuat mi instan sendiri.

Di usia ke-51, Papa sepertinya mulai paham betapa melelahkannya melakukan pekerjaan-pekerjaan ini sendirian. Ia sekarang tidak lagi pernah mengeluhkan Mama yang kerap kali tidur lebih awal karena kelelahan. Dia bahkan dengan sigap tanpa disuruh akan melakukan tugas rumah tangga jika Mama sedang sakit.

Saya bahagia karena Papa sekarang mulai memahami bahwa kerja domestik bukanlah pekerjaan yang dilimpahkan secara kodrati bagi perempuan. Pekerjaan-pekerjaan ini nyatanya adalah bagian dari peran yang dapat dipertukarkan sehingga tidak bersifat ajek.

Mudah-mudahan semakin banyak suami yang memiliki rasa empati dan rasa tanggung jawab untuk membantu pasangan mereka, dan menghargai kerja domestik yang dilakukan banyak perempuan di berbagai penjuru dunia.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *