Politics & Society

10 Fakta tentang Muslim dan Gay

Adakah cara untuk menjadi Muslim sekaligus gay tanpa kontradiksi? Sulit namun tidak mustahil, menurut pria gay dan Muslim yang taat ini.

Avatar
  • June 21, 2018
  • 7 min read
  • 1232 Views
10 Fakta tentang Muslim dan Gay

Pada sebuah makan malam yang terinspirasi Sex and the City, salah satu sahabat perempuan saya dengan semangat menyendok taco berisi daging babi panggang yang hangat seolah-olah itu adalah santapan terakhirnya di bumi.

Setelah membasuhnya dengan es teh jeruk nipis yang menyegarkan, sahabat saya itu, seorang agnostik yang dibesarkan sebagai Muslim, berpaling pada saya dan lagi-lagi menyatakan ketidakpercayaannya karena saya bersikeras untuk menjauhkan diri dari daging babi.

 

 

“Kamu berhubungan seks dengan sesama laki-laki, jadi kenapa enggak sekaliam makan daging babi saja sih,” ujarnya setengah bercanda. Dia mengingatkan saya kepada Ibu yang dulu sering marah karena saya membolos kursus karate (pembelaan saya adalah karena saya adalah peserta laki-laki satu-satunya yang tertinggal di sabuk kuning).

Dia kemudian menjelaskan teori buatan sendiri mengenai berbagai tingkat dosa dan neraka menurut Islam — dengan homoseksualitas berada di atas, sedikit lebih rendah daripada pembunuhan – seakan-akan hidup adalah permainan di tablet, dengan para pemain yang bersaing untuk mendapatkan skor tertinggi untuk membawa mereka ke surga atau neraka sebelum tanda “Game Over” menyala.

Meskipun saya merasa terganggu dengan observasinya yang terlalu simplistis, dia tidak salah. Ketika kita tinggal di dunia di mana menghabiskan sedikit waktu di sauna dapat mengarah kepada serangkaian seks non-halal, mengapa harus bersikeras untuk menyantap makanan halal di meja makan?

Namun, tetap terasa melelahkan untuk terus-menerus membela praktik keagamaan saya, bahkan di antara teman-teman dekat yang telah menerima seksualitas saya. Seolah-olah saya harus menjustifikasi setiap kepatuhan terhadap agama.

Karenanya, saya memutuskan untuk berbagi beberapa pengetahuan yang mungkin dapat membantu para pembaca yang budiman memahami bagaimana beberapa dari kami, Muslim gay, menjalani hidup kami. Saya tidak yakin bahwa saya mewakili kelompok mayoritas, tapi mudah-mudahan sahabat saya mulai sekarang akan berhenti menawarkan daging babi kepada saya.

1. Ya, hal itu bersifat oksimoron, tidak perlu mengingatkan lagi!

“Kamu tidak bisa menjadi gay dan Muslim sekaligus.” Saya telah mendengar pernyataan itu berkali-kali dan saya tidak pernah berpura-pura bahwa kedua konsep tersebut dapat bersatu padu seperti rambut dan gel pada hari yang baik. Tetapi sebagian besar dari kita bukanlah ulama atau sejarawan agama yang sedang berusaha untuk menafsirkan kitab suci. Bagi saya, cukup jelas bahwa Alquran mengatakan homoseksualitas itu dilarang. Meskipun demikian, saya hanya ingin menjalani hidup saya dengan mempraktikkan ajarannya – walau dengan upaya yang lemah – sambil menerima diri saya sendiri.

2. Keduanya sangat bertentangan – tidak ada ruang untuk logika. Dan mengapa harus ada?

Menjadi gay dan Muslim yang taat berarti saya harus senantiasa menjustifikasi tindakan-tindakan saya yang bertentangan. Ada hari-hari di mana saya hanya tersenyum dan membuat catatan-catatan mengenai hubungan seksual, lalu ada hari-hari lain ketika saya secara sadar terlibat dalam debat kusir. Meski kedengarannya kontradiktif, saya mencapai kesimpulan bahwa untuk menerima diri saya – seorang diva setengah matang nan ceria – saya tidak dapat menjalani hidup dengan menjalankan nilai-nilai Islam yang berakar dalam diri ini sepenuhnya. Terlebih lagi, saya berulang kali menemukan bahwa menerapkan logika untuk tindakan yang bertentangan membentuk analogi buruk terhadap tindakan-tindakan yang tidak dapat dibandingkan (Anda mengerti ‘kan maksudnya?).

3. Kami hanya ingin berdamai dengan diri kami sendiri.

Kenyataannya, tindakan-tindakan yang tampak bertentangan tersebut adalah cara saya untuk berekonsiliasi. Saya mencoba mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan seksualitas saya, karena menolak yang satu untuk yang lain sama halnya dengan menolak bagian besar diri saya. Saya memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai oleh pria lain, dan saya memiliki kebutuhan untuk memenuhi keyakinan spiritual saya. Kedua kebutuhan tersebut membentuk keseluruhan diri saya. Saya tahu keduanya sulit untuk diseimbangkan tetapi secara pribadi saya tidak melihat ada yang salah dengan itu, karena nilai-nilai agama sendiri cenderung bertentangan satu sama lain.

4. Harus diakui, kita memilih ‘dosa’ untuk dilakukan.

Sebagai seorang Muslim, saya percaya pada konsep surga dan neraka. Jika Anda melakukan perbuatan baik di dunia ini, maka Anda mengumpulkan poin untuk surga. Jika Anda melakukan “perbuatan berdosa”, maka Anda kehilangan sedikit jarak tempuh dan mungkin berakhir dengan maskapai murah ke neraka, kalau boleh diandaikan. Karenanya, jangan tanya kenapa saya tidak memakan babi, atau mengapa saya berpuasa di bulan Ramadan atau beribadah sewaktu-waktu. Saya memerlukan banyak poin untuk mengejar ketertinggalan.

5. Hal itu bukan sebuah kemunafikan; saya tidak pernah mencoba mengubah siapa pun.

Apakah saya seorang munafik apabila saya mempraktikkan sebagian besar ajaran sambil menerima seksualitas saya? Saya tidak berdakwah setiap saat mengenai apa yang baik dan buruk bagi orang lain. Saya akan menjadi munafik apabila saya mencoba menanamkan nilai-nilai halal kepada orang lain di meja makan, dan memberitahu teman-teman Muslim saya bahwa mereka akan masuk neraka jika mereka memakan daging babi.

6. Tapi, ya, beberapa dari kami memang Brengsek dan Munafik…

Seperti pria gay setengah tertutup lainnya di Indonesia, saya telah menguasai seni hidup di balik beragam topeng berbeda tanpa mengorbankan identitas saya. Itu adalah cara kami untuk bertahan hidup dalam masyarakat berstandar ganda dan sebagian besar bersifat homofobik. Kehidupan setengah tertutup telah mempertemukan saya dengan beberapa Muslim gay yang akhirnya menjadi pribadi paling homofobik hanya demi terlihat normal. Saya pernah berkencan dengan seorang pria yang beribadah lima kali sehari dan membuat ujaran kebencian terhadap kelompok homoseksual di depan umum (dia adalah seorang penyiar radio, dan telah berpindah ke stasiun televisi sejak saat itu. Saya terlalu baik untuk menyebutkan nama).

7. … serta delusional…

Saya merujuk kepada mereka yang memilih untuk benar-benar hidup tertutup dan ada dalam pernikahan heteroseksual yang tidak saling konsensual (karena pihak perempuan tidak mengetahui suami mereka gay). Hal ini berlaku untuk semua pria homoseksual yang sudah menikah di Indonesia, terlepas dari agama dan keyakinan mereka. Pada situs daring kencan gay, pria-pria ini adalah yang biasanya mengawali pesan pribadi mereka untuk pria lain dengan ucapan Assalamualaikum.

8. … sambil mengibarkan bendera agama.

Dan hal itu tidak berhenti sampai situ. Setiap Jumat, notifikasi WhatsApp saya penuh dengan seruan untuk salat Jumat dari para kontak saya, kebanyakan dari mereka gay yang tertutup. Seakan-akan dunia sangat membutuhkan pengingat ibadah mingguan dari para pria yang ritual Jumatnya meliputi unggahan swafoto penuh gaya dalam balutan gamis dan kopiah senada.

9. Lalu ada orang-orang yang bersembunyi di balik topeng sekuler.

Ketika saya tinggal di luar negeri, saya biasa memberi tahu teman-teman non-Muslim bahwa saya alergi terhadap alkohol, alih-alih mengatakan kepada mereka alasan sebenarnya saya tidak minum alkohol. Beberapa orang yang tahu bahwa saya adalah Muslim taat tampak bingung, “Tapi kamu gay, kan??” Saya sudah jarang mendapatkan reaksi seperti ini, tapi saya yakin ada orang-orang yang masih memilih untuk menyembunyikan keyakinan mereka karena takut dihakimi orang lain.

10. Meski begitu, rasa bersalah tetap ada.

Dan di sinilah saya bersikap filosofis: Tidak peduli bagaimanapun kita mencoba untuk menolaknya, kebanyakan dari kita akan selalu hidup dengan rasa bersalah. Layaknya membagi tindakan kita menjadi dua kotak berbeda: kotak merah muda di sudut paling kanan, dan kotak hijau yang duduk dengan tenang di sudut berlawanan. Jurang pemisah antara keduanya pun tidak membantu untuk mencabut rasa bersalah, meskipun sekian banyak ibadah telah kita lakukan dan ratusan hari telah kita habiskan untuk berpuasa.

Kenyataannya adalah setiap orang menjalani proses penerimaan diri yang tidak berujung. Proses saya secara kebetulan melibatkan dua dunia yang sangat berlawanan dan berbenturan. Saya hanya mencoba untuk membuat benturan itu tidak terlalu keras sehingga tidak menghancurkan kewarasan saya sendiri.

Saya bukan pembicara yang lurus (maaf, tidak tahan) dan saya sangat menghargai sahabat pemakan babi dan mantan Muslim tersebut, karena itu saya tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk secara verbal mengungkapkan kekesalan terhadap penilaiannya yang semena-mena.

Tetapi jika suatu saat kami makan bersama lagi di tempat taco itu, inilah yang mungkin akan saya katakan kepadanya: “Silakan makan daging babi itu, sayang, karena aku akan memesan pencuci mulut,” sambil menatap pelayan imut dengan mata berbinar seolah-olah dia adalah santapan terakhir saya di bumi.

Diambil dari lagu hit klasik Petula Clark, Downtown Boy alias DB, adalah hipster usia 20an yang terjebak dalam tubuh pria gay berumur 30an. Ia pegawai kantoran biasa di Jakarta dan hobinya termasuk mendengarkan lagu-lagu lama dan olahraga yang menantang secara fisik. Dulu ia suka bela diri tapi terpaksa berhenti karena punggung bawahnya cedera. Semua temannya menduga penyebab cedera itu adalah sesuatu yang mencurigakan.

Artikel ini diterjemahkan oleh Radhiyya Indra dari versi aslinya dalam Bahasa Inggris



#waveforequality


Avatar
About Author

Downtown Boy

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *