December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Dari Dapur ke Anggaran Negara: 30% untuk Kerja Perawatan dan Kehidupan Layak

Kerja perawatan menopang hidup sehari-hari, tapi jarang dihitung dalam kebijakan. Saatnya 30% anggaran menyentuh yang esensial.

  • September 17, 2025
  • 5 min read
  • 2130 Views
Dari Dapur ke Anggaran Negara: 30% untuk Kerja Perawatan dan Kehidupan Layak

Sebagai perempuan sekaligus warga negara, saya merasa suara kami terwakili dalam 45 Tuntutan untuk Indonesia Adil dan Setara. Dari semua tuntutan itu, satu poin paling terasa nyata dalam hidup sehari-hari: alokasikan minimal 30 persen anggaran negara—baik APBN maupun APBD—untuk pembangunan yang berperspektif gender, keadilan sosial, dan lingkungan hidup.

Tapi angka 30 persen itu hanya berarti bila negara mulai membiayai kerja perawatan (care work)—tulang punggung ekonomi yang selama ini tidak tercatat, tidak dihitung, dan tidak dihargai. Karena sejatinya, ekonomi bergerak bukan di panggung-panggung pidato, tapi di meja dapur rumah tangga, di sela ibu memasak dan merawat, di antara jadwal mengurus anak dan mencicil utang.

Saya teringat seorang ibu petani sawit di Sumatra. Duduk di meja makannya yang kecil, ia membuka buku catatan lusuh: utang warung, sisa uang jajan anak, cicilan koperasi. Ia hafal semua angka, tahu persis kapan panen, dan bagaimana menambal kekurangan bulan ini. Ekonomi baginya bukan soal kurva, tapi pergulatan sehari-hari antara belanja dapur dan utang yang mengejar.

Sementara itu, di ruang-ruang rapat, perbaikan ekonomi kerap diringkas jadi target pertumbuhan 6–7 persen. Seperti pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tak lama setelah dilantik: “Rakyat yang kenyang tidak akan demo.” Logika itu lupa satu hal—orang tidak bisa “sibuk bekerja dan makan enak” kalau tidak ada yang menjaga anak, merawat lansia, atau mendampingi anggota keluarga dengan disabilitas. Pertumbuhan tak akan menanak nasi. Seseorang, biasanya Perempuan, yang melakukannya.

Baca juga: Kematian Ibu di Bandung: Utang, Kemiskinan, dan Beban Tak Terlihat Perempuan

Bukan angka oosong: Anggaran yang menghidupi

Tuntutan 30 persen bukan slogan politis. Ia adalah seruan untuk menyelaraskan cara negara memandang ekonomi dengan cara perempuan menghidupi ekonomi setiap hari. Penitipan anak yang buka konsisten, layanan lansia dan disabilitas yang benar-benar ada (bukan hanya di spanduk), kunjungan rumah bagi yang tak bisa datang ke fasilitas kesehatan, hingga dukungan psikososial dan finansial bagi para caregiver.

Tuntutan ini bukan tanpa dasar hukum. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) lewat Undang-Undang No. 7/1984, dan melalui Instruksi Presiden No. 9/2000, presiden memerintahkan pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Kementerian Dalam Negeri pun mewajibkan pemerintah daerah mengintegrasikan perspektif gender dalam perencanaan dan penganggaran. Di pusat, Kemenkeu dan Bappenas sudah memiliki gender budget statement. Artinya, semua mesin sudah ada. Kita hanya perlu menyalakannya dan mengisi bahan bakarnya dengan keberpihakan nyata—bukan seremoni.

Pengakuan atas kerja perawatan tak cukup di pidato. Ia harus hadir dalam bentuk layanan: penitipan anak dengan gizi dan stimulasi dini yang memadai; tempat penitipan lansia yang memuliakan martabat, bukan sekadar penitipan tubuh; jeda perawatan agar pengasuh bisa bernapas; serta konseling keuangan agar keluarga tak terjerat pinjol.

Dan yang terpenting, kerja perawatan bukan “cinta” atau “pengabdian” belaka—itu kerja. Dan kerja patut dibayar.

Baca juga: Banyak Lelaki Ngaku Peduli tapi Masih Belum ‘Walk the Talk’ soal Kerja Perawatan

Belajar dari yang sudah berhasil

Mari kita bayangkan desa yang bergerak setepat waktu ibu rumah tangga mengatur hari. Pagi hari, Posyandu berfungsi sebagai penitipan anak. Siang, balai desa berubah menjadi day care lansia. Petugas terlatih melakukan home visit untuk yang sakit atau disabilitas. Di pojok ruangan, ada meja konseling keuangan untuk merapikan utang atau mencegah jeratan kredit predator. Jadwal layanan publik menyesuaikan ritme pengasuhan, bukan memaksa ibu memecah diri menjadi dua. Semua berjalan seperti orkestra: terkoordinasi, berkualitas, dan—ini yang sering dilupakan—dibayar dari anggaran negara, bukan dari lelah perempuan.

Ini bukan utopia. Di Thailand, layanan perawatan jangka panjang dibiayai publik dan dijalankan di tingkat komunitas. India melalui program Integrated Child Development Services Scheme (ICDS) membiayai paket gizi, PAUD, dan imunisasi secara gratis. Jepang menetapkan standar teknis bagi day care, kunjungan rumah, hingga alat bantu perawatan—semua dianggarkan dan diaudit. Kita tak perlu membuat semuanya dari nol; cukup menyalin apa yang berhasil dan menyesuaikan dengan kondisi lokal.

Agar tidak lenyap jadi proyek dokumentasi, anggaran harus dirancang lintas sektor— kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, pemberdayaan perempuan, hingga pemerintahan desa. Indikatornya sederhana tapi berdampak: waktu pengasuhan yang dihemat, biaya rumah tangga yang berkurang. Dana tertentu perlu dipatok hingga level desa agar layanan publik benar-benar hadir di kampung, bukan berhenti di PowerPoint.

Tenaga pengasuh, yang sering disebut relawan, harus diakui sebagai tenaga professional yang dilatih, disertifikasi, digaji layak, dan mendapat jaminan kerja dasar. Kita berhenti menyebut mereka “relawan” hanya karena negara enggan membayar.

Baca juga: ‘Care Economy’: Saat Merawat Diakui Sebagai Kerja Nyata

Sebagai seorang fasilitator, saya berkali-kali menyaksikan sendiri bagaimana satu ruang penitipan anak bisa mengubah ritme desa. Ibu-ibu bisa hadir di pertemuan tanpa harus lari pulang. Kepala desa lebih mudah mengajak warga berdiskusi soal jalan tani atau air bersih. Usaha kecil tumbuh karena perempuan punya waktu produktif yang manusiawi.

Tiga puluh persen bukan angka ajaib. Ia adalah tuas untuk menggeser belanja negara dari beton yang sepi ke layanan yang hidup. Sebuah jaminan bahwa uang negara benar-benar menyentuh meja makan, bukan hanya papan proyek. Kalau pemerintah serius ingin ekonomi bergerak, mulailah dari tempat ekonomi bertumpu: dapur, ruang rawat, dan halaman rumah. Di sanalah perempuan selama ini menopang segalanya. Sekarang saatnya anggaran menopang mereka.

About Author

Laili Zailani

Lely adalah fasilitator pemberdayaan perempuan, pendiri HAPSARI dan Rumah Kata. Fellow Ashoka Indonesia (2000), serta penulis yang percaya bahwa cerita adalah alat perubahan.