Culture

4 Pelajaran Penting dari Film ‘Gangubai Kathiawadi’

‘Gangubai Kathiawadi’ mencatat perjuangan pekerja seks di India untuk memperoleh haknya di masyarakat.

Avatar
  • May 10, 2022
  • 8 min read
  • 1677 Views
4 Pelajaran Penting dari Film ‘Gangubai Kathiawadi’

Artikel ini mengandung spoiler.

“If Gangu can dream, why can’t Roshni?”

 

 

Kalimat yang diucapkan Gangubai Kathiawadi (Alia Bhatt) dalam Gangubai Kathiawadi (2022), muncikari di Kamathipura, merupakan gambaran kuat, setiap perempuan berhak mengejar mimpi, sekalipun keadaan nyaris tak mungkin.

Cita-citanya berprofesi sebagai bintang film harus dikubur saat itu juga, ketika sang kekasih menjualnya ke rumah bordil. Alhasil, Gangubai harus menjadi pekerja seks yang melayani pelanggan tujuh hari selama seminggu.

Awalnya perempuan itu sulit menerima kenyataan pahit, terlebih ia berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas. Namun, usai melayani pelanggan pertama, ia mendapatkan keyakinan suatu hari dapat memimpin Kamathipura.

Sejak malam itu, Gangubai bertekad menunjukkan kebudayaannya. Ia tak lagi takut dengan ucapan dan perilaku Tante Sheela (Seema Pahwa), si muncikari. Bahkan, ia ikut mendorong teman-teman pekerja seks di rumah bordil untuk berdaya bersama.

Film garapan Sanjay Leela Bhansali yang mengangkat kisah tentang Gangubai Kothewali—aktivis sosial, pekerja seks, dan mucikari di Kamathipura, India—mengupas perjuangan perempuan di rumah bordil demi mendapatkan haknya di masyarakat.

Magdalene merangkum empat pelajaran dari film Gangubai Kathiawadi, yang tidak hanya menjadi catatan penting dalam sejarah pekerja seks di India, tapi juga merepresentasikan realitasnya hingga saat ini.

Baca Juga: 4 Rekomendasi Film India yang Urai Patriarki dengan Gamblang

1. Anak Perempuan Dinikahkan untuk Menghindari Prostitusi

Tinggal di rumah bordil bersama Roshni (Vrinda Duvani), anaknya, membuat Kusum (Mitali Jagtap) semakin menerima tekanan masyarakat. Sebagai pekerja seks, ia tidak ingin melihat putrinya bernasib sama dengan sang ibu.

Hal itu membuatnya berhadapan dengan dua pilihan, menikahkan atau membunuh Roshni. Bahkan, anak 15 tahun itu dikurung dalam kandang binatang di atap rumah bordil, agar tidak mencuri perhatian pelanggan dan mengira ia adalah pekerja seks.

Melihat sikap Kusum, Gangubai tergerak membantu. Ia mengorbankan perasaannya, dan menikahkan Roshni dengan Afsaan (Shantanu Maheshwari), laki-laki yang dicintainya, agar anak perempuan tersebut memiliki kehidupan lebih baik.

Selain hidup di balik bayangan laki-laki, perempuan di India tidak memiliki otoritas bersuara dan dianggap beban sosial, sehingga perlu segera dinikahkan. Karena itu, prostitusi dan pernikahan anak menjadi dua hal yang saling mengikat, sehingga hidup yang dipilihkan Kusum untuk Roshni merupakan kelaziman. Terutama di keluarga kurang mampu, dan anak tidak dapat menghidupi dirinya sendiri karena buta huruf dan terjerat kemiskinan.

Bahkan, pada 2019 United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mencatat, lebih dari 40 persen kasus pernikahan anak di dunia terjadi di India.

Realitas ini salah satunya terjadi di komunitas Saraniya, di desa yang terletak di Gujarat, India. Perempuan tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan, sehingga prostitusi adalah satu-satunya jalan untuk mendukung komunitasnya. Lama-lama, anak perempuan berusia 10 sampai 12 tahun didorong untuk terlibat dalam prostitusi, supaya dapat membantu perekonomian komunitas tersebut.

Sampai akhirnya pernikahan menjadi opsi untuk lari dari realitas itu, setelah Mittal Patel,  Sekretaris Vicharta Samuday Samarthan Manch, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mengunjungi Saraniya.

Ia melihat, perempuan yang sudah menikah atau bertunangan dapat menghindari bisnis prostitusi, sehingga pernikahan massal dinilai efektif di sejumlah daerah pedesaan di India.

Padahal, dalam Undang-Undang Pembatasan Perkawinan Anak yang disahkan pada 1978, telah meningkatkan usia menikah bagi anak perempuan menjadi 18 tahun. Namun, usia sebenarnya kerap disembunyikan supaya bisa menikah.

Seperti dilakukan oleh Hemi, perempuan asal Dideda, India, yang menikah pada 2012. Melansir Slate, usianya tidak terlihat lebih dari 12 tahun, sedangkan kakaknya menyatakan, sang adik berumur 25, dan pihak penyelenggara menginformasikan ia berusia 22 tahun.

Selain menghindari pelanggaran hukum, hal itu dilakukan untuk berlindung dari muncikari yang ingin “memangsa” anak di bawah umur.

Sumber: IMDB

Baca Juga: Film India ‘Begum Jaan’ Gambarkan Paradoks Batasan sebagai Kebebasan Perempuan

2. Sampai Mati, Perempuan Jadi Korban Pemerkosaan

“Ikat kakinya dengan kuat. Laki-laki tidak dapat dipercaya, sekalipun dengan mayat,” pesan Gangubai ketika sahabatnya, Kamli (Indira Tiwari) meninggal.

Kalimat tersebut bukan hanya diucapkan untuk mencegah jasad Kamli diperkosa, melainkan merepresentasikan realitas bahwa laki-laki masih berkuasa atas tubuh perempuan, sekalipun sudah meninggal.

Pasalnya, di sejumlah negara, ketertarikan seksual terhadap jenazah—atau necrophilia, masih kerap terjadi. Pada 5 Mei lalu, seorang laki-laki di Gujrat, Pakistan, menggali makam remaja perempuan dan memerkosa tubuhnya.

Aksi itu diketahui keesokan paginya, ketika kerabat mengunjungi makam untuk melakukan tradisi keagamaan. Mereka menemukan jasad perempuan itu tergeletak di luar, sekitar 60 meter dari liang lahadnya, dan tubuhnya menunjukkan tanda-tanda pemerkosaan.

Perilaku yang sama juga dilakukan tiga orang laki-laki di Uttar Pradesh, India pada 2015. Jenazah perempuan yang meninggal setelah melahirkan itu dikeluarkan dari kubur, lalu diperkosa.

Atau pada 2018, seorang buruh laki-laki di Gurugram, India, mengaku memerkosa banyak jasad dari korban yang dibunuh, untuk memuaskan hasrat seksualnya dan memaksimalkan tindakan pembunuhannya.

Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan, tidak ada yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan perempuan dari jeratan pelaku kekerasan seksual.

Sumber: IMDB

Sayangnya di India—salah satu negara yang paling berbahaya di dunia bagi perempuan, dan mencatat banyak kasus necrophilia selama satu dekade terakhir—tidak ada ketentuan pidana yang mengkriminalisasi kejahatan tersebut, selama tidak ada pelanggaran yang dilakukan.

Mengutip Asiaville, pasal 297 Indian Penal Code—undang-undang yang mencakup seluruh aspek substantif hukum pidana, masih kabur dalam mengatur perusakan mayat.

Undang-undang itu menuliskan, siapa pun yang masuk tanpa izin di pemakaman untuk melukai perasaan seseorang, menghina agama seseorang, menghina jenazah, mengganggu orang yang berkumpul untuk melakukan upacara pemakaman, terancam hukuman penjara dengan rentang waktu yang dapat diperpanjang hingga satu tahun.

Namun, pelanggaran tersebut tidak berlaku apabila penjaga dan pekerja di ruang jenazah, maupun penjaga pemakaman, sekalipun tertangkap melakukan tindakan tersebut. Alasannya, pekerjaan mereka berada dalam area pemakaman, sehingga tidak terhitung trespassing, atau masuk tanpa izin.

Celah hukum itu terjadi karena mayat tidak lagi dilihat sebagai manusia, dan hanya dianggap sebagai properti bagi kerabatnya, seperti dilansir The Conversation. Karena itu, aksi necrophilia dilihat sebagai vandalisme, bukan serangan seksual terhadap seseorang.

Baca Juga: Larangan Berjilbab India, Bukti Tubuh Perempuan Masih Terjajah

3. Diskriminasi Terhadap Anak-anak Pekerja Seks

Pandangan merendahkan terlihat jelas pada wajah pastor dan suster, yang berada dalam ruangan kepala sekolah bersama Fezi (Jim Sarbh)—seorang jurnalis yang tengah berbicara dengan keduanya, ketika Gangubai datang bersama delapan anak-anak pekerja seks.

Dengan menggenggam biaya sekolah selama lima tahun, kedatangannya bertujuan untuk menyatakan bahwa anak-anak itu berhak mengenyam pendidikan, dan memiliki masa depan yang sama seperti anak-anak lainnya.

Meskipun penolakan adalah jawaban yang ingin diberikan, Gangubai bersikeras dan enggan menerima kata “tidak”, sehingga anak-anak itu bisa bersekolah. Namun, di hari pertama bersekolah, mereka justru dipukul dan diusir oleh gurunya, karena latar belakangnya dipandang kotor.

Stigma dan diskriminasi yang melekat pada pekerja seks, juga berdampak pada kehidupan anak-anak mereka, baik dalam bergaul maupun menerima edukasi yang layak. Padahal, pendidikan merupakan pondasi utama untuk membangun kehidupan mereka yang lebih baik, dan terbebas dari ruang lingkup prostitusi.

Dikucilkan dan dipandang sebelah mata, seolah menjadi konsekuensi yang pantas didapatkan karena mereka lahir dan tinggal di rumah bordil. Bahkan di sekolah, guru mengajak mereka berbicara dan menanyakan tarif ibunya. Pelecehan seperti ini merupakan salah satu penyebab utama, tingginya angka putus sekolah.

Kenyataan ini membuat mereka memilih mengisolasi diri dari lingkungan masyarakat, bahkan memiliki ketakutan akan bernasib sama seperti ibunya. Hal ini dijelaskan dalam India Today yang mengutip studi dari National Commision for Protection of Child Rights (NCPCR).

Mirisnya, mereka tidak memahami bahwa kondisi mereka tidak berarti merampas hak yang seharusnya didapatkan. Karena itu, pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi yang berkualitas dibutuhkan untuk melindungi dan mencegah ketakutan mereka berubah menjadi realitas.

Sumber: IMDB

4. Perempuan yang Saling Dukung 

Merelakan mimpi dan kebahagiaan, adalah dua hal yang harus “dibayar” Gangubai untuk memberdayakan 4.000 perempuan di rumah bordil. Sejak diperlakukan tidak adil oleh Tante Sheela, ia sadar bahwa teman-temannya di rumah tersebut perlu diberdayakan. Terlebih karena mereka bekerja sebagai pekerja seks yang dipandang sebelah mata.

“Lima tahun lagi, aku akan membeli rumah bordil dan Sheela,” katanya.

Setelah Sheela meninggal, ia merealisasikan kalimat yang diucapkannya pada Kamli. Gangubai memulai dengan memberlakukan hari libur bagi para pekerja seks, dan menolak sejumlah klien yang memaksa berhubungan seksual, ketika pekerja seks enggan melakukannya.

Lebih dari itu, ia juga menentang sekretaris lingkungan menggusur rumah bordil, dengan alasan membangun gedung pencakar langit di area Kamathipura. Argumen itu juga didukung oleh sekolah Katolik, yang menilai rumah tersebut sebagai bangunan tidak bermoral. Padahal, ia menerima tawaran apartemen, tetapi Gangubai mengutamakan 4.000 perempuan lainnya yang akan kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal.

Pasalnya, kebanyakan dari pekerja seks itu masuk ke dalam industri yang digelutinya lantaran terpaksa keadaan. Antara dijual, atau membutuhkan uang untuk kelangsungan hidup, dan tidak memiliki kemampuan selain tubuhnya yang dapat ditawarkan.

Alasan itu juga yang membuat Gangubai memilih merelakan Afsaan untuk Roshni. Anak perempuan itu masih suci dan memiliki harapan serta pilihan untuk membangun masa depan yang lebih baik—meskipun harus menikah di usia muda. Sementara reputasinya sudah melekat dengan citra seorang pekerja seks dan akan sulit untuk menikah.

Tindakannya menunjukkan bagaimana Gangubai, sebagai seorang muncikari, membuktikan bahwa perempuan pantas mendapatkan haknya, terlepas dari apapun latar belakangnya.

Pada akhirnya, Gangubai menggarisbawahi perjuangan para pekerja seks yang berusaha mendapatkan haknya di tengah masyarakat, yang tidak menganggap mereka sebagai sepenuhnya manusia merdeka.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *