Putus Sekolah karena COVID-19, Anak Perempuan Ambil Peran Orang Tua
Ini kisah anak-anak perempuan yang memutuskan untuk berhenti sekolah karena mengambil peran orang tua yang meninggalkan mereka.
Kakak beradik Hani dan Dewi merasa keluarga kecil mereka lumpuh sejak ditinggal sang ibu yang terpapar COVID-19, Februari lalu. Sebagai satu-satunya tulang punggung keluarga, ibu mengenal luar dalam urusan finansial rumah tangga, termasuk biaya kuliah Hani dan Dewi.
Dulu ibu membuka usaha kantin di salah satu universitas swasta di Jakarta, sementara ayah yang berusia 66 tahun menjadi tangan kanannya. Akan tetapi, kepergian secara tiba-tiba itu membuat Hani dan Dewi harus mengambil alih peran ibu untuk menyambung kehidupan, walaupun mereka belum siap mengemban tugas itu.
“Saat ibu tidak ada benar-benar terasa karena keluarga kami selalu mengandalkan ibu. Jadi, ketika ibu tidak ada sangat terasa ‘oh, ternyata beban ibu seberat ini’. Selama ini ibu yang benar-benar bekerja dan memutar otak dan mencari uang,” ujar Hani kepada Magdalene (23/7).
Situasi tersebut juga menghadapkan mereka dengan pilihan: apakah melanjutkan kuliah atau mengundurkan diri untuk mencari nafkah bagi keluarga?
Hani bekerja magang di kantor asuransi sekaligus menyelesaikan semester terakhirnya sebagai mahasiswa S1 di universitas swasta di Jakarta. Perempuan berusia 23 tahun itu menerima beasiswa yang menjaminnya untuk menyelesaikan kuliah. Sedangkan Dewi memutuskan tidak melanjutkan kuliah karena ingin bekerja untuk membantu kondisi finansial keluarga. Tetapi, mencari pekerjaan bukan hal mudah karena perusahaan tidak ingin menerima kandidat yang belum memiliki pengalaman kerja.
“Saat ini saya masih mencari pekerjaan, tapi sangat sulit untuk anak lulusan SMK terlebih lagi yang belum punya pengalaman,” kata Dewi.
Keputusan itu juga bukan hal mudah karena ibu bercita-cita agar Hani dan Dewi menjadi sarjana. Selain itu, Dewi juga menerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) artinya dia mendapatkan keringanan biaya kuliah serta uang saku Rp700 ribu per bulan. Akan tetapi, kampusnya memiliki syarat: keringanan itu hanya bisa didapatkan ketika memasuki semester kedua masa perkuliah.
Baca juga: Pandemi Memburuk, Relawan COVID-19 di Ujung Tanduk
Oleh sebab itu, Dewi yang masih semester pertama harus membayar uang kuliah penuh senilai Rp8 juta. Hal itu membuat situasi keuangan keluarganya semakin kompleks karena saat pandemi menghantam awal 2020 lalu, usaha kantin ibu terpaksa tutup. Keuangan yang menipis itu semakin dipukul sebab ada biaya pengobatan COVID-19 sebesar Rp20 juta yang harus dilunasi.
Dewi sempat bertanya kepada dosen apakah ada cara lain agar dia bisa melanjutkan kuliah ke semester dua, walaupun hanya membayar setengah biaya kuliah. Namun, aturan itu tidak memiliki celah, jika tidak bisa membayar lunas maka harus mengubur keinginan untuk menjadi sarjana. Dewi pun tidak bisa mengikuti segala proses perkuliahan setelah Ujian Tengah Semester (UTS).
“Saya juga sempat mau cuti, tapi itu juga harus membayar. Akhirnya, saya memutuskan untuk cabut (keluar) saja tanpa bilang ke teman maupun dosen. Saya juga tidak ingin menambah beban orang dengan isu ini,” ujar Dewi yang berusia 19 tahun.
Pilihan Pendidikan dan Pengasuhan Keluarga
Hani dan Dewi menjaga keluarga tetap hidup dengan bantuan finansial dari dua kakak perempuannya di Surabaya dan Cikarang. Namun tidak ingin membebani, Hani dan Dewi bertahan dengan uang tabungan, gaji hasil magang, sekaligus mengambil peran domestik. Melihat situasi itu, selama pandemi ada ‘Hani dan Dewi’ lainnya yang menjadi ‘orang tua’ untuk diri mereka sendiri.
Penulis dan aktivis gender Kalis Mardiasih, misalnya, menyampaikan lewat cuitannya di media sosial, banyak perempuan yang putus kuliah karena mengambil alih peran finansial maupun domestik di keluarga. Pasalnya, ada norma masyarakat yang mengharuskan perempuan melanjutkan peran pengasuhan keluarga.
“Nita”, misalnya, mahasiswa di Bogor menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal karena COVID-19, Maret lalu. Sebagai anak pertama, Nita memikul beban ganda. Ia menggantikan ayah berjualan rempah-rempah di pasar dari pagi sekaligus kuliah. Lalu saat pulang ke rumah, ia membantu tugas domestik dan menemani adiknya yang berusia delapan tahun memahami tugas sekolah.
“Saya berpikir ingin keluar dari kampus, tapi saya merasa tanggung juga keluar di tengah jalan. Di sisi lain percuma juga saya kuliah tapi pemasukan nanti tidak ada. Uang akan semakin menipis terus. Terus adik saya juga harus diperhatikan,” kata Nita pada Magdalene (23/7).
Baca juga: WFH Tak Berlaku Bagi Semua: Tips Bertahan di Tengah Pandemi
Cerita yang tidak jauh berbeda dialami “Gia”, mahasiswa di Yogyakarta. Saat ibunya meninggal karena kanker paru-paru dan tulang Februari lalu, dia mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Dia merasa bertanggung jawab untuk mengambil peran rumah tangga dan menemani adik perempuannya yang belum bisa memproses kehilangan sosok ibu. Selain itu, ada keinginan membantu ayah berdagang di pasar untuk menambah uang pemasukan keluarga.
“Saat musibah itu saya sadar kehilangan ibu sangat berdampak pada kehidupan keluarga karena semua yang mengurus adalah ibu. Saya juga tidak bisa mempertimbangkan skala prioritas karena saya harus bekerja membantu ayah, membersihkan rumah, dan kuliah,” ujarnya kepada Magdalene (22/7).
Mia Siscawati, akademisi gender dari Universitas Indonesia mengatakan, situasi itu menunjukkan pilihan hidup perempuan dipengaruhi konstruksi gender. Tidak bisa dimungkiri, banyak anak laki-laki putus kuliah karena isu finansial. Tetapi, untuk perempuan masalah tersebut dibarengi dengan pertimbagan ada tanggung jawab domestik karena peran gender yang tertanam sejak kecil.
“Perlu dilihat apakah memang ada pertimbangan selain biaya, di sini dimensi gender bekerja. Bisa jadi anak perempuan ketika memutuskan (keluar dari kampus) mungkin tidak dicegah sekuat anak laki-laki akibat dimensi itu. Dalam artian ‘nanti tiba waktunya dia tidak menjadi pencari nafkah utama’,” jelas Mia pada Magdalene (1/8).
“(Dimensi gender) bisa juga bukan pengaruh orang lain, tapi dalam diri perempuan yang sudah terinternalisasi dan merasa harus mengurus tugas domestik, walaupun ingin melanjutkan kuliah,”
Baca juga: Kisah Relawan COVID-19: Kepedulian dalam Sepaket Sembako dan Sehelai Masker
Dorong Pendidikan Non-formal
Mia mengatakan, melihat situasi yang dialami Hani, Dewi, Nita, dan Gia perlu dilakukan penelusuran mendalam apakah terjadi skala besar untuk mengetahui dampak COVID-19 pada perempuan, misalnya meningkatkan kesenjangan dalam pendidikan atau tingkat penerimaan kerja.
“Misalnya ada kesempatan kerja, tapi membutuhkan pendidikan S1. Jadi, perempuan yang meninggalkan bangku kuliah tidak bisa ikut berpartisipasi. Maka dari itu, perlu dilihat angkanya (jumlah anak perempuan putus kuliah akibat COVID-19)” ujarnya.
Menurut laporan Statistik Pendidikan Tinggi 2020 oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi angka putus kuliah laki-laki sebanyak 61,58 persen atau lebih dari 370 ribu orang, sementara perempuan dengan 38,42 persen, lebih 231 ribu orang. Selain itu, lulusan universitas perempuan dengan 56,10 persen atau lebih satu juta dua ratus orang dan laki-laki, 43,90 persen, hampir 950 ribu orang.
Dengan demikian, lanjut Mia, hal yang perlu diperbaiki adalah anggapan dan berbagai macam alasan yang melarang anak perempuan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Karena akan mempengaruhi partisipasi perempuan dalam pendidikan.
Sementara konsultan pendidikan Ina Liem berpendapat, salah satu solusi untuk kembali bersekolah dengan mencari pendidikan jalur non-formal. Untuk melakukan itu perlu manajemen waktu yang baik agar bisa belajar dengan maksimal. Selain itu, orang-orang yang sudah terjun di dunia kerja tidak perlu khawatir karena sudah lebih dulu mengasah soft skill. Hal itu menjadi keuntungan karena ada kecerdasan sosial yang tinggi.
“Mereka yang memiliki kesempatan mengemban beragam jenjang pendidikan cenderung tidak terbiasa dengan tuntutan sosial dan tekanan mental karena lebih fokus melatih hard skill atau kemampuan seseorang dalam menguasai satu objek pendidikan saja,” ujarnya ujarnya epada Magdalene (26/7).
“Selalu ada hal positif yang bisa diambil karena nyatanya mereka yang bisa lulus pendidikan formal juga menunjukkan tidak ada perubahan terkait rapor merah tingkat pendidikan di Indonesia,” kata Ina.
Ilustrasi oleh Karina Tungari