Safe Space

4 Pelajaran Penting Soal Pelecehan Seksual untuk Anak Perempuan

Kesadaran soal pelecehan seksual akan memberikan anak perempuan kebebasan untuk menjadi diri sendiri, mengenal batasan, dan melindunginya.

Avatar
  • January 28, 2021
  • 5 min read
  • 2420 Views
4 Pelajaran Penting Soal Pelecehan Seksual untuk Anak Perempuan

Pada awal 2019, saya menyusuri jalan beraspal yang jelek di Pekalongan, Jawa Tengah, dengan mengenakan kaos merah muda dan celana jin high-waisted milik ibu saya dulu. Saya tidak membawa apa pun kecuali ponsel, dan pada pukul enam pagi, matahari baru saja mulai terbit.

Tidak banyak orang keluar, tetapi di jalan utama menuju rumah bibi saya ada beberapa laki-laki, tua dan muda–beberapa di antara mereka tersenyum, sebagian lainnya tidak. Ada pula yang beristirahat di atas motornya. Saya terus menatap trotoar dengan bahu membungkuk  dan muka jutek untuk menghindari orang jahat menghampiri saya.

 

 

Saya hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah bibi saya ketika tiba-tiba, seorang laki-laki yang tadinya bersandar di motor, melaju dan memarkir kendaraannya beberapa meter di depan saya. Mengerikannya, dia melenggang ke trotoar dan melepaskan celananya, lalu berkata, “Enak loh, Dek. Cobain aja.”

Dari sudut mata, saya melihatnya meraih penisnya dan mulai mengayunkannya. Saat rasa ingin muntah mulai menggerogoti tenggorokan saya, saya melihat salah satu tangannya menjangkau saya. Saya mulai berlari sampai akhirnya saya mencapai rumah bibi.

Korban Pelecehan Seksual Menyalahkan Diri Sendiri

Berbulan-bulan sejak kejadian itu, pikiran saya akan terus kembali ke pelecehan seksual di jalan itu. Saya selalu lagi-lagi menanyakan hal yang sama: Apakah itu salah saya? Saya yakin itu memang salah saya. Sambil memikirkan apa yang mungkin saja terjadi, saya justru merasa lega. Jika saya membela diri dan memukul orang itu, saya bisa disalahkan karena telah membuat keributan besar.

Baca juga: Berhijab Tak Berarti Kebal Pelecehan Seksual

Tanpa sadar, saya memperkuat sebuah gagasan bahwa pandangan seorang laki-laki, yang telah melakukan pelecehan seksual di jalan, lebih diprioritaskan daripada keselamatan saya sendiri. Saat dihapus dari suatu konteks, pesan yang bisa diambil pun tampak konyol: “Jika seseorang menyerangmu, jangan melawan. Biarkan saja mereka merampas otonomi dirimu sendiri. Jangan menimbulkan masalah”.

Setiap kali kita memutuskan untuk tetap diam dan menolak untuk menindak aksi predator, itulah pesan yang kita tekankan. Bahwa keselamatan manusia menjadi kurang penting dibandingkan menjaga kedamaian.

Setiap orang memiliki batasan-batasan pribadi. Tetapi, sementara laki-laki didorong untuk mempertahankan batasan-batasan itu, dan dipuji karena kuat mempertahankannya, perempuan justru diharapkan diam saat menerima pelanggaran atas batasan-batasan pribadi mereka, dan disalahkan ketika mereka melawan. Itu sama sekali tidak masuk akal.

Setelah berjam-jam berpikir dan membaca artikel online, akhirnya saya sampai pada kesimpulan kuat bahwa yang terjadi bukanlah kesalahan saya. Tidak ada yang meminta untuk diperkosa atau dilecehkan. Tidak ada satu orang pun yang ingin batasan mereka dilanggar. Bahkan jika saya melawan orang tadi di jalan, saya tidak akan salah, karena dia mencoba merenggut kebebasan saya dan saya hanya berusaha melindungi batasan saya sendiri.

Di dalam tubuh perempuan ada seorang dewi yang tidak menoleransi sikap tidak hormat. Dia patut berani untuk mengenal dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri, dan membela diri, meskipun dia mungkin dikritik atau diejek karena itu.

Kesadaran ini membuka mata saya dan memberi saya kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Saya semakin mengetahui batasan saya sendiri dan merasa wajar untuk melindunginya. Ketika seseorang menghukum saya karena “menyebabkan masalah”, saya menangkap adanya sebuah pesan bisu, “Kamu tidak pantas mendapatkan perlindungan,” dan saya menolak gagasan itu. Saya tidak akan pernah lagi meminta maaf karena membela atau menjadi diri saya sendiri.

Pelajaran Soal Pelecehan Seksual untuk Putri Saya Kelak

Suatu hari, saya akan menjadi seorang ibu dari seorang anak perempuan. Berikut adalah hal-hal yang akan saya ajarkan pada putri saya:

  1. Predator Seksual Harus Bertanggung Jawab

Sebagaimana anak saya kelak bertanggung jawab atas pilihan yang dia buat, orang lain juga seharusnya bertanggung jawab atas pilihan mereka sendiri. Meskipun dia mungkin merasa tergoda atau dihasut oleh orang lain, pilihan untuk bertindak akan selalu ada di tangannya. Ini adalah pelajaran yang tidak dipahami oleh banyak predator seksual.

  1. Pelecehan Seksual Bukan Salah Korban

Saya akan menjelaskan kepada putri saya bahwa ada beberapa orang-orang di dunia ini yang mungkin mencoba menyakitinya dan bahwa dia berada di bawah pengawasan sistem yang tidak akan cukup peduli kepadanya. Kekurangan orang-orang dan sistem tersebut bukanlah salahnya.

Baca juga: Jangan Biarkan Korban Pelecehan Seksual Diam

  1. Lindungi Diri Sendiri dari Pelecehan Seksual

Saya akan menunjukkan kepada anak saya statistik yang mengatakan bahwa hanya 7 persen penyintas pemerkosaan yang melaporkan kasusnya ke pihak berwenang. Saya akan mengajarinya untuk melindungi dirinya sendiri dan membawa alat untuk berjaga-jaga kalau ada hal buruk. Jika dia perlu berteriak atau meminta bantuan, dia tidak perlu ragu melakukannya.

  1. Belajar Menggunakan Suara

Anak saya akan memahami bahwa seiring bertambahnya usia, orang-orang akan terus berusaha untuk diam dan menyalahkan dia. Semakin sukses dan bahagia dia, semakin buruk sikap orang-orang itu. Dia akan tahu bagaimana melantangkan suaranya dan berteriak lebih keras lagi.

Meskipun putri saya mungkin terlahir di dunia yang penuh kebencian dan dalam sistem yang jarang memaksa predator seksual bertanggung jawab atas tindakan mereka, dia tidak akan pernah mempercayai kebohongan. Sebagai seorang perempuan, salah satu senjata paling berharga yang akan dia miliki adalah suaranya. Saya akan mengajari dia cara menggunakannya, bahkan jika dia dicaci karenanya.

Pada akhirnya, jika hanya akan ada satu pelajaran yang dia ingat dari saya, itu adalah bahwa di dalam tubuhnya ada seorang dewi yang tidak menoleransi sikap tidak hormat. Dia patut berani untuk mengenal dirinya sendiri, menjadi dirinya sendiri, dan membela diri, meskipun dia mungkin dikritik atau diejek karena itu.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari 

Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.

Theodora Sarah Abigail suka dipanggil Ebi dan suka memasak, membaca, dan tidur. Dia banyak bicara dan punya sebuah blog.



#waveforequality


Avatar
About Author

Theodora Sarah Abigail

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *