Lifestyle

5 Alasan Bapak Rumah Tangga Bukan Sampah Masyarakat

Menjadi bapak rumah tangga tidak menjadikan seorang laki-laki sampah masyarakat. Inilah beberapa alasannya.

Avatar
  • March 25, 2021
  • 6 min read
  • 1072 Views
5 Alasan Bapak Rumah Tangga Bukan Sampah Masyarakat

Baru-baru ini, ada cuitan viral di Twitter yang berkata bahwa perempuan bisa saja menyerah dengan hidupnya dan memilih menjadi full-time mother, tapi kalau laki-laki memilih hal yang sama, maka dia akan dianggap sebagai sampah masyarakat.

Padahal sih, isu ini tidak bisa dilihat sehitam putih itu, ya. Apalagi dengan menyertakan bias-bias gender yang tidak setara. Perempuan yang memilih menjadi full-time mother sama sekali tidak menyerah dengan hidupnya, selama itu dilakukan atas kemauan dan kesadarannya, tanpa ada paksaan. Sama halnya bila laki-laki memutuskan menjadi bapak rumah tangga. Mereka pasti memiliki alasannya sendiri dan selama itu merupakan kesepakatan bersama keluarga, tidak ada yang salah demi cita-cita bersama dalam membangun rumah tangga.

 

 

Stigma terhadap bapak rumah tangga ini juga merupakan hasil pembagian peran gender yang normatif, tidak fleksibel, dan tidak setara. Sesederhana karakter maskulin bagi laki-laki dan feminin bagi perempuan yang dibuat berjarak jauh satu sama lain, sehingga seseorang yang menunjukkan karakteristik berlainan dengan karakternya akan dicap produk gagal atau menyimpang.

Lagipula, pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama, dan bukan pekerjaan rendahan atau lebih rendah daripada pekerjaan di kantor. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga tidak lantas membuat maskulinitas seorang laki-laki berkurang, sebagaimana suka bersikap kasar pada pasangan tidak akan membuat maskulinitas seorang laki-laki bertambah.

Inilah lima alasan kenapa para bapak rumah tangga, atau yang berniat menjadi salah satunya, tidak perlu merasa rendah diri apalagi “sampah masyarakat” hanya karena mengurus rumah dan merawat anak setiap hari, tanpa memiliki pekerjaan lain.

 

  1. Pekerjaan rumah tangga bukan pekerjaan yang rendahan

Pernah enggak, membayangkan, apa jadinya para pejabat negara, atau petinggi di berbagai perusahaan swasta, kalau mereka tidak mendapatkan bantuan dalam urusan rumah tangga?

Apakah sarapan yang mereka makan setiap pagi, baju rapi yang mereka kenakan sebelum berangkat ke kantor, dan rumah bersih yang setiap malam mereka jumpai selepas pulang kerja, itu bukan hal-hal yang penting?

Selama ini, kita hidup di dunia yang sebagian besar masyarakatnya memandang pekerjaan rumah tangga itu bukan pekerjaan yang berarti. Perempuan dibebankan tanggung jawab pekerjaan rumah tangga, karena bias-bias gender yang sering kali membatasi ruang gerak perempuan di ruang publik.

Akibatnya, lahirlah anggapan kalau pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan yang rendahan, karena disebut tidak berdampak luas buat masyarakat, dan tidak menghasilkan uang. Hal itu lalu melahirkan anggapan bahwa laki-laki yang di rumah saja (stay-at-home dad) untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sementara istrinya bekerja, bukanlah laki-laki seutuhnya.

Padahal, pekerjaan rumah tangga merupakan penunjang utama dari kegiatan sehari-hari. Tidak ada salahnya kalau sepasang suami istri mendobrak norma gender dengan bertukar fungsi dan pekerjaan.

Apa salahnya menjadi bapak rumah tangga, kalau itu ternyata kondisi yang ideal untuk membangun keluargamu?

Baca juga: Bapak Rumah Tangga Adalah Solusi, Jadi Tak Perlu Risi

  1. Jangan ikuti gengsi, ubah cara pandang tentang maskulinitas

Sering kali yang menjadi tantangan terbesar buat para bapak rumah tangga adalah cibiran tetangga dan keluarga. Ujaran-ujaran seperti, “Kasihan ih, istrinya sampai harus kerja pulang malam. Kamu sebagai laki-laki kalau enggak bisa ngasih, ya jangan berani-beraninya nikah, lah!” lalu jadi santapan sehari-hari.

Para laki-laki yang memahami konsep maskulinitas yang sehat, misalnya bahwa pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan yang menghasilkan uang itu sama pentingnya, tentu tidak akan terusik. Tapi ada saja laki-laki yang tak tahan dengan cibiran orang-orang, hingga jadi “bertingkah” dengan alasan terancam dengan kemajuan karier istrinya, dan merasa maskulinitasnya ikut terancam. Pola pikir seperti inilah yang harus dihindari.

Ini adalah cerminan bahwa patriarki bukan hanya merugikan perempuan, tapi juga laki-laki. Laki-laki selalu dituntut untuk menjadi lebih mapan secara karier dan finansial ketimbang pasangannya yang perempuan. Sah-sah saja memang bila kondisi dan kesepakatan keduanya memungkinkan. Tapi bagaimana bila ternyata perempuannya lah yang memiliki karier dan kondisi finansial lebih baik? Apakah itu berarti nilai diri pasangan laki-lakinya berkurang, dan itu bisa jadi validasi bila sang laki-laki merasa maskulinitasnya terancam? Tentu saja tidak.

Tentu akan baik jadinya kalau keduanya bisa menemukan jalan tengah agar tetap bisa sama-sama bekerja dengan tujuan kemapanan finansial keluarga. Tapi kalau tidak, juga tidak jadi masalah. Menjadi bapak rumah tangga tidak berarti menurunkan strata sosial, melainkan merupakan bentuk kerjasama dengan pasangan untuk membangun rumah tangga yang nyaman bagi anak dan orang tua.

Baca juga: 9 Manga Wajib Baca dengan Karakter Bapak Rumah Tangga

  1. Nafkah bukan hanya soal uang

Bicara tentang bapak rumah tangga, tentu akan membuat kita kembali pada laki-laki dan beban finansial yang selalu masyarakat limpahkan kepadanya. Padahal, hal yang perlu kita pahami adalah nafkah bukan hanya berbentuk uang, tapi juga rumah yang bersih, kehidupan yang nyaman, dan dukungan yang tak pernah habis untuk pasangannya.

Jadi, tidak ada salahnya kalau kamu laki-laki, dan nafkah yang bisa kamu berikan adalah tumpukan baju yang rapi dan anak yang sudah lelap tertidur begitu pasanganmu pulang bekerja. Pasangan yang seprinsip denganmu, tentu akan selalu menghargai itu. Selama kamu benar-benar mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu, ya. Bukan malah tidak melakukan apa-apa di rumah dan tidak berkontribusi untuk kelangsungan keluarga.

  1. Bangun kedekatan dengan anak

Pada dasarnya, kedekatan antar anak dan orang tua terjalin lebih dulu antara anak dengan ibunya, karena ibu-lah yang mengandung anak selama sembilan bulan, melahirkan, bahkan sampai menyusui. Karenanya, para bapak rumah tangga sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk menjalin kedekatan fisik dan emosional dengan anaknya. Dimulai saat anak baru lahir dan masih bayi, bapak rumah tangga bisa memiliki lebih banyak waktu untuk turut mengganti popok, menidurkan bayi, memberi susu, menenangkan saat menangis, dan sebagainya.

Begitu bayi beranjak besar, semakin banyak pekerjaan parenting yang bisa dilakukan para bapak rumah tangga untuk anaknya. Hal ini akan membuat anak tumbuh dengan lebih banyak perhatian dan kasih sayang, baik dari ibu maupun dari ayahnya. Di kemudian hari, ini juga akan menjadi contoh yang baik bagi anak, karena mereka mendapatkan contoh nyata bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya jadi tanggung jawab ibunya.

Baca juga: Pesan Penting Hari Ayah Nasional: Membongkar Maskulinitas Toksik

  1. Jadi bapak rumah tangga bukan berarti tidak beraktivitas lain

Menjadi bapak rumah tangga juga bukan berarti aktivitasnya melulu seputar pekerjaan rumah tangga. Ini bukan berarti akhir dari hidup seseorang. Banyak bapak rumah tangga yang memiliki pekerjaan lepas (freelance) yang mereka kerjakan dari rumah, atau sesekali keluar rumah. Selain menambah pemasukan keluarga, hal ini juga bisa jadi sarana para bapak rumah tangga untuk mengembangkan diri, melakukan hobi, dan bertemu dengan banyak orang.  

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *